Ridwan Saidi dan Bahasa Armenia
Ridwan Saidi menyebut prasasti-prasasti Sriwijaya berbahasa Armenia, padahal jelas Melayu Kuno.
Prasasti yang dikeluarkan Kadatuan Sriwijaya dituliskan dalam bahasa Armenia, bukan Senskerta. Selama ini, banyak arkeolog salah mengira tulisan dalam prasasti-prasasti itu berbahasa Sanskerta, karenanya menimbulkan banyak salah arti.
Hal itu diucapkan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, dalam video yang diunggah di kanal YouTube "Macan Idealis".
“Banyak sekali bahasa Melayu menyerap dari bahasa Armenia. Jadi ketika dibaca, oh, ini bahasa Melayu padahal bahasa Armenia,” katanya.
Kenyataannya, semua prasasti peninggalan Kadatuan Sriwijaya ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. “Jelas kok itu Melayu Kuno. Masa nggak percaya bahasa sendiri,” kata Titi Surti Nastiti, ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, ketika ditemui di kantornya di Pejaten, Jakarta.
Titi menjelaskan, beberapa prasasti Sriwijaya berisi kutukan sebagai ancaman bagi warga yang akan berkhianat atau membantu para pengkhianat. Logikanya, karena kutukan itu diperuntukkan untuk mengancam masyarakat setempat, masyarakat pun harus mengerti isi kutukan itu.
“Ya, mereka pakailah bahasa setempat nggak mungkin pakai bahasa Armenia. Jelas mereka pakai Melayu supaya mereka (masyarakat, red.) takut,” ujar Titi.
Baca juga: Membantah Sriwijaya Fiktif
Soal prasasti berbahasa Armenia, sejauh ini belum ditemukan di Nusantara. Kalau bukan Melayu Kuno, prasasti yang ditemukan di Nusantara pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, biasanya berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno, Sunda Kuno, atau Bali Kuno.
Titi menjelaskan, ketika mengidentifikasi sebuah prasasti biasanya seorang epigraf akan mencari perbandingan. “Misalnya, ketika menelusuri prasasti beraksara Pallawa di sini, sebelumnya para ahli harus cari tahu ternyata sama dengan yang di India abad ke-4, ke-5. Berarti ini huruf Pallawa. Nah, Ridwan Saidi begitu nggak waktu identifikasi itu bahasa Armenia?” kata Titi.
Hal itu juga dilakukan para ahli ketika mengidentifikasi bahasa dalam prasasti. Salah satunya, menurut arkeolog Prancis, George Cœdès dalam Kedatuan Sriwijaya, adalah ahli epigrafi asal Belanda, Ph. S. van Ronkel yang kemudian mengenali adanya bahasa Melayu sejati dalam prasasti di Palembang.
Van Ronkel lewat tulisannya, “A Preliminary Note Concerning Two Old Inscriptions in Palembang” dalam Acta Orientalia mengidentifikasi dua prasasti Palembang, yaitu Kedukan Bukit (683) dan Talang Tuwo (684). Menurutnya, ada kesamaan yang hampir sempurna antara bentuk kata kerja yang terbukti ada pada abad ke-7 dengan yang ada pada abad ke-16, dan yang sebagian besar masih ada dewasa ini.
“Sungguh-sungguh suatu contoh yang istimewa tentang betapa bahasa itu tak gampang berubah,” kata Van Ronkel dikutip Cœdès.
Baca juga: Ridwan Saidi dan Dapunta Hyang
Menurut Van Ronkel tak ada perbedaan fonetik, morfologi, atau sintaksis antara bahasa Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Palembang. Catatan Van Ronkel membuktikan kalau ada kemantapan Bahasa Melayu sejak abad ke-7.
Adapun menurut ahli epigrafi Belanda, H. Kern yang menerbitkan Prasasti Kota Kapur pada 1913, baik dari segi tata bahasa maupun kosakata, bahasa dalam Prasasti Kota Kapur sangat berbeda dengan Bahasa Melayu Kuno dan dengan Bahasa Minangkabau sehari-hari. Karenanya, pengetahuan tentang dua bahasa itu pun tak membantu usaha penafsiran prasasti.
Namun, di sisi lain Kern juga mencatat dari 73 kata dalam Prasasti Kota Kapur, 50 kata bisa langsung diartikan melalui Bahasa Melayu atau diturunkan dari akar kata Melayu. “Hemat saya, wajarlah kalau prasasti-prasasti itu dikatakan berbahasa Melayu Kuno,” kata Cœdès.
Baca juga: Inilah Akta Kelahiran Sriwijaya
Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, mengatakan pemakaian Bahasa Melayu Kuno oleh orang-orang Sriwijaya berangkat dari sifat agama Buddha yang egaliter. Dilihat dari tinggalannya dan keterangan dalam prasasti serta kesaksian biksu Tiongkok I-Tsing sangat beralasan untuk menunjuk Buddha sebagai ajaran mayoritas yang dianut Sriwijaya. Mereka tak mengenal sistem kasta. “Makanya dipakai bahasa lokal, karena itu egaliter,” kata Agus.
Sementara itu, prasasti-prasasti awal Kerajaan Mataram Kuno dan Kanjuruhan di Jawa memilih memakai Sanskerta, bahasa elite kerajaan dan keagamaan. Sanskerta hanya dikenal oleh kalangan terbatas, seperti kaum Brahmana Hindu agar ajarannya tak bocor.
Baca juga: Revolusi Bahasa di Sriwijaya
Penguasa dan rakyat Sriwijaya nampaknya percaya diri membuat prasastinya dalam bahasa lokal. Fenomena ini menandai adanya revolusi status bahasa daerah yang dianggap setara dengan bahasa Sanskerta.
Bisa dikatakan penggunaan bahasa Melayu Kuno di Kedatuan Sriwijaya terkait dengan munculnya nasionalisme dari penguasa dan rakyat Sriwijaya. “Semangat menggunakan apa yang menjadi milik sendiri terlihat dari penggunaan Bahasa Melayu Kuno,” kata Agus.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar