Kisah Surat Hatta untuk Baswedan
Benarkah Hatta pernah memiliki pendapat bahwa keindonesiaan orang Arab lebih baik dibanding orang Tionghoa?
GERAM. Itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan suasana hati keluarga salah satu bapak pendiri bangsa, Mohammad Hatta, saat mengetahui surat beratasnamakan ayahandanya tersebar luas di jagat maya.
“Hidup Bung Hatta menginspirasi keturunannya. Kami selalu ambil nilai-nilai baik dari teladan beliau. Tapi heran masih juga ada kelompok yang mau mempecundangi nama besar Bung Hatta,” ucap Halida Nuriah Hatta, putri bungsu Mohammad Hatta, kepada Historia.
Halida Hatta pernah membagikan foto surat tersebut dalam akun media sosialnya. Di sana ia menyebut jika surat tersebut palsu dan isinya tidak sesuai dengan kepribadian Hatta. "Pelajarilah kiprah Bung Hatta dari masa remajanya sampai dengan akhir hidupnya," tulis Halida.
Namun jauh sebelumnya, surat milik Hatta itu telah dikutip oleh beberapa peneliti. Seperti Hamid Algadri tahun 1984, dalam buku C. Snouck Hurgronje: Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab. Hamid menggunakan kutipan surat itu untuk menerangkan peran dan kedudukan keturunan Arab dalam politik Indonesia.
Peneliti lain yang mengutip surat Hatta adalah Abdul Rachman Patji tahun 1991, dalam tesis The Arabs of Surabaya: A Study of Sociocultural Integration. Serupa dengan Hamid, Patji pun menggunakan kutipan surat itu untuk mempertegas kedudukan keturunan Arab di Indonesia melalui Partai Arab Indonesia.
Surat bertanggal 24 November 1975 itu merupakan balasan atas surat yang dibuat oleh A.R. Baswedan. Di dalamnya Hatta menanggapi “Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab tahun 1934” yang pernah dicanangkan oleh A.R. Baswedan sewaktu mendirikan Partai Arab Indonesia. Hatta juga menyinggung tentang perjuangan pemuda keturunan Arab yang ikut dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Lebih lanjut Hatta menulis pemuda Indonesia keturunan Arab benar-benar berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan tanah airnya yang baru.
Namun yang menjadi perdebatan publik adalah pernyataan Hatta yang menyebut warganegara keturunan Arab disejajarkan dengan keturunan Tiongkok. “Dalam praktek hidup kita juga banyak sekali W.N.I. turunan Cina yang pergi dan memihak kepada bangsa aslinya R.R.C., W.N. Indonesia keturunan Arab boleh dikatakan tidak ada yang semacam itu. Indonesia sudah benar-benar menjadi tanah airnya”.
Baca juga: Tionghoa Warga Tanpa Negara
Pertanyaannya sekarang adalah sejauh mana kebenaran dan keaslian surat tersebut? Halida Hatta menegaskan bahwa seluruh isi surat itu merupakan kebohongan besar. Tidak ada satupun hal yang sesuai dengan kepribadian Hatta. “Itu sudah jelas palsu. Tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun masalahnya hal itu jangan dibiarkan,” lanjut Halida.
Kepada Historia, sejarawan Asvi Warman Adam menjelaskan jika kebenaran dari surat itu perlu dikaji lebih dalam. Banyak faktor yang perlu diperhatikan, mulai dari keadaan politik tahun 1975 (saat surat itu dibuat), surat yang dikirim A.R. Baswedan kepada Hatta sebelumnya, dan lain sebagainya.
“Harus diperiksa keotentikan surat tersebut. Apa ada bagian yang dikurangi atau ditambahkan seperti kasus Cindy Adams,” kata Asvi.
Seperti yang kita ketahui bersama, buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams menuai polemik setelah ada dua paragraf yang diduga ditambahkan saat buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. “Sepintas lalu ada fakta sejarah yang benar tapi dicampur dengan alinea yang ditambahkan kemudian,” sambung Asvi.
Jika melihat kondisi politik sekitar tahun 1970-an antara pemerintah Indonesia dengan Tiongkok, memang sempat terjadi ketegangan. Pada pertengahan 1975, dalam lawatannya ke Jepang, Suharto pernah menyebut jika Indonesia tidak akan tergesa-gesa menormalisasi hubungan mereka dengan Tiongkok sebelum dicapai hasil yang nyata dalam perbaikan kehidupan rakyat Indonesia.
Persoalan itu terjadi pasca Peristiwa G30S meletus di Indonesia. Pada 30 Oktober 1967, pemerintahan Orde Baru segera mengeluarkan kebijakan untuk membekukan hubungan bilateral di antara kedua negara. Hal itu cukup berdampak pada masyarakat Tionghoa di dalam negeri. Ada beberapa peraturan pemerintah yang mengatur orang Tionghoa di Indonesia, salah satunya Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tentang perayaan masyarakat Tionghoa.
Lalu bagaimana hubungan Hatta dan A.R. Baswedan dengan masyarakat Tionghoa? Menurut Asvi, baik Hatta maupun A.R. Baswedan bukanlah sosok yang rasial atau anti-Cina seperti yang terlihat di dalam surat itu. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Suratmin dan Didi Kwartanada dalam buku A.R. Baswedan: Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan, memaparkan dengan lengkap karir jurnalistik A.R. Baswedan di beberapa surat kabar Tionghoa dan pertemanannya dengan tokoh-tokoh Tionghoa.
Baca juga: AR Baswedan Merajut Keindonesiaan
Tahun 1932, A.R. Baswedan menjadi anggota redaksi harian surat kabar Melayu-Tionghoa di Surabaya, Sin Tit Po, pimpinan Liem Koen Hian. Di sana ia berjumpa dengan kawan Tionghoanya, Tjoa Tjie Liang, yang saat itu juga menjabat Sekertaris Partai Tionghoa Indonesia.
Pertemuan di Sin Tit Po itu menjadi jalan bagi pertemanan yang kekal antara dua keturunan asing tersebut. Selepas dari Sin Tit Po, keduanya sama-sama masuk dalam jajaran redaksi Soeara Oemoem, kemudian koran Tionghoa Mata Hari. Meski akhirnya dipisahkan oleh kepentingan politik masing-masing. Tetapi hubungan persahabatan mereka tetap berjalan baik.
Dalam biografi itu, para penulis menyebut Tjoa Tjie Liang pernah menulis surat tentang penderitaan dan pahit getirnya hidup A.R. Baswedan. “Ia pernah menumpang tinggal serumah dengan Tjoa Tjie Liang di Semarang setelah A.R. Baswedan meletakkan jabatannya di surat kabar Mata Hari. Pada waktu itu rumah yang dipergunakan sebagai tempat tinggal mereka adalah rumah sewa,” tulis Suratmin dan Didi.
Sementara itu, pendangan Hatta tentang orang-orang Tionghoa agaknya jauh lebih luas lagi. Dalam salah satu buku, Bung Hatta Menjawab, yang berisi hasil wawancara Zainul Yasni bersama Hatta menyebut orang-orang Tionghoa memiliki cara hidup yang mengagumkan.
“Itulah hebatnya orang Cina ini. Kalau jadi kapitalis betul-betul kapitalis. Kalau jadi nasionalis, betul-betul nasionalis Indonesia. Ada juga yang jadi orang agama dalam Muhammadiyah, betul-betul ia jadi alim. Tetapi kalau jadi komunis Cina itu betul-betul jadi komunis tulen,” ucap Hatta.
Baca juga: Demokrasi Air ala Bung Hatta
Pada sebuah pidato tahun 1946 di depan orang-orang Tionghoa, yang dimuat Portrait of a Patriot: Selected Writings karya Mohammad Hatta yang diterjemahkan dari buku Kumpulan Karangan Vol I, II, dan IV, Hatta menggambarkan bagaimana perselisihan dengan orang-orang Tionghoa telah terjalin sejak zaman Belanda. Munculnya perselisihan salah satunya disebabkan oleh kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang menempatkan etnis Tionghoa di atas kaum bumiputera.
Menurut Hatta perselisihan antara orang Indonesia dan orang Tionghoa seharusnya dapat dihindari jika saja Belanda dan Jepang tidak turut campur di dalamnya. “Dengan ini saya bisa mengatakan bahwa pemerintah Indonesia menyatakan penyesalannya secara tulus atas insiden-insiden yang terjadi. Kita tak boleh lupa bahwa kelompok yang menginginkan kehancuran Indonesia adalah kelompok yang memancing rakyat untuk melawan orang-orang Cina terutama di peperangan”.
“Jika orang-orang Cina dapat beradaptasi dengan jiwa ekonomi baru,” lanjut Hatta “posisi mereka dalam ekonomi Indonesia bisa berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu”.
Hatta memiliki pandangan yang cukup objektif terhadap masyarakat Tionghoa dan Arab ini. Seperti terlihat pada pidato peringatan Hari Kooperasi tahun 1977, yang dimuat Mohammad Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan. Hatta menyebut masyarakat Indonesia masuk dalam kelas ekonomi kecil, di bawah orang Tionghoa dan Arab. Hal itu telah berlangsung lama, dan untuk bisa bangkit diperlukan dasar yang kuat. Terlebih, "mereka pun terikat pula dengan utang dan kredit kepada orang-orang Tionghoa dan orang-orang Arab yang banyak hidup dengan merentekan uang," tulisnya.
Dari sini kita bisa melihat bahwa Hatta dan A.R. Baswedan sama-sama tidak memiliki masalah dengan etnis Tionghoa, malah sebaliknya. Lalu apakah berarti surat tersebut tidak benar? Tugas para sejarawan-lah untuk menelisik soal ini lebih jauh.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar