Kisah Seorang Cucu Serdadu Desertir Jepang
Keturunan Jepang dalam dirinya menuntun seorang pemuda menelusuri jejak sejarah kakeknya. Eks tentara Jepang yang enggan pulang itu memihak kepada Republik Indonesia.
Prasetyo Nur Mujahid membuka koleksi album foto keluarganya. Sekilas, tidak ada yang berbeda dari Satya –pangilan akrabnya– dengan orang-orang Indonesia kebanyakan. Namun, foto-foto sang kakek mengingatkan kembali Satya akan asal-usul dirinya.
“Sejak kecil saya tahu, saya memiliki garis keturunan Jepang dari ayah. Kakek saya adalah bekas tentara Jepang yang kemudian beralih profesi menjadi seorang fotografer dan memiliki studio foto di Bengkulu,” kata Satya dalam dokumentaria Serdadu yang Tak Kembali: Kisah Sebuah Pilihan, kolaborasi antara Historia.id dengan Yayasan Warga Persahabatan.
Darah Jepang pada diri Satya berasal dari kakeknya, Masashi Hara. Sayangnya, Satya tidak tahu persis seperti apa kiprah sang kakek. Masashi Hara meninggal pada 1982, bahkan sebelum Supratman Hara dan Agustia Widiastuti –ayah dan ibu Satya– menikah. Jejak memori Satya dengan kakeknya makin terputus ketika Supratman Hara meninggal ketika Satya masih berusia sembilan tahun. Pengetahuan yang serba terbatas itulah yang menuntun Satya mencari tuturan sejarah tentang kakeknya.
Baca juga: Yang Terbuang Setelah Perang
Seperti melintasi lorong waktu, Satya mencari tahu dari satu orang ke orang lain; dari satu tempat ke tempat lain. Mulai dari tuturan ibunya, tantenya di Bengkulu, Yayasan Warga Persahabatan, hingga sejarawan Didi Kwartanada. Cerita-cerita yang tercecer itu memberikan informasi siapa sosok Masashi Hara dan alasannya tidak kembali ke Jepang.
Dari sang ibu, Widiastuti, diperoleh keterangan awal bahwa Masashi Hara adalah satu dari seribu serdadu Jepang yang memilih berjuang bersama tentara Indonesia setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II. Semula, pemuda Masashi Hara bekerja sebagai pegawai perusahaan percetakan foto Fuji. Ketika Perang Asia Timur Raya bergolak, Masashi terkena wajib militer pemerintah Jepang. Ia kemudian menjadi bagian dari tentara Angkatan Darat Jepang ke-25 yang bertugas di Palembang pada Februari 1942.
Keterangan lebih lanjut diperoleh Satya dari tantenya, Wati Hara, yang tinggal di Bengkulu. Tante dan keponakan itu bersua sekaligus berziarah ke makam ayah dan kakek mereka, Masashi Hara. Dari Wati Hara diketahui bahwa Masashi melakukan desersi ketika kapitulasi Jepang pada 1945. Pelarian itu terjadi di Tanjung Karang, Bandar Lampung pada hari rombongan Masashi Nisihara akan dipulangkan ke Jepang.
Baca juga: Desersi Jepang Masa Perang Kemerdekaan
“Waktu melarikan diri itulah kakek sekalian masuk Islam, jadi mualaf. Kakek bersama teman-temannya sekitar tujuh orang masuk Islam di sana. Nama kakek langsung berubah menjadi Muhammad Supardi Hara,” tutur Wati Hara pada Satya.
Masashi Hara yang telah bersalin nama itu kemudian menggabungkan diri dengan tentara Indonesia di Palembang. Dia terlibat dalam pertempuran tiga hari-tiga malam di Palembang membantu pasukan Indonesia menghadapi tentara Sekutu. Dari Palembang, Supardi Hara berpindah-pindah titik gerilya. Dari Baturaja, Lubuk Linggau, hingga Bengkulu terus berjuang bersama orang-orang Indonesia mempertahankan kemerdekaan.
Di Bengkulu pula Muhammad Supardi bertemu Fatimah, wanita asal Kediri yang kelak menjadi istrinya. Setelah menikah, Supardi membuka studio foto sementara Fatimah mengelola perkebunan kopi. Hingga wafatnya, mereka menetap di daerah Kepahiang, Bengkulu.
Baca juga: Abu Bakar, Gerilyawan Indonesia dari Jepang
Penuturan Wati Hara selaras dengan penelitian sejarawan Jepang Aiko Kurasawa dalam Sisi Gelap Perang Asia. Menurut Aiko, sebagian kecil tentara Jepang yang memihak ke Indonesia terdorong untuk merealisasikan kemerdekaan yang dijanjikan Jepang. Namun, alasan yang banyak diungkapkan mengapa prajurit Jepang melarikan diri adalah karena mereka sudah mempunyai istri. Apalagi, pada masa pendudukan Jepang ada peraturan dari pemerintah yang tidak mengizinkan tentara Jepang menikah di Indonesia.
“Oleh karena itu, mereka terpaksa melarikan diri dari kamp interniran dan menyembunyikan diri di dalam kampung istri,” kata Aiko.
Atas jasanya, Supardi Hara sebenarnya layak dimakamkan di taman makam pahlawan. Pada 1958, pemerintah Indonesia menganugerahinya Bintang Gerilya. Dalam piagam tanda jasa itu, Supardi Hara tercatat berpangkat terakhir sersan mayor dengan jabatan sebagai komandan Seksi I, Kompi I, Batalion XXIV Gamas. Namun, atas permintaan keluarga, Supardi dimakamkan di pekuburan umum Kepahiang. Meski di pemakaman biasa, penghormatan secara militer mengiringi prosesi pemakamannya.
Baca juga: Shigeru Ono, Pejuang Jepang Telah Berpulang
Dari Bengkulu, Satya melanjutkan pencariannya ke Yayasan Warga Persahabatan, komunitas warga keturunan Jepang di Indonesia yang berada di Tebet, Jakarta Selatan. Di sana, Satya bertemu dengan Rikiyama, cucu dari dari eks serdadu Jepang Hideo Fujiyama. Siapa nyana, kakek mereka ternyata sahabat seperjuangan yang sama-sama desersi dan mengabdikan dirinya untuk Republik Indonesia. Seperti Supardi Hara, Fujiyama telah bersalin kewarganegaraan dengan nama Indonesia menjadi Husen. Bedanya, Fujiyama alias Husen dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Perkenalan Satya dan Yama kemudian menghubungkan mereka dengan sejarawan Didi Kwartanada yang mendalami sejarah pendudukan Jepang di Indonesia. Husen Hideo Fujiyama disebut Didi pernah menyelamatkan nyawa seorang Tionghoa yang hampir dibunuh kelompok pemuda lantaran dituduh sebagai mata-mata. Keterangan itu diperoleh Didi dari buku Prajurit Jepang yang Tidak kembali karya Hitoshi Kato. Namun, tidak diperoleh keterangan ketika Satya menanyakan tentang kakeknya Supardi Hara. Minimnya informasi itu, ungkap Didi, karena penelitian zaman pendudukan Jepang masih terfokus di Jawa.
Menurut Didi, para serdadu Jepang yang memilih desersi berada dalam posisi terjepit. Sebagai pihak yang kalah perang, mereka harus menerima konsekuensi direpatiasi ke negeri asalnya. Apalagi Belanda yang datang kembali ke Indonesia tidak suka dengan desertir Jepang yang menggabungkan diri dengan pejuang Indonesia. Jenderal Mabuchi selaku pemegang otoritas tertinggi Jepang di Indonesia bahkan mengeluarkan maklumat agar tentara Jepang yang “minggat” itu ditolak oleh pemerintah Indonesia. Tapi, itulah resiko yang mesti ditempuh mereka untuk menjadi bagian dari bangsa yang ingin merdeka. Sumbangsih mereka pada akhirnya membuktikan bahwa kemerdekaan Indonesia diperjuangkan semua golongan masyarakat tanpa pilah-pilih ras, suku, dan agama.
Baca juga: Cerita Para Desersi Jepang
“Jadi, bekas-bekas tentara Jepang itu juga menyumbangkan darah, keringat, dan air mata mereka untuk kemerdekaan Indonesia,” kata Didi.
Perjalanan Satya berakhir di Taman Makam Pahlawan Kalibata tatkala menemani Yama berziarah ke makam kakeknya. Pencarian Satya pun pungkas. Di hamparan nisan para pahlawan itu, Satya menatap lurus penuh makna seolah telah menemukan jejak sang kakek. Dia tidak hanya memperoleh gambaran mengenai sosok kakeknya tapi juga arti dari sebuah pilihan hidup yang telah diambil kakeknya, Supardi Hara. Secercah rasa bangga mengiringi langkahnya kembali ke rumah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar