Kegagalan Pilkada Langsung
PKI yang tengah berjaya mendukung pilkada langsung. Dihadang Sukarno dan militer.
Februari 2017, 101 daerah yang meliputi 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten, menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. Pilkada 2017 merupakan gelombang kedua dari rencana tiga gelombang menuju pilkada serentak nasional 2027. Gelombang pertama berlangsung 2015 dan gelombang ketiga pada 2018 dan keempat 2020.
Terlepas dari segala kekurangan selama pelaksanaannya, pilkada langsung adalah proses demokrasi yang penting bagi Indonesia.
Jauh sebelum reformasi bergulir, gagasan pilkada langsung pernah dicanangkan. Ini terjadi ketika pemerintah menerbitkan Undang-undang (UU) No. 1/1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU ini dirumuskan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu 1955 dan mengacu pada Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 yang berlaku saat itu.
Baca juga: Riwayat Politik Dinasti
Ketentuan mengenai pilkada tercantum dalam Pasal 23, yang aturannya akan ditetapkan dengan UU tersendiri. Kendati tak menyebut secara gamblang, bagian penjelasan UU itu menyebut kepala daerah haruslah seorang yang dekat kepada dan dikenal baik oleh masyarakat di daerahnya. Kepala daerah harus pula seorang yang mendapat kepercayaan dari rakyat dan diserahi kekuasaan atas kepercayaan rakyat itu. Untuk memenuhi maksud itu, jalan satu-satunya ialah kepala daerah haruslah dipilih langsung oleh rakyat dari daerah yang bersangkutan.
Namun, dengan alasan memperhatikan keadaan dan perkembangan masyarakat di daerah-daerah yang belum menjamin hasil pemilihan yang sebaik-baiknya, UU memberikan masa peralihan tidak lebih dari empat tahun untuk membuat ketentuan mengenai pilkada langsung. Karena itu pula pasal 24 menetapkan untuk sementara waktu kepala daerah dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
“Sistem pilkada langsung dalam UU No. 1/1957 benar-benar merupakan introduksi dalam pentas politik karena secara empirik belum dapat dilaksanakan,” tulis Joko J. Prihatmoko dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung.
Pemilu DPRD
Pemilu DPRD dilaksanakan secara bertahap antara Juni 1957 hingga Januari 1958 di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Sumatra Selatan, Riau, dan Kalimantan.
Menurut Daniel S. Lev dalam The Transition to Guided Democracy, pemilu DPRD 1957 penting bagi partai politik untuk tahu seberapa besar ekspansi pengaruh mereka di daerah. Hasilnya juga dapat menjadi indikator tren politik nasional.
Nyatanya, kampanye pemilu DPRD justru lesu. Bagi sebagian partai, pemilu DPRD bukan sesuatu yang mendesak. Kelesuan itu diperparah dengan pemberlakuan darurat militer (SOB) pada 1957, yang antara lain membatasi kegiatan politik, akibat eskalasi konflik pusat-daerah. Namun, selalu ada pengecualian dan itu adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Baca juga: Pembersihan PKI di DPRD Yogyakarta
“Pimpinan-pimpinan nasional dari partai-partai itu berkonsentrasi pada politik Jakarta, padahal sementara itu PKI bekerja giat di desa-desa dan kota-kota di seluruh negeri,” tulis Lev.
Kesuksesan PKI terlihat dalam pemilu DPRD pertama yang digelar di Jakarta pada 22 Juni. Masyumi memang menjadi kampiun tapi persentase suaranya menurun sekira 4 persen dibandingkan pemilu 1955. PKI berhasil menggeser Partai Nasional Indonesia di peringkat kedua. Partai Nahdlatul Ulama merosot dari peringkat tiga ke posisi empat.
Hasil akhir dari keseluruhan rangkaian pemilu DPRD tak jauh dari perkiraan. Dengan mengesankan, PKI menambah perolehan suara hingga 27 persen. Setidaknya PKI meraih suara mayoritas di 18 kota dan kabupaten. Dengan hasil itu, calon-calon kepala daerah yang didukung PKI beroleh kemenangan hampir tanpa hambatan berarti.
“Kemenangan ini menjadikan PKI sebagai partai terbesar di Jawa, sekaligus menimbulkan ketakutan terhadap kemungkinan PKI akan menjadi partai pemenang pada pemilu berikutnya...,” tulis Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama.
Bukan hanya partai-partai politik. Kecemasan melanda para pamong praja, yang mulai tergusur dengan adanya UU No. 1/1957. Begitu pula dengan militer, yang mulai memainkan peran politik sejak pemberlakuan SOB.
Sukarno Kecil
Kendati telah diintroduksikan dalam UU No. 1/1957, pilkada langsung tak pernah terwujud. Kekecewaan atas carut-marutnya politik kepartaian diakhiri Presiden Sukarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Dengan begitu UU No. 1/1957 menjadi tidak relevan.
Keluarnya dekrit tak bisa lepas dari desakan dan dukungan Kepala Staf Angkatan Darat Letjen TNI Abdul Harris Nasution. Dia juga berperan dalam pengebirian UU No. 1/1957.
Lev mencatat adanya aliansi kepentingan antara pamong praja dan militer. Pada awal 1958, Nasution meminta agar UU No.1/1957 dipertimbangkan kembali.
Baca juga: Ada Nasution di Balik Dekrit Presiden
“Pamong praja dalam kenyataannya diselamatkan dan posisinya kian meningkat dengan UU pemerintah daerah yang baru pada 1959, yang pada gilirannya juga melemahkan cengkeraman partai-partai terhadap pemerintah lokal,” tulis Lev.
Dalam Penetapan Presiden (PP) No. 6/1959, kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh presiden dan menteri dalam negeri. Peran DPRD dibatasi kewenangannya sebatas mengajukan calon kepala daerah, yang bisa diterima atau diabaikan. Di lain pihak, posisi militer menguat. Dalam penjelasan PP No. 6/1959 disebut, pengangkatan seorang kepala daerah memperhatikan pertimbangan instansi sipil negara dan juga instansi militer.
Baca juga: Aparat Keamanan dalam Pemilihan Umum
Sebagai partai yang tengah berjaya, PKI tentu bereaksi keras. Dalam kongres ke-6 di Jakarta, September 1959, Ketua CC PKI DN Aidit menyebut adanya bahaya antidemokrasi yang menuju pada sistem pemerintahan diktator perseorangan atau diktator militer. Dia mengajak seluruh rakyat untuk berjuang agar pemerintah, “menghormati kedudukan dan hak-hak daripada Dewan-dewan Perwakilan Rakyat Pusat (Parlemen) dan Daerah, mempertahankan sistem kepala daerah yang dipilih oleh rakyat...”
Bagi PKI, UU No. 1/1957 sepenuhnya menjamin dasar unitarisme negara dan menutup kemungkinan segala bentuk federalisme. UU itu juga sesuai dengan jiwa pasal 18 UUD 1945, prinsip Demokrasi Terpimpin, serta Manifestor Politik Presiden yang menghendaki otonomi. Hal sebaliknya justru ada pada PP No. 6/1959. PKI antara lain mengkritisi syarat-syarat kepala daerah, yakni “pengalaman dalam pemerintahan”, yang hanya bisa dipenuhi pamong praja.
Baca juga: Menelaah Sejarah Otonomi Daerah
“PP No. 6 tahun 1959 hendak menciptakan ‘Sukarno-Sukarno kecil’ di daerah-daerah,” tulis CC PKI dalam resolusinya.
Upaya PKI mempertahankan dan memperjuangkan pelaksanaan UU No. 1/1957 sekaligus mencabut PP No. 6/1959 gagal.
PP No. 6/1959 menjadikan kepala daerah sebagai alat pemerintah pusat, alih-alih pejabat publik yang bertanggung jawab kepada rakyat. Kondisi ini terus berlangsung lama. Elan untuk demokratisasi daerah baru terwujud setelah reformasi bergulir.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar