Kala Malcolm X Melawat ke Jalur Gaza
Kisah aktivis Malcolm X bertandang ke Gaza. Menyaksikan getirnya dampak zionisme Israel di kamp-kamp pengungsian.
TIDAK ada tempat yang aman di Jalur Gaza, Palestina, sepanjang 347 hari genosida oleh Israel sejak Oktober 2023. Termasuk di Khan Younis. Kota di selatan Jalur Gaza itu sudah menampung pengungsi, bahkan sejak Peristiwa Nakba pada 1948.
Kota Khan Younis pernah disinggahi akvitis HAM Malcolm X. Enam dasawarsa silam, dia melihat sendiri pahitnya kehidupan pengungsi Palestina akibat kebiadaban zionisme Israel.
Selain Martin Luther King Jr., Malcolm X dikenal paling lantang mengadvokasi hak-hak komunitas Afro-Amerika yang tertindas. Menjelang ajal menjemputnya pada 21 Februari 1965, ia juga lantang menyuarakan keprihatinannya kepada penduduk Gaza, Palestina. Bukan hanya karena ia seorang mualaf, tapi secara kemanusiaan ia melihat orang-orang Palestina tertindas oleh zionis Israel.
Sosok yang lahir di Omaha, Amerika Serikat pada 19 Mei 1925 dengan nama Malcom Little itu menjadi mualaf seiring bergabung dengan organisasi Islam nasionalis kulit hitam, Nation of Islam (NOI), pada akhir 1940-an. Ia juga salah satu aktivis yang membuat petinju tenar Cassius Marcellus Clay Jr. untuk memeluk Islam dan mengubah nama jadi Muhammad Ali.
Baca juga: Spike Lee Joints, dari Malcolm X hingga Viagra
Tetapi setelah menyadari bahwa apa yang diajarkan pemimpin NOI Elijah Muhammad sangat jauh dari ajaran-ajaran Islam sesungguhnya, Malcolm X memilih keluar dari NOI sebagaimana Wallace D. Muhammad, putra ketujuh Elijah Muhammad. Berkat kedekatannya dengan Wallace pula, Malcolm X beralih jadi muslim sunni dan berangkat naik haji pada medio April 1964.
“Makkah menjadi pencerahan tersendiri bagi Malcolm X. Ia memeluk semangat persaudaraan di kota suci itu. Ia disambut hangat para jamaah (haji) muslim dari setiap ras dan warga negara ketika mengunjungi tempat-tempat suci dan masjid-masjid. Ia sembahyang di Masjid Besar Makkah (Masjidil Haram, red.) dan tawaf di pusat simbol Islam (Ka’bah) itu,” tulis Jack Rummel dan Heather Lehr Wagner dalam Malcolm X: Militant Black Leader.
Tak hanya menjalani ritual-ritual haji, selama di Makkah Malcolm X juga diundang oleh Pangeran Faisal bin Abdulaziz al-Saud di Jeddah dan belajar lebih dalam tentang Islam dari para ulama Arab Saudi. Sejak saat itu pula ia menerima nama Islam: Haji Malik el-Shabazz.
Perjalanan haji juga mengubah banyak hal dalam pandangan Malcolm X terhadap kemanusiaan. Semangat ukhuwah Islamiyah makin lekat padanya karena dia merasakan kesetaraan sesama umat manusia dalam banyak hal. Manusia mesti terbebas dari berbagai bentuk penindasan, termasuk penindasan yang dialami kaum kulit hitam di Amerika dan orang-orang Palestina.
“Saya terpesona dengan semangat persaudaraan sejati yang luar biasa ini setelah saya melihat kebersamaan sesama umat muslim dari berbagai warna kulit. Saya selalu menjadi orang yang berusaha menghadapi dan melihat fakta-fakta dan menerima kenyataan hidup sebagai pengalaman baru,” ungkap Malcolm yang dituliskan Alex Haley dalam The Autobiography of Malcolm X.
Baca juga: Pencarian Islam Muhammad Ali
Kepedihan dan Ketegaran Pengungsi di Khan Younis
Selepas berhaji, Malcolm X jadi lebih sering berperjalanan ke luar Amerika. Selain mengadvokasi HAM, perjalanannya sekaligus untuk melihat sendiri perkara-perkara kemanusiaan yang terjadi di sejumlah “negara dunia ketiga” di Benua Afrika.
Tak lama setelah dari Makkah dan Jeddah, Malcolm X mengunjungi Mesir, Ethiopia, Tanganyika (kini Tanzania), Nigeria, Ghana, Guinea, Sudan, Senegal, Liberia, Aljazair, dan Maroko pada Juli 1964. Adapun Gaza baru bisa didatanginya medio September di tahun yang sama.
Sepanjang perjalanan itu, Malcolm X rupanya senantiasa dalam pengawasan FBI (biro investigasi Amerika) dan CIA (biro intelijen Amerika). Pasalnya ia berperjalanan sebagai perwakilan Organisasi Persatuan Afro-Amerika (OAAU) yang turut hadir di pertemuan-pertemuan Organisasi Persatuan Afrika (OAU).
“Perjalanan itu mengantarkan pembaruan spiritual bagi Malcolm sekaligus membuatnya bisa jauh dari NOI dan para anggotanya setelah ia keluar dari NOI,” tulis Manning Marable dalam Malcolm X: A Life of Reinvention.
Baca juga: Mandela dan Palestina
Hal lainnya, lanjut Marable, penyegaran pemikirannya bahwa negara-negara dunia ketiga itu masih bergelut dengan imperialisme Barat yang didukung Amerika. Ini salah satu perbedaan mendasar Malcom X dengan para petinggi NOI di Amerika, di mana NOI mengagumi Israel sebagai ekspresi konkret dari zionisme Yahudi sedangkan Malcolm X memandang Israel sebagai proxy neo-kolonial bagi imperialisme Amerika.
Malcolm X sendiri baru punya kesempatan mampir ke Jalur Gaza pada 5-6 September 1964 via Mesir. Saat itu wilayah Gaza masih dalam kontrol Mesir pasca-Perjanjian Gencatan Senjata 1949 yang mengakhiri Perang Arab-Israel (15 Mei 1948-10 Maret 1949).
“Itu kali kedua Malcolm X menginjak tanah Palestina. Pada 1959 ia sempat berperjalanan ke Yerusalem Timur, juga dalam sebuah kunjungan singkat,” ungkap Michael R. Fischbach dalam Black Power and Palestine: Transnational Countries of Color.
Dalam kunjungannya di Jalur Gaza itu, Malcolm X ditemani perwira Mesir yang menjabat asisten Gubernur Militer Gaza, Kolonel Mustafa Khafaja. Malcolm X melawat ke wilayah perbatasan Mesir-Israel, rumahsakit darurat, hingga kamp-kamp pengungsian di Khan Younis yang didirkan sejak 1949 untuk menampung ratusan ribu pengungsi dari wilayah-wilayah Palestina yang dirampas Israel pada Peristiwa Nakba.
“Dalam lawatan dua hari di Gaza, Malcolm bertemu beberapa pejabat pemeritahan lokal, mengunjungi sejumlah kamp pengungsian. Ia juga menyempatkan diri sholat di sebuah masjid setempat, lalu mengadakan konferensi pers di gedung parlemen Gaza,” sambung Marable.
Pada saat mengunjungi kamp-kamp pengungsi itulah Malcolm X menyaksikan sendiri penderitaan, kepedihan, dan ketegaran warga Palestina dampak Peristiwa Nakba. Empatinya ia sampaikan dengan lantang saat konferensi pers. “Masalah (penindasan) kami di Amerika juga dialami di seluruh dunia,” ujarnya.
Di sana, Malcolm X menyempatkan diri bersua dan berbicara dengan sastrawan dan penyair Harun Hashem Rashid, salah satu penyintas Pembantaian Khan Younis (3 November 1956). Rashid turut membacakan sebuah puisi “Kita Harus Kembali” di momen makan malam bersama Malcolm X dan para pejabat serta ulama Gaza. Puisi itu kemudian turut disalin Malcolm X di catatan perjalanannya:
“Kita harus kembali.
Tidak ada pembatasan yang harusnya eksis.
Tidak ada halangan yang bisa menghalangi kita.
Teriakkanlah wahai para pengungsi: ‘Kita akan kembali’.
Katakan kepada gunung-gunung: ‘Kita akan kembali’.
Katakan kepada pepohonan: ‘Kita akan kembali’.
Kita akan kembali ke masa muda.
Palestina memanggil kita untuk mempersenjatai diri.
Dan kita mempersenjatai diri dan akan berjuang.
Kita harus kembali.”
Tidak hanya puisi, Malcolm X juga dihadiahi lukisan Bendungan Aswan yang ada di dinding gedung parlemen. Esoknya, 6 September, ia kembali ke Kairo.
“Mereka memberikan saya banyak hadiah. Lalu sekitar pukul 8.25 malam, kami bersama-sama menuju masjid untuk sholat berjamaah. Spirit Allah begitu kuat,” tulis Malcolm X dalam catatan perjalanannya, dikutip Fischbach.
Baca juga: Kanvas Kehidupan Seniman Gaza, Fathi Ghaben
Saat masih di Kairo, pada 15 September 1964 Malcolm bersilaturahim dengan para petinggi Organisasi Pembebasan Palestina PLO. Termasuk dengan ketuanya, Ahmad al-Shukeiri di Hotel Shepheard. Sebelum pulang ke Amerika, Malcolm X meninggalkan sebuah esai bertajuk “Zionist Logic” yang dimuat suratkabar Kairo berbahasa Inggris The Egyptian Gazette edisi 17 September.
“Tentara Zionis yang menduduki Palestina mengklaim bahwa nabi mereka memprediksikan bahwa pada hari-hari terakhir dunia ini, Tuhan mereka akan menghadirkan juru selamat yang memimpin mereka ke Tanah yang Dijanjikan dan mereka mendirikan pemerintahan sesuai petunjuk itu di tanah yang mereka dapatkan (rampas) dan berkuasa dengan tangan besi,” tulis Malcolm X dalam preambul esainya.
Namun, lanjut Malcolm, ia memandang bahwa sejatinya zionisme Israel tidaklah lebih dari bentuk baru kolonialisme. Israel adalah perpanjangan tangan kepentingan Barat, terutama Amerika yang ingin menancapkan terus kuku-kuku neo-imperialisme di tanah Arab dan Afrika.
“Seribu tahun lalu orang-orang Moor tinggal di Spanyol. Apakah itu memberi orang-orang Moor hari ini punya hak hukum dan moral untuk mengusir warga Spanyol dan mendirikan negara Maroko yang baru di wilayah Spanyol, seperti halnya yang dilakukan zionis Eropa kepada para saudara dan saudari Arab kami di Palestina? Argumen zionis yang menjustifikasi pendudukan Arab Palestina tidak memiliki basis hukum dalam sejarah atau bahkan basis keagamaan mereka. Di mana juru selamat mereka?” tulis Malcolm X menutup esainya.
Baca juga: Che Guevara dan Perlawanan di Gaza
Tambahkan komentar
Belum ada komentar