Jenderal Nasution Terseret Kasus Pembajakan Pesawat Garuda
Dirundung isu terlibat dalam kegiatan pelaku teror kelompok radikal. Nasution menyatakan dirinya diperalat intelijen.
Setelah drama pembajakan pesawat Garuda DC-9 “Woyla" berakhir, pemerintah menggelar konferensi pers. Pangkopkamtib Laksamana Soedomo didampingi Menteri Penerangan Ali Moertopo mengungkap para pelaku pembajakan merupakan buron kasus penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung. Mereka, sebut Soedomo, melakukan teror untuk mendirikan negara Islam di Indonesia.
“Dengan demikian jelas bahwa kelompok ini adalah kelompok ekstrim yang telah menafsirkan ajaran agama secara salah dan mencemarkan agama,” ucap Soedomo dikutip harian Angkatan Bersenjata, 1 April 1981.
Sementara itu, Ali Moertopo mengatakan keberhasilan pemerintah menangani pembajakan mengangkat citra Indonesia di kancah internasional. Menurutnya, Indonesia adalah negara ketiga yang berhasil menyelesaikan masalah pembajakan secara gemilang. Atas pencapaian itu, Ali mengajak semua yang hadir dalam jumpa pers mengagungkan nama Allah. Seruan takbir pun diserukannya, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!”
Kendati demikian, dalam jumpa pers itu, belum tersingkap siapa dalang di balik pembajakan tersebut. Sejumlah pihak disebut-sebut punya kaitan dalam peristiwa pembajakan tersebut. Mulai dari kelompok Islam radikal “Jamaah Imran” pimpinan Imran bin Muhammad Zein, eksponen Darul Islam, hingga tim Operasi Khusus “Opsus” bentukan Ali Moertopo. Jenderal (Purn.) Abdul Haris Nasution bahkan juga terseret dalam peristiwa pembajakan Garuda Woyla.
Nama Nasution pada Mei 1981 –tiga bulan setelah pembajakan Woyla– diisukan punya koneksi dengan Imran. Indikasi itu disampaikan oleh Pangdam Jaya Mayjen TNI Norman Sasono dalam siaran TVRI tanggal 13 Mei. Nasution memang sedang menjadi sorotan pemerintah karena aktivitasnya dalam kelompok oposisi Petisi 50 sejak 1980. Petisi 50 gencar menyuarakan kritik terhadap rezim Presiden Soeharto yang dinilai otoriter.
Menurut Bakrie Tianlean, asisten pribadi Nasution, ketika terjadi pembajakan Garuda Woyla, Nasution berada di Hutapungkut, Tapanuli Selatan. Nasution pulang ke kampung tempat kelahirannya itu lantaran ibundanya sakit keras. Apapun alasannya, Nasution ternyata tetap harus melapor ke Kodam Jaya menghadap Norman Sasono. Status sebagai mantan ketua MPR rupanya tidak cukup memberikan Nasution kekebalan dari pemeriksaan.
“Pak Nas diantar oleh Letkol B.M. Sitompul. Kemudian, pada 14 Mei 1981, Pak Nas memberikan keterangan pers tentang pembajakan itu,” tutur Bakrie dalam memoar Suka Duka 28 Tahun Mengabdi Bersama Jenderal Besar AH Nasution.
Baca juga: Ketika Jenderal Nasution Marah
Nasution mengakui, Imran dan kawan-kawan pernah datang menemuinya dengan membawa surat pengantar dari Kolonel Edy Sukardi –mantan anak buah Nasution di Divisi Siliwangi. Imran diperkenalkan sebagai agen yang punya hubungan dengan para pemodal dari Arab untuk membangun PT Arafat. Perusahaan ini adalah perusahaan pengangkut jamaah haji yang saat itu terancam bangkrut. Nasution lantas meminta Brigjen Isa Idris untuk menghubungkan Imran dengan Dirut PT Arafat Brigjen CPM Rusli.
Dalam keterangan pers, Nasution menilai bahwa Imran dan kawan-kawan adalah suruhan intel untuk menjeratnya. Nasution merasa dirinya dijebak karena namanya dicatut berdasarkan informasi dari pihak Kodam Jaya. Info tersebut menyatakan salah satu pembajak meminta kejadian pembajakan itu dilaporkan kepada Nasution dan Letjen TNI (Purn.) H.R. Dharsono sebelum mereka menghembuskan nafas terakhir.
Nasution luput dari ancaman pidana. Keterlibatannya dalam pembajakan sama sekali tidak terbukti. Meski demikian, sebagai mantan prajurit dan sesepuh TNI, Nasution amat tersinggung namanya dicemarkan lewat tudingan terlibat gerakan teror kelompok radikal.
“Tapi yang paling menyakitkan adalah upaya untuk melibatkan saya dalam peristiwa pembajakan pesawat Woyla. Katanya, sebelum menghembuskan nafas terakhir, pembajak yang tertembak di atas pesawat itu mengatakan agar segera melapor kepada Jenderal Nasution,” ungkap Nasution dalam Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai: Perjalanan Hidup A.H. Nasution.
Baca juga: H.R. Dharsono, Jenderal Terpidana
Sementara itu, Dharsono bahkan sampai dipenjara lima tahun pada 1984. Dharsono dituduh terlibat dalam komplotan Islam garis keras yang meledakkan gedung BCA di Jakarta Kota. Walaupun tidak mengalami nasib dipenjara seperti Dharsono, Nasution yang memasuki masa tua dipersulit kehidupannya lantaran dicekal pemerintah hingga awal dekade 1990-an.
Adapun Imran bin bin Muhammad Zein kemudian dinyatakan sebagai dalang pembajakan pesawat Garuda Woyla. Pengadilan mendakwanya bersalah dan menjatuhi vonis hukuman mati. Imran yang oleh anggota kelopomknya dijunjung sebagai "imam" menjalani eksekusi pada 1985.
Tempo, 4-11 April 1981 pernah mengutip pengakuan Imran yang mendaku diri sebagai “orang pemerintah”. Setelah sang imam dieksekusi, kelompok Imran memang santer dirumorkan sebagai binaan intelijen. Salah satu tokoh militer yang memperkuat anggapan tersebut adalah mantan Pangkopkamtib Jenderal (Purn.) Soemitro.
Baca juga: Jamaah Imran Mencari Senjata
Menurut Soemitro, para eks pemberontak Darul Islam semula dibina oleh Kodam Siliwangi untuk dijinakkan. Namun, sekonyong-konyong mereka ditarik ke Jakarta oleh Ali Moertopo yang waktu itu menjabat deputi Bakin (kini BIN). Pimpinan Kodam Siliwangi tak bisa berbuat apa-apa karena kedekatan Ali Moertopo dengan Presiden Soeharto. Sejak saat itu, hubungan Siliwangi dengan Ali Moertopo merenggang, sedangkan eks Darul Islam “dipelihara” oleh Opsusnya Ali Moertopo.
“Mungkin karena pembinaannya kurang baik, akhirnya mereka lepas kendali, dan akhirnya menjadi bumerang dan menentang pemerintah, yaitu melalui kasus pemboman BCA dan juga kasus Woyla. Ibarat Ali Moertopo membina macan, lantas sang macan menjadi besar dan akhirnya memakan ‘majikan’-nya sendiri,” kata Seomitro dalam memoar Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 yang ditulis Heru Cahyono.
Sampai saat ini, belum ditemukan rilisan arsip atau dokumen resmi yang mengonfirmasinya. Meski demikian, sejumlah peneliti maupun sejarawan meyakini pendapat Soemitro tersebut benar adanya.
Baca juga: Ada Intel di Jamaah Imran
Tambahkan komentar
Belum ada komentar