Jamaah Imran Mencari Senjata
Pembajak pesawat Garuda Woyla melakukan berbagai cara untuk mendapatkan senjata. Dari mencuri di gudang ABRI hingga berupaya menggetok polisi.
AKHIR Maret 1981. Pesawat Garuda DC-9 Woyla dibajak oleh lima lelaki Indonesia yang merupakan anggota Jamaah Imran. Nama itu mengacu kepada suatu kelompok Islam radikal pimpinan Imran bin Muhmmad Zein Sutan Sinaro. Kepada pemerintah Republik Indonesia (RI), para pembajak mengajukan beberapa tuntutan, di antaranya pemerintah RI harus membebaskan 86 tahanan politik terkait gerakan Islam radikal.
“Salah satunya adalah ketua Momok Revolusiener di Sumatra dan juga Abdullah Sungkar, pengkhotbah asal Solo yang (pernah) mengajak para pendukungnya memboikot Pemilu 1977,” ungkap Ken Conboy dalam Intel II: Medan Tempur Kedua.
Sekira tiga minggu sebelumnya, Jamaah Imran pun telah melakukan penyerangan ke Pos Polisi Kosekta 8606 di wilayah Cicendo, Bandung. Akibat serangan tersebut, 3 anggota Polri langsung tewas seketika dan satu lainnya terluka parah. Selain itu, para penyerang berhasil membebaskan beberapa tahanan dan merampas dua pistol jenis Colt 38.
Baca juga: Kantor Polisi di Cicendo Diserang
Menurut Conboy, penyerangan itu dilaksanakan dengan berbekal senjata laras panjang berjenis M1 Garand, sepucuk pistol jenis FN 32 dan beberapa granat tangan. Senjata dan granat-granat tersebut merupakan hasil curian dari gudang senjata Sekolah Angkutan Militer di Cimahi. Sedangkan pistol dicuri dari seorang kolonel yang merupakan ayah dari salah seorang anggota Jamaah Imran.
Pistol dari berbagai jenis itulah yang kemudian dipakai oleh lima anggota Jamaah Imran untuk membajak pesawat Garuda Woyla. Selain pistol, mereka pun menggunakan beberapa granat tangan dan dinamit.
Awalnya Jamaah Imran melakukan berbagai aksi kekerasan hanya dengan menggunakan bayonet dan golok. Itu pernah mereka jalankan pada saat mereka mengupayakan sejumlah pembunuhan terhadap beberapa tokoh ulama Bandung yang dianggap pro pemerintah RI dan Kopral Dua Nadjamuddin, seorang anggota ABRI yang dianggap anggota intelijen pemerintah yang disusupkan ke jaringan mereka.
Semua upaya pembunuhan itu tak pernah berhasil. Kecuali aksi yang dilakukan terhadap Kopral Dua Nadjamuddin yang berhasil ditusuk secara beramai-ramai hingga tewas. Saat itu yang bersangkutan memang sengaja diundang untuk ikut pengajian kecil mereka.
Dari berbagai aksi yang gagal itulah, Imam Im (panggilan akrab para pengikut Imran) sampai pada satu kesimpulan bahwa mereka memerlukan senjata api. Maka keluarlah “fatwa” dari sang imam agar para pengikutnya harus mendapatkan senjata api dengan berbagai cara.
Baca juga: Sebelum Pembajakan Pesawat Garuda
Upaya pertama dijalankan dengan membuat sendiri sejenis pistol berpeluru jarum beracun. Itu diupayakan oleh seorang anggota Jamaah Imran bernama Muhammad Amin. Lelaki kelahiran Mojokerto pada 1957 itu kemudian meminta kepada Sueb (seorang anggota Jamaah Imran yang pandai merakit senjata) untuk membuatkan “senjata rahasia” yang akan digunakan Amin membunuh sejumlah tokoh pemerintah, termasuk Mayor Jenderal (Purn) Amir Murtono yang saat itu merupakan Ketua Umum Golkar (Golongan Karya).
“Saya diperintahkan Haji Yusuf (orang dekat Imran)…” ungkap Amin seperti dikutip buku Imran: Dari Hukum sampai Islam terbitan Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta.
Selain membuat sendiri, senjata-senjata maut milik Jamaah Imran juga didapatkan dari hasil mencuri. Secara khusus, Imam Im “mendoktrin” beberapa anggota jamaah-nya yang memiliki ayah yang berprofesi sebagai anggota ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Mereka kemudian diperintahkan untuk menyusup ke gudang senjata milik ABRI atau mencuri secara langsung senjata milik orangtua mereka.
Imam Im juga memerintahkan pengikutnya untuk merampas senjata dari para anggota Polisi Lalu Lintas (Polantas) yang tengah menunaikan tugas-nya di jalanan. Cara itu pernah dipraktekkan oleh dua anggota Jamaah Imran yakni Muthalib dan Mahrizal (pimpinan pembajak pesawat Garuda Woyla).
Baca juga: Sebait Puisi dari Pembajak Pesawat Garuda Woyla
Pada suatu hari, sebelum operasi pembajakan dilakukan, Muthalib dan Mahrizal mendatangi Pos Polisi di Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Aksi itu terekam dalam dialog antara majelis hakim dengan Muthalib yang merupakan salah satu saksi dalam pengadilan Imran bin Muhammad Zein Sutan Sinaro pada Februari 1982:
“Bagaimana hasil mencari senjata di Suropati itu?” tanya Hakim Soebandi, S.H.
“Saya disuruh mengintip polisinya, sedang Mahrizal merayap mau menggetok kepala polisi itu,” jawab Muthalib yang langsung disambut tawa riuh penonton sidang.
“Ya…Lalu bagaimana?” tanya Hakim lagi.
“Lagi asyiknya Mahrizal merayap, saya colek pantatnya, (saya bilang): Sstt! Polisinya melihat saya, awas nanti kita ditembak. Akhirnya kami berlari. Enggak jadi rampok senjata…”
Ruang sidang pun kembali dipenuhi tawa riuh.
“Apa benar polisinya melihat saudara saksi?”
“Tidak Pak Hakim. Cuma karena saya takut, saya kasih tahu begitu. Habis saya ngeri, kaki saya gemetaran…” ungkap Muthalib.
Untuk kesekian kalinya, para pengunjung pun tertawa mendengar kepolosan Muthalib.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar