Ada Intel di Jamaah Imran
Aksi-aksi teror Jamaah Imran banyak terkait dengan orang-orang militer. Benarkah gerakan Islam garis keras itu hanya rekayasa?
DI RUMAH Imam Im (panggilan akrab pengikutnya untuk Imran bin Muhammad Zein Sutan Sinaro) Kopral Dua Nadjamudin tersungkur dengan berlumuran darah. Anggota Korps Angkutan Militer Angkatan Darat di Cimahi itu akhirnya menemui ajal pada Jumat siang, 27 Maret 1981, setelah Imam Hidayat menancapkan sebilah belati di bagian perutnya.
“Saya yang bunuh (Nadjamudin)…” ungkap lelaki kelahiran tahun 1959 itu di hadapan majelis hakim pada Januari 1982. Sebelum ditusuk, Nadjamudin dipukuli secara beramai-ramai oleh 6 anggota Jamaah Imran yang lainnya. Lantas mengapa nyawa sang kopral harus melayang?
Menurut Imam, sejatinya Nadjamudin adalah seorang anggota yang berharga bagi Imran. Selain ikut menyediakan sepucuk laras panjang berjenis M1 Garand, dia pun terlibat dalam rencana penyerangan Pos Polisi Kosekta 8606 di wilayah Cicendo, Bandung pada 11 Maret 1981.
Baca juga: Jamaah Imran Mencari Senjata
Namun lambat laun kawan-kawan sejamaahnya mencium gelagat tidak beres. Mereka mendapatkan informasi bahwa sesungguhnya Nadjamudin adalah seorang intel tentara yang sengaja diselusupkan ke Jamaah Imran guna membongkar rahasia kelompok tersebut sekaligus melakukan “provokasi”.
Soal itu kemudian dilaporkan kepada Imam Im. Tanpa banyak bicara, sang imam hanya memerintahkan kepada para anggotanya itu agar Nadjamudin “dilibas” saja. Kata “dilibas” itulah yang kemudian ditafsirkan para pengikut Imam Im sebagai instruksi untuk menghabisi Nadjamudin.
“Gagasan untuk membunuh Nadjamudin datang dari Mahrizal (pemimpin pembajakan pesawat Woyla milik Garuda),” ungkap Imam Hidayat seperti termaktub dalam buku Imran: Dari Hukum sampai Islam yang ditulis dan diterbitkan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.
Keberadaan Nadjamudin sebagai agen intel tentara dikonfirmasi oleh pihak militer Indonesia sendiri puluhan tahun kemudian. Hal itu disebutkan oleh mantan staf intelijen Hankam, Teddy Rusdy dalam biografinya yang ditulis Servas Pandur, 70 Tahun Teddy Rusdy: Think Ahead.
“Menjelang subuh hari terjadinya pembajakan pada Sabtu 28 Maret 1981 (diberitakan) seorang anggota intelijen yang disusupkan telah dibunuh…Karena kedoknya telah terbuka,” ungkap Servas berdasarkan wawancaranya dengan Teddy Rusdy.
Selain Nadjamudin ada dua orang lain dari unsur militer yang dihubungkan dengan Jamaah Imran. Mereka adalah Mayor (Udara) Ir. Jacob Ishak dan Mayor Jenderal (Purnawirawan) Ishak Djuarsa. Namun sebagai saksi di depan pengadilan, Jacob dan Ishak menyanggah bahwa mereka merupakan bagian dari Jamaah Imran.
Jacob mengaku bahwa hubungannya dengan Imran terjalin berkat keponakannya yakni Ir. Armi Noor. Armi bersama ayah dan dua adiknya merupakan anggota aktif Jamaah Imran. Bahkan ayah dan salah satu adik Armi ditahan karena ikut menyerang Pos Polisi Kosekta 8606 Cicendo.
Baca juga: Kantor Polisi di Cicendo Diserang
Tentang rencana aksi teror Jamaah Imran didengar langsung Jacob dari mulut Imam Im sendiri. Ceritanya, dua hari sebelum aksi pembajakan, Amri dan salah satu adiknya yakni Azhar Zulkarnain serta Imran sendiri datang ke rumah Jacob di kawasan Cipinang Timur, Jakarta Timur. Tujuan mereka datang adalah untuk meminjam pistol berjenis Makarov kepada Jacob.
“Gunanya untuk apa?” tanya Hakim Soebandi.
“Bajak pesawat udara,” jawab Jacob.
“Terus bagaimana?” cecar hakim.
“Saya tidak berikan,” ujar Jacob.
Karena tidak mau memberikan, secara emosional Armi mengingatkan bahwa saat itu kakak kandung dari dan dua keponakan Jacob tengah ditahan aparat. Dengan Makarov kepunyaan Jacob, Armi menegaskan dirinya akan membebaskan mereka.
“Jika senjata api itu tidak diberikan, saya akan bunuh diri!” teriak Armi.
“Tapi itu rencana tidak baik!” jawab Jacob.
Imran lalu menengahi pertengkaran paman dan keponakan tersebut. Sambil mengutip beberapa ayat Al Qur’an, dia lalu menyarankan agar Jacob memberikan saja Makarov itu kepada mereka.
“Berilah dengan ikhlas…” ujar Imran.
Namun Jacob tetap bersikeras. Alih-alih mengamini, dia malah langsung meninggalkan ketiga orang tersebut dan berangkat langsung ke kantornya.
Singkat cerita, sepulang ngantor, Jacob langsung memeriksa lemari. Alangkah terkejutnya saat dia menyaksikan pintu lemari telah dirusak dan pistol Makarov miliknya yang biasa dia simpan di balik lempitan baju-baju tak ditemukan. Pistol buatan Uni Soviet itu bahkan raib beserta semua pelurunya dan sebuah kamera.
Khawatir terjadi sesuatu, Jacob kemudian melaporkan kehilangan tersebut ke kantor polisi setempat. Namun dia tak menyertakan kecurigaannya kepada seseorang mengingat Armi Noor merupakan keponakannya sendiri.
“Dia tidak sampai hati berbuat demikian,” ungkap Jacob.
Sebelumnya Jacob juga diminta oleh Imran dan Armi Noor untuk menyediakan 10 pucuk senjata api genggam untuk menjalankan rencana pembunuhan Menteri Penerangan Ali Moertopo. Menurut kesaksian Jacob, permintaan itu ditolaknya mentah-mentah. Namun tak urung, Mayor Jacob tetap ditahan oleh Polisi Militer.
Baca juga: Target Pembunuhan Jamaah Imran
Sama seperti Jacob, Ishak Djuarsa pun memberikan kesaksian di pengadilan bahwa hubungannya dengan Imran tak lebih sebagai kolega bisnis semata. Kendati rencana bisnis itu tak pernah berlanjut secara nyata, namun Ishak mengakui bahwa dirinya kerap berdiskusi soal-soal bisnis dengan Imran.
Ishak menjalin hubungan dengan Imran karena dikenalkan oleh salah seorang eks anak buahnya bernama Joni. Saat berkenalan itulah, Imran mengaku sebagai wakil suatu perusahaan kontraktor umum dari Saudi Arabia. Untuk meyakinkan Ishak, dia kemudian memperlihatkan surat keterangan dari perusahaan itu.
Imran beberapa kali bertemu dengan mantan Panglima Kodam I Iskandar Muda itu. Bahkan Ishak mengakui, dia pernah satu kali menginap di rumahnya yang ada di Bogor. Saat berhubungan itulah, Imran kerap membicarakan soal penyelewengan-penyelewengan dan korupsi yang tengah merajalela di negeri ini.
“Semua orang sudah tahu soal itu…” ujar mantan pejuang kemerdekaan RI tersebut.
Berbeda dengan keterangan Ishak sebagai saksi, Imran sendiri menyatakan bahwa selain soal bisnis, dirinya kerap berdiskusi mengenai soal-soal politik dan pengalamannya memberantas praktek penyelundupan saat menjabat sebagai pangdam di Aceh sehingga dia “dipanggil” ke Jakarta dan dipindahkan ke Palembang.
Selain diskusi tersebut, kata Imran, Ishak juga pernah memberikan sejumlah dokumen kepada Imran. Dokumen itu antara lain terjemahan dari buku The Last Day Indonesian Soeharto, salinan dokumen CSIS (lembaga yang dibidani Ali Moertopo) dan dokumen hasil rapat Ali Moertopo dengan pimpinan Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) dan Dewan Gereja Indonesia (DGI).
“Semua itu saya dapatkan ketika menginap di rumah Ishak Djuarsa,” ungkap Imran di depan Hakim Soebandi.
Keterlibatan unsur-unsur militer dalam gerakan Jamaah Imran menyebabkan banyak kalangan mencurigai kelompok tersebut tak lebih sebagai “peliharaan” salah satu faksi di tubuh badan intelijen Indonesia. Hal itu pernah dilontarkan oleh seorang agen CIA berkode Friendly/2 dalam buku karya Ken Conboy, Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia.
Baca juga: Di Bawah Kuasa Agen Rahasia
“Dia melaporkan bahwa salah seorang pengikut Imran menghambur-hamburkan dana dengan sumber dananya yang misterius…” ungkap Conboy.
Bukan hanya CIA, pimpinan Badan Intelijen Strategis (BAIS) sekaligus Asisten Intelijen Hankam L.B. Moerdani juga mencium adanya keterlibatan “intelijen pemerintah” lainnya dalam kasus Jamaah Imran. Menurut Ken Conboy, kecurigaan itu bukanlah tanpa dasar —walaupun secara teori, Ali Moertopo tidak terlibat dalam urusan operasi khusus—, namun desas-desus tentang ikut campur tangannya dalam kasus tersebut bertiup kencang kala itu.
Begitu marahnya Benny (panggilan akrab L.B. Moerdani) atas situasi tersebut, kata Conboy, hingga dia menelepon langsung Deputi III Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) Aswis Sumarmo.
“Bilang pada Pitut (Soeharto) untuk menghentikannya! Atau dia akan kutangkap!” ujar Benny.
Pitut Soeharto adalah agen intelijen kepercayaan Ali Moertopo. Saat awal Orde Baru, dia ditugaskan untuk “masuk” ke jaringan kelompok Islam garis keras guna menjalankan operasi penjinakan sekaligus melakukan pembusukan terhadap kekuatan-kekuatan Islam politik.
Ketidakpercayaan Benny kepada “intel lain” secara tersamar dibuktikan oleh keinginannya untuk menjadi koordinator langsung penanganan Operasi Woyla. Ketika Teddy menyampaikan pertanyaan Duta Besar RI untuk Thailand Hasnan Habib: apakah koordinasi dalam pengendalian pembajakan ada pada tangan Hasnan Habib, Kepala BAKIN Yoga Soegomo atau berada di Jakarta?
“…di Jakarta!” jawab Benny setengah membentak.
Baca juga: Jenderal Yoga dan Pembajakan Garuda Woyla
Tambahkan komentar
Belum ada komentar