Target Pembunuhan Jamaah Imran
Sejumlah tokoh menjadi sasaran aksi teror Jamaah Imran. Mulai ulama dan menteri hingga seorang perwira pasukan elite Angkatan Darat.
MEMASUKI tahun 1981, Indonesia dikejutkan dengan berbagai aksi teror yang melibatkan Jamaah Imran. Nama itu mengacu kepada suatu kelompok Islam radikal pimpinan Imran bin Muhmmad Zein Sutan Sinaro. Sejarah mencatat, aksi teror mereka dipuncaki dengan penyerangan terhadap Pos Polisi Kosekta 8606 di Cicendo, Bandung dan pembajakan terhadap pesawat Garuda DC-9 Woyla pada 28 Maret 1981.
Menurut Ken Conboy dalam Intel II: Medan Tempur Kedua, dari Januari hingga Februari 1981, para anggota Jamaah Imran sangat aktif menjalan upaya penyingkiran orang-orang yang dianggap akan menghalangi kerja-kerja jihad mereka. Kendati gagal total karena seluruh anggota jaringan Jamaah Imran keburu terciduk , namun sejatinya semua rencana itu sempat dijalankan secara serius.
Bahkan setelah aksi gagal mereka membajak pesawat Garuda DC-9 Woyla pada akhir Maret 1981, Im Im (panggilan akrab anggota jamaah tersebut kepada ketuanya) masih sempat memerintahkan agar para anggota-nya melakukan aksi balas dendam kepada pimpinan operasi penumpasan para pembajak yakni Letnan Kolonel Sintong Panjaitan.
Berikut sebagian para tokoh agama, politik dan militer Indonesia yang rencananya akan dihabisi oleh anggota Jamaah Imran:
K.H. Engking Zainal Muttaqin
Kiyai Haji Engking Zainal Muttaqin merupakan ulama senior di Jawa Barat. Kendati dikenal anti komunis dan pernah dipenjarakan oleh pemerintah Sukarno selama 5 tahun (1961—1966), dia dikenal sebagai tokoh Islam yang memiliki pemikiran keagamaan yang moderat. Demikian menurut buku Jejak Langkah, Cita, dan Alam Pikiran Dr. K.H. E.Z. Muttaqien karya Agussalim Sitompul.
Karena kerap menyiarkan pesan-pesan damai dan mengecam sikap ekstrim dalam beragama, Imam Im memandang Ajengan Engking (panggilan akrab K.H.E.Z. Muttaqin) sebagai ulama yang telah “melacurkan” diri kepada pemerintah Orde Baru. Dia juga menilai ceramah-ceramah Ajengan Engking hanya akan membuat umat Islam menjadi umat yang lemah.
Baca juga: Jamaah Imran Mencari Senjata
Kebencian Imam Im terhadap Ajengan Engking semakin bertambah saat dikabarkan sang ajengan diangkat sebagai penatar program politik pemerintah Orde Baru yakni Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Hal itu diucapkan secara langsung oleh Imam Im saat berceramah di Masjid Istiqomah Bandung pada Agustus 1979.
“Model Muttaqin yang gila itu, kalau tahu dia (tidak) gila, mana mau dia ditatar (P4)…” ujar Imran seperti dicatat dalam buku Imran dari Hukum Sampai Islam yang ditulis dan diterbitkan oleh Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta.
Tidak hanya cukup dengan mengecam dan menghina, Imran juga memerintahkan pengikutnya untuk membunuh Ajengan Engking. Hal itu pernah diucapkan Imran secara tidak langsung (lewat orang kepercayaannya) kepada salah seorang pengikutnya bernama Amsyurizal, seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (UNISBA).
“Imam memerintahkan (Ajengan Engking) untuk disandera terlebih dahulu, baru dibunuh,” ungkap lelaki kelahiran tahun 1959 itu.
Amir Murtono
Tidak jelas benar apa yang menyebabkan Jamaah Imran menyasar Mayor Jenderal (Purn) Amir Murtono untuk dijadikan target pembunuhan. Bisa jadi ide itu tercetus karena nama Ketua Umum Golongan Karya (1973—1983) terdapat dalam selebaran gelap yang beredar di kalangan umat Islam pada akhir 1970-an.
Disebutkan dalam selebaran tersebut, Amir bersama Menteri Penerangan Ali Murtopo telah mengadakan sejumlah pertemuan dengan Dewan Gereja Indonesia (DGI) dan Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) untuk secara sistematis menyingkirkan peran umat Islam dalam perpolitikan di Indonesia.
Baca juga: Jamaah Imran Serang Kantor Polisi di Cicendo
Yang jelas, Imran telah memerintahkan Muhammad Jusuf (salah satu orang kepercayaannya di Mojokerto, Jawa Timur) untuk menghabisi nyawa Amir Murtono begitu dia pulang ke Surabaya. Perintah itu kemudian diteruskan kepada M. Amin alias Umar.
“Saya diperintahkan oleh Muhammad Jusuf untuk bunuh Amir Murtono,” ungkap lelaki kelahiran Mojokerto pada 1956 itu.
Namun untuk menyelidiki Amir Murtono, Muhammad Jusuf langsung melakukannya sendiri. Di hadapan pengadilan yang menyidangkan kasus Imran pada Februari 1982, sebagai saksi Jusuf menyatakan telah diminta Imran untuk mengecek keberadaan Amir Murtono di rumahnya yang di Surabaya.
“(Saya harus mengecek) kapan ia kembali ke Jakarta dan dengan pesawat apa, agar pesawat yang membawanya dapat dibajak,” ujar Jusuf.
Ali Murtopo
Sama dengan alasan untuk menghabisi Amir Murtono, motivasi rencana untuk membunuh Menteri Penerangan Ali Murtopo sepertinya tercetus dari adanya selebaran gelap yang menyatakan bahwa sang menteri sebagai otak di balik penghancuran umat Islam di Indonesia.
Disebutkan oleh Imran bahwa Ali dianggap “berdosa” kepada umat Islam. Selain banyak mengobrak-abrik jaringan perlawanan Islam radikal, juga dia dianggap telah bersepakat dengan orang-orang Kristen untuk menyingkirkan orang-orang Islam dari kancah perpolitikan di Indonesia.
Baca juga: Tiga Kitab Ali Moertopo
Secara langsung, seorang saksi yang bernama Jacob Ishak, pernah mendengar Imran berencana akan memerintahkan para pengikutnya untuk membunuh Ali Murtopo. Menurut perwira menengah Angkatan Udara yang terlibat dalam Jamaah Imran tersebut, aksi itu akan dilakukan oleh seorang kawan Imran yang bertempat tinggal di sekitar rumah Ali Murtopo.
Bahkan lebih jauh Imran meminta kepada Jacob untuk menyediakan 10 pucuk senjata api. Namun permintaan itu ditolak.
“Saya beritahu mereka, saya tidak sanggup…,” ungkap saksi yang turut ditahan itu.
Kolonel Sintong Panjaitan
Pedongkelan, Jakarta, 2 April 1981. Begitu mendengar para pembajak pesawat Garuda DC-9 Woyla berhasil ditumpas Komando Pasukan Sandi Yudha Angkatan Darat (Kopassandha AD), Imran langsung melakukan pertemuan mendadak dengan sisa-sisa pengikut-nya.
“Imran tidak sudi menyerah, ia merencanakan aksi berikutnya…” ungkap Ken Conboy.
Imran betul-betul marah kepada Kopassandha. Dia lantas memerintahkan kepada salah satu pengikutnya bernama Hisyam untuk membunuh Letnan Kolonel Sintong Panjaitan (Komandan Satuan Anti Teror Kopassandha) yang dianggap bertanggungjawab atas operasi penumpasan itu.
“Kau! Hisyam! Harus menebus darah teman-temanmu yang telah mati syahid itu,” kata Imran seperti disampaikan oleh Jumardi, salah seorang saksi dalam persidangan Imran.
Baca juga: Cerita Korban Pembajakan Garuda Woyla
Tidak sekadar memerintah, Imran pun ikut mengatur strategi rencana pembunuhan tersebut dengan memberikan saran agar Hisyam dan beberapa kawannya melakukan pengintaian terhadap rumah Sintong Panjaitan di Asrama Kopassandha Cijantung, Jakarta Timur
“Kamu (nanti) melamar menjadi seorang pembantu agar dapat membunuh Komandan Pasukan Anti Teror itu,” ujar Imran.
Dua hari setelah pertemuan itu, rencana awal pun mereka laksanakan. Namun sebelum pembunuhan itu terjadi, aparat keamanan keburu meringkus tim qisas (pembalasan) tersebut. Beberapa hari kemudian giliran Imran yang diciduk. Setahun kemudian, pada akhirnya sang imam pun harus tewas di hadapan regu tembak. Maka dengan gagalnya operasi qisas itu, gagal pula-lah seluruh mimpi Imran dan para pengikutnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar