Hamas Senjata Makan Tuan Israel
Hamas lahir dari rahim Ikhwanul Muslimin yang dibidani Israel. Bertransformasi jadi lawan terberat Israel dan Yasser Arafat.
BERMULA dari Gerbang Damaskus, krisis Palestina-Israel lagi-lagi membara. Pada permulaan bulan suci Ramadhan, 12 April 2021, polisi Israel memblokade Gerbang Damaskus yang jadi akses warga Palestina menuju kota tua Yerusalem. Padahal, umat muslim punya tradisi berkumpul di Yerusalem setiap awal Ramadhan.
Blokade itu memicu perlawanan dan membuahkan bentrokan. Keadaan makin parah karena dikompori oleh kemunculan video seorang pemuda Palestina menampar seorang Yahudi yang viral di TikTok pada 15 April. Video itu membuat aparat keamanan Israel membatasi warga muslim Palestina yang hendak shalat Jumat di Masjid Al-Aqsa keesokan harinya.
Bentrokan demi bentrokan antara warga Palestina dengan warga Israel yang dibantu polisi terus terjadi di Gerbang Damaskus, kota Jaffa, dan Yerusalem Timur setelah itu. Militer Israel (IDF) melepaskan sejumlah roket ke posisi-posisi Hamas pada 23 April. Tak ayal, Hamas pun membalasnya dengan menembakkan 36 roket keesokan harinya.
Situasi yang makin genting bagi warga sipil Palestina hingga lepas Hari Raya Idul Fitri membuat sejumlah pemimpin dunia melayangkan kecaman. Pasalnya belum ada tanda-tanda militer Israel akan menurunkan status kesiagaannya.
Baca juga: Prahara Yerusalem Sejak 1948
Sebaliknya, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu malah mengindikasikan akan menggelar serangan lebih masif. Dia tak peduli ratusan warga Palestina di Jalur Gaza maupun Tepi Barat menjadi korban.
“Ini belum berakhir. Kami akan melakukan segalanya untuk memulihkan keamanan di kota-kota dan bagi rakyat kami,” ujar Netanyahu, dikutip NPR, Jumat (14/5/2021).
Netanyahu ingin menghancurkan semua pusat kekuatan Hamas yang menembakkan roketnya ke Israel. Hamas dengan sayap militernya Brigade Izz ad-Din al-Qassam selalu jadi target IDF sepanjang konflik Israel-Palestina sejak 1987. Padahal, dalam proses kelahiran organisasi perlawanan yang dicap militan teroris oleh beberapa negara itu ada tangan Israel yang ikut membidani.
Organisasi Amal Jadi Militan Bersenjata
Harakat al-Muqawamah al-Islamiyah (Pergerakan Perlawanan Islam) atau Hamas mulanya merupakan organisasi onderbouw Ikhwanul Muslimin (IM) yang berdiri di Mesir pada 1928. Pada 1973, IM membuka cabang organisasinya, Mujama al-Islamiya, di Jalur Gaza sebagai wadah amal dan sosial untuk membantu warga Palestina yang terdampak Perang Arab-Israel III (5-10 Juni 1967). Mujama al-Islamiya di Gaza dipimpin Sheikh Ahmed Yassin.
Organisasi itu diakui dan bahkan disokong dana oleh pemerintah Israel sejak 1979 demi kepentingan menjaga ketertiban di Yerusalem. Israel awalnya ingin menjadikan Mujama al-Islamiya sebagai kepanjangan tangannya dalam pertarungan politik melawan kelompok nasionalis Fatah dengan Palestine Liberation Organization (PLO)-nya.
“Di masa itu PLO pimpinan Yaser Arafat adalah musuh Israel nomor satu. Untuk meredam kekuatan PLO, Tel Aviv mengizinkan Yassin mengembangkan Mujama agar memecah kekuatan perjuangan pimpinan Arafat tersebut. Yang kemudian dijadikan teladan adalah Ikhwanul Muslimin, gerakan sosial yang didirikan Hasan al-Banna di Mesir pada 1928. Mujama ingin menjadi organisasi sosial dan menampilkan wajah Islam yang memikat; penuh kasih dan menebar persaudaraan,” tulis Nando Baskara dalam Gerilyawan-Gerilyawan Militan Islam.
Baca juga: Sumbangsih Pertama Indonesia untuk Palestina
Dengan sumber dana memanfaatkan zakat dan wakaf dari sesama muslim, serta sokongan Israel melalui Gubernur Gaza Brigjen Yitzhak Segev, Mujama al-Islamiya membuka sekolah-sekolah, menggelar program-program beasiswa, serta membangun sejumlah perpustakaan dan masjid.
“Pemerintah Israel memberikan saya pendanaan dan pemerintahan militer memberikannya kepada masjid-masjid,” kenang Brigjen Segev, dikutip David Pratt dalam Intifada: Palestine and Israel.
Baca juga: Kisah Mossad Mengevakuasi Yahudi Afrika
Badan Intelijen Israel Mossad memanfaatkan pengiriman-pengiriman dana itu dengan menyusup ke internal Mujama guna menggali informasi tentang para tokoh PLO di seantero Gaza. Mossad melakoninya dengan dibantu seorang mantan anggota senior CIA (intelijen Amerika Serikat).
“Tidak diragukan lagi bahwa selama beberapa periode tertentu pemerintah Israel merasakan manfaat kelompok fundamentalis Islam (Mujama) itu sebagai fenomena menyehatkan dan sebagai counter bagi PLO. Rencana kami (intelijen Israel) adalah mencoba membelah secara langsung dukungan yang kuat terhadap PLO yang sekuler dengan menggunakan paham agama,” kata Moshe Arens (menteri pertahanan Israel periode 1983-1984 dan 1990-1992) dalam In Defense of Israel: A Memoir of a Political Life.
Makin lama pengikut Sheikh Yassin makin militan saat bentrok dengan kelompok Fatah. Tak ayal para aktivis Mujama pun memerlukan senjata. Itu lalu diwujudkan dengan membeli senjata menggunakan pendanaan Israel sekaligus membentuk milisi Al-Majihadoun al-Falestinioun. Pengadaan senjata itupun tercium militer Israel yang kemudian menciduk Sheikh Yassin.
“Al-Majihadoun al-Falestinioun didirikan Sheikh Ahmad Yassin pada 1982. Kelompok ini nyatanya memperoleh persenjataan dan merencanakan perlawanan bersenjata, baik terhadap saingan Palestina (Fatah) dan Israel. Tetapi aktivitasnya diketahui (Israel) pada 1984 dan Yassin dihukum penjara 13 tahun walau kemudian dibebaskan sebagai bagian dari pertukaran tahanan dalam Perjanjian Jibril pada Mei 1985,” ungkap Anthony H. Cordesman dalam Perilous Prospects: The Peace Process and the Arab-Israeli Military Balance.
Penyesalan Israel
Tetapi semuanya berubah Pada 1987, Intifada Pertama pecah (8 Desember 1987-13 September 1993). Pemberontakan besar-besaran warga Palestina terhadap otoritas Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza itu bermula dari peristiwa tabrakan truk IDF dengan sebuah mobil yang menewaskan empat warga Palestina di Kamp Pengungsian Jabalia.
Walau pihak IDF menyatakan kecelakaan itu bukan kesengajaan, peristiwa itu sudah kadung membakar amarah warga Palestina yang membunuhi orang-orang Yahudi di Gaza. Bentrokan terjadi di mana warga melempari aparat IDF dengan batu dan bom Molotov. Kelompok Fatah pun bereaksi dan untuk pertamakali kelompok nasionalis itu berdiri di satu pihak dengan para pengikut Sheikh Yassin.
Bersamaan dengan pecahnya Intifada Pertama, Sheikh Yassin dan enam petinggi senior Mujama mendirikan Harakat al-Muqawamah al-Islamiyah (Hamas) sebagai organisasi politik dan militer. Para milisinya terdiri dari para anggota Al-Majihadoun yang berdiri lima tahun sebelumnya.
Baca juga: Enampuluh Tahun KAA Membahas Palestina
Pengaruh Sheikh Yassin dengan Hamasnya makin menarik dukungan lebih besar baik di Jalur Gaza maupun Tepi Barat. Kepopulerannya kian menanjak mengingat rivalnya, Yasser Arafat dari Fatah, lebih sering bermarkas di Tunisia setelah serangkaian upaya pembunuhan pada 1985.
“Kelompok (Hamas) itu mulai menonjol. Berubah dari kelompok yang mengedepankan dakwah menjadi kelompok yang paling siap dengan senjata dan bahan-bahan peledak. Hamas juga membentuk sistem kontraintelijen di mana para kolaborator Israel dilenyapkan,” sambung Pratt.
Hamas dibentuk Sheikh Yassin dan keenam rekannya dengan visi-misi membebaskan Palestina dari pendudukan Israel dan menolak segala bentuk kompromi sebagaimana Fatah. Hamas menegaskannya lewat Piagam Hamas yang ditandatangani para pemimpinnya pada 18 Agustus 1988.
Seiring makin besarnya pengaruh Hamas, dibentuk pula sayap khusus militer, Brigade Izz ad-Din al-Qassam, pada 1993 yang mengambil nama Imam besar Izz ad-Din bin Muhammad al-Qassam, imam besar dan pemimpin militan jihad anti-Zionis di era 1920-an Al-Kaff al-Aswad (Tangan Hitam).
Baca juga: Sukarno dan Palestina
Sebagai akibat dari aksi-aksi terornya terhadap warga sipil Israel sejak 1993, Hamas dan Brigade Al-Qassam kemudian jadi target utama Israel dalam Intifada Kedua (28 September 2000-8 Februari 2005).
Gigihnya perlawanan Brigade Al-Qassam Hamas menarik simpati kelompok anti-Israel lain seperti Hezbollah di Lebanon, militer Iran dan bahkan Korea Utara. Dari Hezbollah dan Iranlah para anggota Hamas mendapat pelatihan militer di Suriah dan Iran. Latihan itu termasuk merakit bom dan membuat roket-roket secara mandiri.
“Sayap militer Hamaslah yang mengklaim bertanggungjawab atas pemboman bus di Afula dan Hadera pada 6 April 1994 yang menewaskan 14 warga Israel dan melukai 75 lainnya. Mereka pula yang bertanggungjawab atas peculikan kopral Israel, Nachson Wachsman, penembakan warga di jalan-jalan Yerusalem pada 9 Oktober, bom bunuh diri dalam bus di Tel Aviv 19 Oktober yang menewaskan 22 warga Israel,” tulis Cordesman.
Hamas jadi senjata makan tuan bagi Israel. Ia jadi musuh nomor satu Israel menggantikan Fatah dengan PLO-nya.
“Hamas, sebagai penyesalan terbesar saya, adalah ciptaan Israel. Sebuah kesalahan besar yang bodoh. Alih-alih mencoba membatasi dan mengekang para aktivis Islamis pada permulaannya, selama bertahun-tahun Israel menoleransi dan, dalam beberapa kasus, mendorong mereka sebagai pengimbang kelompok nasionalis sekuler (Fatah),” singkap Avner Cohen, sejarawan dan eks-pejabat urusan agama Israel, kepada The Wall Street Journal, 24 Januari 2009.
Pemerintah Israel sempat membantah bahwa mereka mendanai dan melahirkan Hamas. Namun fakta historis berkata lain. Sejumlah sejarawan, jurnalis, dan eks-pejabat pemerintahan Israel memperkuat klaim Cohen.
“Ketika saya melihat ke belakang pada rantai kejadiannya, saya pikir kita (Israel) memang melakukan kesalahan. Tetapi di saat itu belum satu pun orang yang menyadari hasilnya seperti ini,” ujar David Hacham, staf ahli urusan politik Arab di IDF.
Baca juga: Darah dan Air Mata Palestina
Tambahkan komentar
Belum ada komentar