Cerita Malari Versi Judilherry
Bagaimana seorang eks pimpinan demonstrasi mengenang peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974.
Raut riang Judilherry seketika berubah tegang. Percakapan kami tetiba membangunkan kembali ingatannya tentang malapetaka 15 Januari 46 tahun lalu itu. Masih segar dalam ingatannya, malam itu ia bersama kawan-kawan sesama mahasiswa bergerak menentang kebijakan ekonomi pemerintahan Orde Baru. Kejadian itu memang sudah sangat lama, tapi masih melekat begitu dalam di ingatan Judilherry.
“Saya bersama kawan-kawan mahasiswa bergerak demi menyampaikan hati nurani rakyat, menentang ketidakadilan. Tidak ada maksud lain di balik semua itu,” tegas Judilherry saat ditemui di Gedung Ganeca, Kalibata, Jakarta Selatan (14/1/2020).
Judilherry Justam (72 tahun) menjadi salah satu tokoh utama peristiwa 15 Januari 1974, yang dalam narasi sejarah bangsa ini dikenal sebagai Tragedi Malapetaka 15 Januari. Bersama dengan Hariman Siregar, Judilherry berada di pusat aksi mahasiswa kala itu. Hariman bertindak sebagai Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI), sementara Judilherry dipercaya mendampinginya sebagai Sekertaris Jenderal DMUI.
Baca juga: Malapetaka Politik Pertama
Upaya Mencegah
Sejak permulaan peridoe 1970-an segala bentuk proyek pemerintah mulai disoroti. Umar Syadat Hasibuan dan Yohanes S. Widada dalam Revolusi Politik Kaum Muda, menyebut jika selama periode tersebut kalangan cendekiawan dan mahasiswa menjadi corong penyalur rasa tidak puas masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Potensi lahirnya pertentangan-pertentangan besar pun tidak bisa dihindari.
“Mahasiswa mulai tidak puas terhadap kebijaksanaan pejabat pemerintah. Berbagai masalah yang disoroti mahasiswa waktu itu adalah Pertamina, Proyek TMII yang dianggap mirip proyek mercusuar, hingga peranan modal asing,” tulis Umar dan Yohanes.
Menurut Judilherry kecaman-kecaman terhadap kebijakan pemerintah sebetulnya tidak hanya datang dari kalangan mahasiswa saja. Di berbagai lapisan masyarakat sering diadakan diskusi-diskusi terkait isu pembangunan dan modal asing yang semakin marak di Indonesia ini. Mahasiswa hanya berusaha meramu isu-isu tersebut menjadi sebuah pemikiran yang konkret. Semua orang sama-sama cemas akan keberlangsungan negeri ini.
Kekhawatiran yang berkembang kala itu adalah potensi korupsi besar-besaran dalam tubuh pemerintah. Melambungnya harga minyak, ditambah masuknya sejumlah besar modal asing ke Indonesia ditakutkan menjadi pembuka jalan bagi tindak kejahatan. Maka harus ada yang bergerak untuk mecegahnya.
Pada 24 Oktober 1973, DMUI mengundang sejumlah tokoh dalam sebuah acara diskusi. Turut hadir mantan Walikota Jakarta, Sudiro; Menteri Luar Negeri Adam Malik; tokoh pers BM Diah; dan tokoh Angkatan 66 Cosmas Batubara. Dalam acara diskusi tersebut dibahas berbagai hal tentang kinerja pemerintah dalam upaya pembangunan di Indonesia. Di akhir diskusi disepakati sebuah petisi, dikenal sebagai Petisi 24 Oktober, yang menyatakan perlunya penyusunan strategi pembangunan baru yang lebih seimbang, baik di sektor ekonomi, sosial, maupun politik. Pada 28 Oktober, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, DMUI mengeluarkan petisi itu.
Baca juga: Riwayat Masuknya Modal Asing Ke Indonesia
Dalam situasi yang tidak menentu, DMUI melalui Hariman terus menggiatkan aksi protesnya. Pada 31 Desember 1973, ia berorasi di halaman depan Fakultan Kedokteran UI, di hadapan massa dari berbagai kalangan. Dalam biografi Judilherry, Anak Tentara Melawan Orba, Hariman mengajak semua komponen masyarakat untuk menolak modal asing yang masuk ke Indonesia, dan bersama-sama memperjuangkan keadilan bagi seluruh rakyat. Modal asing yang dibahas kali ini sudah lebih mengarah pada perusahaan-perusahaan Jepang yang masuk ke Indonesia.
“Karena kebetulan Jepang yang datang ke Indonesia, ya Jepang jadi sasaran. Kalau Amerika yang datang mungkin sasarannya Amerika. Aksi ini dilakukan untuk menolak adanya modal asing di Indonesia, tidak peduli siapapun mereka,” ucap Judilherry.
Jurnalis Jopie Lasut, dalam Malari: Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal Orba, menyebut jika dominasi perusahaan Jepang tahun 1970-an telah tumbuh semakin besar di Indonesia. Tidak hanya produk otomotif, restoran Jepang juga mulai tumbuh berkembang di pusat-pusat keramaian ibukota. Bahkan lambang Toyota sampai bertengger gagah di puncak menara Wisma Nusantara, gedung tertinggi di Indonesia kala itu.
Salah satu perusahaan yang disalahkan atas masuknya produk-produk Jepang ke Indonesia ketika itu adalah Astra. Perusahaan tersebut membawa sejumlah produk otomotif Jepang, seperti Toyoya, Mistubishi, dan Honda. “Waktu itu citra Astra kurang begitu bagus. Astra disebut royal bagi-bagi uang tanpa arah dan tujuan yang jelas. Kegiatan peragaan busana hingga event rally mobil mereka danai. Tapi mereka nampak kurang peduli dengan orang-orang miskin di sekitar pabrik mereka. Padalah suasana anti Jepang sudah berkecamuk di benak sebagian besar masyarakat,” kata Jopie.
Puncak Aksi
Memasuki Januari 1974, penolakan terhadap modal asing semakin memanas di kubu mahasiswa. Demi meredam suasana, Kepala Staf Kopkamtib Soedomo lalu memediasi pertemuan antara mahasiswa dengan Presiden. Pada 11 Januari 1974 Presiden Soeharto bersedia menemui perwakilan mahasiswa di Bina Graha. Dari DMUI hadir Hariman Siregar, Judilherry, dan Slamet Rahardjo (Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa UI).
Baca juga: Soemitro dan Ali, Kisah Duel Dua Jenderal
Dalam pertemuan itu, para perwakilan mahasiswa membacakan ikrar mahasiswa Indonesia dari Dewan-dewan Mahasiswa se-Indonesia. Menurut Judilherry ketika itu ia yang membacakan ikrar tersebut. Isinya kurang lebih: “Pertama kita menuntut bahwa pola pembangunan yang berorientasi kepada keadilan sosial dan kemakmuran bagi rakyat banyak. Kedua, terwujud iklim politik yang berasaskan demokrasi sehingga pemerintah benar-benar milik rakyat untuk kepentingan rakyat. Ketiga, pembangunan hukum yang terkait tertib hukum dan mekanisme peradilan yang tidak memihak, di mana setiap warga memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Keempat, pembatalan segala bentuk kemewahan dan mengadakan pemberantasan korupsi.”
Namun ternyata pertemuan dengan presiden itu tidak memberi dampak signifikan terhadap keputusan pemerintah. Ikrar mahasiswa tersebut tidak mampu mencegah gelombang asing masuk. Terlebih pada 14 Januari 1974 pemerintah akan menerima kunjungan dari Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia.
Mengetahui hal itu, malam 14 Januari mahasiswa berkumpul di lapangan terbang Halim Perdanakusuma. Mereka mengepung pangkalan udara itu sebagai bentuk penolakan Tanaka di Indonesia. Tetapi kumpulan mahasiswa di sana tidak mampu menahan rombongan PM Jepang itu. Ia berhasil meloloskan diri dan masuk ke Indonesia.
“Kita hanya ingin menghambat dia (PM Tanaka) keluar. Ini simbol bahwa kita tidak ingin PM Jepang datang ke Indonesia,” kata Judilherry
Pagi 15 Januari 1974, sekira pukul 08.00 WIB, gabungan mahasiswa dari seluruh universitas di Jakarta berkumpul di UI. Hasil rapat pada malam sebelumnya disepakati bahwa mereka akan melakukan aksi longmarch dari UI ke Universitas Trisakti. Pukul 08.30, di bawah pimpinan Judilherry, sebanyak 500 mahasiswa mulai bergerak menuju Trisakti. Di sepanjang jalan, massa aksi longmarch ini semakin banyak. Mahasiswa dari berbagai universitas mulai turut bergabung hingga membentuk barisan yang cukup panjang. Diperkirakan mencapai 5.000 orang jumlahnya.
“Mahasiswa dan lainnya mengambil alih jalan selama masa kunjungan PM Tanaka, dan aksi protes mereka adalah anti-asing, terutama Jepang; anti-birokrasi, terutama ditujukan kepada teknokrat berpendidikan Barat yang mendorong pemerintah untuk lebih percaya pada investasi asing; dan anti-militer, terutama terhadap jenderal-jenderal yang dicurigai banyak diuntungkan dari perjalanan bisnis dengan orang-orang Tionghoa dan asing,” tulis Michael H. Anderson, dalam Madison Avenue in Asia: Politics and Transnational Advertising.
Namun Judilherry menyebut jika massa dari kubu mahasiswa tidak benar-benar mengambil alih jalan yang mengakibatkan perusakan. Ia dan kawan-kawannya hanya melakukan aksi longmarch sambil menggaungkan berbagai protes terhadap pemerintah tanpa usil merusak apapun. Mereka lalu tiba di Trisakti sekira pukul 10. Setelah beristirahat dan sedikit orasi, Judilherry mengarahkan para mahasiswa untuk kembali ke Salemba.
Baca juga: Kisah Jenderal Pemarah
Massa mahasiswa ini kembali ke UI menumpang truk-truk kosong yang lewat. Mereka sengaja mengambil rute ketika pergi longmarch, melewati jalan-jalan yang telah dilalui. Sampai di Tanah Abang 2, massa diarahkan oleh tentara ke arah Harmoni. Dan betapa terkejutnya mereka ketika melihat banyak mobil yang sudah terbakar, bahkan sampai ada yang diceburkan ke kali. Namun kondisi sekitar saat itu sudah tenang, tidak terlihat ada kerusuhan.
Setelah sampai di UI, para mahasiswa mendengar kabar bahwa terjadi kerusuhan dan pembakaran di sekitar Senen. Sejumlah mobil dan bangunan dirusak oleh orang-orang tak dikenal. Judilherry memastikan bahwa perusakan itu bukan disebabkan oleh tangan-tangan mahasiswa yang ia pimpin. Menurutnya ada pihak-pihak tertentu yang berusaha mengkambinghitamkan mahasiswa.
Sore hari hingga malam, di sekitar kampus UI Salemba, Jalan M.H. Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, dan Jalan Diponegoro berkeliaran kelompok-kelompok yang melakukan perusakan. Mereka semakin ganas mengincar mobil-mobil Jepang yang masih baik bentuknya. Gedung perusahaan Jepang juga banyak yang hangus dibakar.
Belakangan diketahui, setelah Judilherry berada di tahanan, bahwa banyak organisasi dan kelompok yang terlibat dalam persitiwa ini. “Ada Kesatuan Aksi Pengebudi Becak, Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam, eks DI/TII, orang-orang PNI lama, di samping para intelektual seperti Mochtar Lubis, Adnan Buyung. Di sini kita mencoba mengorek informasi bahwa mereka inilah yang dikerahkan. Bahkan saya juga dapat informasi bahwa anak-anak STM ikut andil dalam kerjadian ini,” ucapnya.
Informasi tentang pengerahan massa pelajar itu juga dikemukakan oleh Kees van Dijk dalam “Ketertiban dan Kekacauan di dalam Kehidupan di Indonesia” termuat Orde Zonder Order: Kekerasan dan Demokrasi di Indonesia 1965-1998. Menurutnya demonstran di dekat Monumen Nasional Jakarta Pusat sebagian besar berasal dari pelajar sekolah menengah.
“Di antara 472 orang yang ditahan pada tanggal 15 dan 16 Januari, terdapat 250 buruh dan anak sekolah,” kata Kees.
Proses Mengadili
Sehari setelah malapetaka 15 Januari, keadaan berangsur membaik. Sudah tidak terlihat kumpulan massa di jalan-jalan utama. Di kampus UI, sejumlah mahasiswa masih berdiskusi di bawah pimpinan Hariman. Pada saat itu, Ali Sadikin datang. Ia bermaksud meminta DMUI mengeluarkan pernyataan terkait kerusuhan semalam di TVRI demi mengendalikan keadaan yang mungkin masih dapat memanas di tengah masyarakat.
Ali Sadikin membawa sebuah konsep yang harus dibacakan DMUI. Isinya antara lain: mengecam dan mengutuk tindakan perusakan dan pembakaran oleh massa serta tetap mendukung Soeharto sebagai presiden. Dan meminta agar masyarakat tenang dan tidak terporvokasi. Perwakilan DMUI menerima konsep tersebut. Namun sedikit diubah: mengecam dan mengutuk tindakan perusakan dan pembakaran dari pihak manapun juga. Mereka juga menolak memberikan dukungannya kepada Soeharto sehingga kalimat dukungan terhadap presiden juga ikut dihapus.
Malam harinya, Hariman ditemani Judilherry menyampaikan pernyataan itu di TVRI. Dari TVRI, beberapa mahasiswa dibawa ke Markas Kopkamtib. Di sana mereka bertemu dengan Wapangkopkamtib, Soedomo, dan sejumlah jenderal lainnya. Melihat Hariman dkk Soedomo naik pitam. Baginya, mahasiswa harus bertanggung jawab atas peristiwa 15 Januari itu. Akhirnya saat itu juga Hariman dan Gurmilang ditahan. Sementara Judilherry dan mahasiswa lainnya disuruh kembali ke kampus.
Baca juga: Ali Sadikin dan Jalanan Jakarta
Pada 17 Januari tersiar kabar bahwa beberapa orang pejabat DMUI, MPM UI, dan Senat Mahasiwa UI juga ikut ditahan, termasuk Theo Sambuaga, Salim Hutadjulu, dan Eko Sudjatmiko. Judilherry sendiri sebagai Sekjen DMUI tidak ditahan. “Saya tidak tahu kenapa tidak ditahan. Saya lalu mengambil alih DMUI sebagai caretaker ketua umum, menggantikan sementara Hariman Siregar.”
Penangkapan Judilherry baru terjadi pada malam 13 April 1974. Ia “diambil” dari rumahnya di Jalan Siliwangi Raya oleh sejumlah orang menggunakan mobil Jeep. Ia selanjutnya dimasukkan ke dalam tahanan Kopkamtib. Tempat di mana kawannya, Hariman juga ditahan. Judilherry sendiri masih tidak tahu alasannya ditangkap. Jika memang terkait peristiwa Malari mengapa ia tidak ditahan bersama Hariman dan kawannya yang lain. Namun ia menduga penahanan itu terjadi ketika ia menolak berbagai intervensi dari Opsus Ali Murtopo yang ingin masuk ke tubuh DMUI dan pemakzulan Hariman.
“Secara pribadi terus terang saya merasa berat berada di tahanan, terutama ketika tiga bulan pertama. Karena saya hanya diberi ruangan yang sangat sempit, serta aktifitas saya pun dibatasi dan diawasi. Bahkan buang air pun harus di dalam sel, dengan hanya diberi sebuah kaleng yang setiap pagi akan saya cuci,” kenang Judilherry.
Pada perkembangan selanjutnya, akibat dari peristiwa Malari aktivitas mahasiswa mulai diawasi oleh pemerintah. Mahasiswa dilarang berkumpul dan bergerombol di dalam kampus tanpa maksud yang jelas. Hingga akhirnya pada 1978, Mendikbud Daoed Joesoef mengeluarkan Surat Keputusan No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. Bahkan tahun selanjutnya ditandatangani SK tentang pembubaran organisasi kampus.
Baca juga: Warisan Daoed Joesoef
Tambahkan komentar
Belum ada komentar