Belajar Toleransi dari Bung Hatta
Perbedaan politik atau apapun tak melunturkan persahabatan dwitunggal. Lain urusan politik lain pula urusan pribadi.
PERSATUAN dalam perbedaan di Indonesia belakangan mulai mengkhawatirkan, terutama usai pemilihan presiden dan disusul pandemi. Isu primordialisme dan agama kian menggerus kebersamaan sebagai satu bangsa.
Untuk meresponnya dan mengatasinya, ada baiknya kita generasi muda menengok pengalaman proklamator Bung Hatta dalam menyikapi perbedaan pandangan politik. Pemikiran tokoh yang bulan ini sedang diperingati hari kelahirannya itu masih sangat relevan dengan kondisi sekarang.
Untuk itulah dalam rangka Pekan Bung Hatta, Badan Kebudayaan Pusat Nasional Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (BKPN PDIP) membuat Webinar “Bung Hatta Inspirasi Kemandirian Bangsa” pada Kamis (12/8/2021) di kanal Youtube BKPN PDIP.
Bung Hatta yang lahir di Bukittinggi pada 12 Agustus 1902 sejatinya sudah belajar menghormati perbedaan dari lingkungannya sendiri. Di masa peralihan akhir abad ke-19 ke awal abad ke-20 saat Bung Hatta dilahirkan, di Minangkabau telah terdapat banyak ulama dan intelektual yang berwawasan terbuka dan luas.
Baca juga: Bung Hatta dan Refleksi Sebelas Bulan Usia Indonesia
Menurut jurnalis senior cum budayawan Hasril Chaniago dalam webinar tersebut, para tokoh Minangkabau di masa itu terbiasa hidup di dalam dialektika. Mereka terbiasa hidup dalam konflik dan harmoni. Konflik-konflik itu kemudian membuahkan kemajuan dalam berpikir.
“Dalam aliran politik, orang Minang itu ada yang paling (berhaluan) kanan sampai paling kiri. Pernah ada perang pemikiran besar di Minang dan orang Minang kalau ada yang disampaikan dengan buku, dia lawan dengan buku, bukan demonstrasi. Jadi Bung Hatta tumbuh di alam seperti itu. Inilah cara bertoleransi orang Minang yang semestinya juga bisa diteladani. Beda pendapat, beda politik boleh saja tapi jangan terpecah dan itu sudah diperlihatkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta,” kata Hasril.
Baca juga: Secuil Kisah Persahabatan Sukarno-Hatta
Masyarakat umum mengenal “dwitunggal” Bung Karno dan Bung Hatta karena momen proklamasi 17 Agustus 1945. Kendati keduanya berbeda dalam pemikiran politik, menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam, saling melengkapi.
“Pertalian keduanya adalah karena momen proklamasi dan Pancasila. Tidak ada kemerdekaan tanpa Sukarno dan Hatta. Bung Karno tidak mau mengucap proklamasi jika Bung Hatta saat itu belum hadir,” ungkap Asvi.
Sikap Bung Karno itu tak lepas dari kenyataan historis kerjasamanya dengan Bung Hatta sebelum Indonesia menyambut kemerdekaannya. Kendati perjuangan politik Bung Hatta dan Bung Karno berada di dua “alam” berbeda, batin keduanya seiya-sekata dalam memperjuangkan kemerdekaan hingga masing-masing mesti merasakan bui penguasa kolonial.
Berbeda dari Bung Karno, Bung Hatta memulai perjuangannya dari benua seberang. Mengutip Mohammad Hatta: Memoir, Bung Hatta yang sejak 1926 menjadi ketua Perhimpoenan Indonesia (PI) turut menghadiri konferensi Liga Anti-Imperialisme dan Penindasan Kolonial di Brussels, Belgia (10-15 Februari 1927). Bung Hatta bahkan turut dijadikan salah satu anggota komite eksekutifnya lantaran sebelumnya sering aktif di kegiatan serupa seperti Konferensi Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian di Gland, Swiss dan Kongres Demokrasi di Prancis setahun sebelumnya.
“Aku harus menerima undangan itu. Suatu tugas berat pula dilimpahkan pada diriku. Aku gembira karena berkat propaganda Perhimpoenan Indonesia, nama ‘Indonesia’ untuk tanah air kita sudah menjadi biasa di kalangan organisasi internasional,” tulis Bung Hatta.
Baca juga: Hatta yang Sentimentil
Aktivitas Bung Hatta dan kawan-kawannya yang begitu menyentil pemerintah Belanda, negeri tempatnya bersekolah, mengakibatkannya ditangkap dan ditahan hampir enam bulan. Bung Hatta ditahan bersama Ali Sastroamidjojo dan Nazir Pamoentjak.
“Nah di pengadilan Hatta melakukan pembelaan, pledoi-nya berjudul ‘Indonesië Vrij’ (Indonesia Merdeka). Kata-kata terakhir dari pembelaan itu mengatakan: ‘lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada jadi embel-embel bangsa lain.’ Nah, Bung Karno dua tahun kemudian juga ditahan di Bandung dan dibawa ke pengadilan. Dalam pidato pembelaannya, Bung Karno mengatakan: ‘imperialisme berbuahkan negeri-negeri mandat yang sifatnya menaklukkan negeri orang lain. Syarat paling penting untuk pembaikan kembali rakyat Indonesia adalah kemerdekaan,’” ujar Sri Edi Swasono, ekonom senior Universitas Indonesia sekaligus menantu Bung Hatta, menimpali.
Setelah kembali ke Indonesia, Bung Hatta dan Bung Karno mulai sering bersua walau lagi-lagi harus terpisah gegara politik. Pemerintah Hindia Belanda membuang Bung Karno ke Ende dan kemudian Bengkulu, sementara Bung Hatta diasingkan ke Boven Digul, Banda Neira, dan terakhir Sukabumi sebelum Jepang masuk.
Saling Menjaga dalam Perbedaan
Usai proklamasi, tiada sosok lain yang diinginkan Bung Karno untuk jadi wakilnya di pemerintahan selain Bung Hatta. Terlebih, Bung Hatta sepemikiran dalam dasar negara Pancasila yang digali Bung Karno.
“Bung Karno penggali dan pencetus pertama Pancasila, Bung Hatta adalah pengawal dan penyelamat Pancasila. Bung Hatta yang tanggal 18 Agustus bicara pada tokoh Islam tentang penghapusan tujuh kata dan pencantuman Ketuhanan Yang Maha Esa,” sambung Asvi.
Tujuh kata yang dimaksud adalah yang termaktub dalam Piagam Jakarta, yang berbunyi “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Bung Hatta teguh berpendirian agar tujuh kata tersebut tidak dicantumkan dalam sila pertama Pancasila. Bung Hatta, lanjut Asvi, dekat dengan para tokoh Islam karena pada April 1945 pernah memimpin Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta dan setahun kemudian mendirikan STI di Yogyakarta yang lantas kini sudah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).
Baca juga: Jejak Hatta dan Sjahrir di Sukabumi
Semasa kedua bung memimpin negeri, putri Bung Karno Megawati Soekarnoputri ingat betul bahwa kedua tokoh punya kepribadian yang begitu berbeda. Baik ketika sedang tenggelam dalam urusan pemerintahan di Istana Negara maupun ketika saling bersilaturahim keluarga di kediaman masing-masing.
“Tidak seperti ayah saya yang dinamis, bisa spontan humoris, kalau dengan Pak Hatta kita harus jaga sikap. Harus berbahasa Indonesia yang runtun, beliau orang yang sangat disiplin. Kalau ada tamunya yang telat, bisa diusir. Makanya kalau beliau datang ke rumah, saya suka tekanan batin. Kalau diskusi keluar kata keras dalam bahasa Belanda tapi persahabatan mereka tidak luntur,” kata Mega mengenang.
Baca juga: Wasiat Bung Hatta
Kendati berkepribadian berbeda, Bung Hatta dan Bung Karno bisa bersatu dalam merumuskan arah demokrasi republik, yakni berdasarkan kedaulatan rakyat. Demokrasi yang diambil keduanya, menurut putri sulung Bung Hatta Meutia Farida Hatta, adalah demokrasi yang memodifikasi Volkssouvereniteit atau teori kedaulatannya filsuf Prancis Jean-Jacques Rousseau.
“Bung Hatta menyebutnya masih ketergantungan pada bangsa lain. Ia ingin sepenuhnya (Indonesia) jadi bangsa yang berdaulat dan tidak bergantung negara lain. Sejak 1931 Bung Hatta mengganti istilah volkssouvereniteit jadi kedaulatan dengan kuncinya kemandirian. Kemandirian dengan adanya harga diri dan kesadaran rakyat untuk lepas dari ketergantungan dan keterjajahan dari bangsa lain,” kata mantan menteri Pemberdayaan Perempuan (2004-2009) itu.
Dalam hal kemandirian dan demokrasi kedaulatan rakyat, menurut Hasril, Bung Karno pun punya pemikiran serupa meski tidak sama. Bung Karno punya Trisakti: berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam berkebudayaan. Sementara, pemikiran Bung Hatta bertumpu pada: kedaulatan rakyat, keadilan dan kemakmuran, serta kebersamaan dan kekeluargaan.
“Jadi sebenarnya konsep demokrasi Hatta adalah konsep Rousseau yang diperbarui. Demokrasi yang digabungkan dengan rasa kebersamaan. Tetapi asas kemandirian keduanya ini (Hatta dan Sukarno) sejalan sekali. Inilah yang membuat mereka menjadi simbol Indonesia sebagai dwitunggal,” sambung Hasril.
Baca juga: Demi Pengakuan Kedaulatan
Akan tetapi, Bung Hatta hanya bertahan 11 tahun mendampingi Bung Karno sebagai wapres. Ia resmi mundur pada 1 Desember 1956 lantaran banyak berbeda pemikiran. Satu contohnya adalah kritik Wapres Hatta tentang keengganan Presiden Sukarno menandatangani Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembatalan Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Selain lewat surat, wapres memprotes lewat PM Ali Sastroamidjojo.
“Hatta mengkritik kenapa Bung Karno tidak mau menandatangani RUU Pembatalan KMB? RUU-nya sudah dipersiapkan sejak kabinet (PM) Burhanuddin Harahap (1955-1956) dan sudah disetujui parlemen dan Mahkamah Agung sejak 28 Februari 1956. Bung Karno baru mau tandatangan setelah ganti kabinetnya Pak Ali Sastro. Bung Hatta yang minta Pak Ali membujuk Bung Karno sampai akhirnya mau dibatalkan,” ungkap Edi.
Menariknya, Presiden Sukarno memilih tak mencari pengganti Bung Hatta. Bung Karno menjalankan roda pemerintahan Demokrasi Terpimpin sendiri tanpa wakil presiden.
“Kedua pemimpin ini setelah akhir-akhir (1956) seperti banyak perbedaan sampai Pak Hatta mengundurkan diri dari (jabatan) wakil presiden. Tapi coba kita pikir, kenapa bapak saya nggak punya wakil presiden lagi? Ini punya makna sebenarnya, enggak mau seorang Hatta tergantikan. Itu sebuah persahabatan. Beda boleh tapi tetap bersahabat,” sambung Presiden RI kelima dan Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri.
Baca juga: Sukarno-Hatta Saling Menjaga
Setelah di luar pemerintahan, Bung Hatta tetap peduli terhadap kondisi negerinya. Itu dibuktikannya dengan berulangkali melayangkan kritik, baik terhadap kebijakan politik maupun ekonomi Bung Karno, lewat surat yang dikirimkan ke presiden.
“Pada 1960 Bung Hatta mengkritik bahwa sejak 10 tahun terakhir demokrasi disebutkan telah rusak. Hatta mengatakan bahwa di mana-mana orang tidak puas dengan demokrasi yang dicita-citakan dulu. Saking jengkelnya Bung Hatta menyitir puisi (filsuf Jerman) Friedrich von Schiller tentang diktatorial. Inti puisinya mengatakan bahwa sebuah masa yang besar telah melahirkan abad besar tapi di masa besar itu hanya menemukan manusia kecil,” lanjut eks-anggota MPR itu.
Terlepas dari kritik dan perbedaan pemikiran, persahabatan keduanya tetap lestari karena bukan lahir dari kepentingan politik. Ikatan batin keduanya sudah begitu lama terjalin sangat mendalam. Meutia menyimpulkan persahabatan abadi itu juga terjadi karena faktor takdir.
“Bung Karno dan Bung Hatta itu bukan saja dalam perjuangannya punya gaya berbeda tapi pikirannya satu: buat Indonesia. Mereka berdua itu selalu satu hati dan Bung Hatta selalu mengingatkan mengenai perlunya kita belajar menjaga kesatuan bangsa walau kita berbeda-beda,” lanjut Meutia.
Baca juga: Bung Hatta dan Koperasi
Ikatan batin keduanya diperkuat lewat saling berbalas budi secara personal sehingga keduanya sudah seperti keluarga. Sebagaimana diketahui bersama, Bung Karno yang memperkenalkan Hatta dengan perempuan yang kemudian menjadi istrinya, Siti Rahmiati. Bung Karno pula yang, karena kesibukan Bung Hatta memimpin sidang kabinet, kemudian menanam ari-ari Meutia usai dilahirkan pada 21 Maret 1947 di belakang rumahnya di Yogyakarta.
“Karena kakek saya orang Jawa jadi ada tradisi menanam ari-ari. Tapi Bung Hatta dari Minang tidak punya tradisi begitu dan beliau juga sibuk sidang kabinet. Kami panik dan bingung, tapi keluarlah Bung Karno. Beliau yang menanam ari-ari saya di belakang rumah lalu menyusul Bung Hatta ke sidang kabinet. Jadi, beliau sudah seperti pakde saya. Begitulah kedekatan hati di antara keluarga kami yang tak terlupakan,” kenang Meutia lagi.
Dari kedekatan itu pula Bung Hatta mau jadi wali nikah Guntur Soekarnoputra saat menikahi Henny Emilia Hendayani pada Februari 1970 atau empat bulan sebelum Bung Karno wafat. Kala itu, Bung Karno yang sudah jadi tahanan rumah di Wisma Yaso tidak diizinkan hadir oleh penguasa Orde Baru.
“Ibu saya (Fatmawati) minta pada Pak Hatta dan Tante Rahmi untuk mewakili. Pak Hatta tidak pikir dua kali, dia bilang: ‘Oke, kalian kan anak saya juga,’ Itu suatu keindahan tersendiri. Karena saat itu ayah saya ditahan, bahkan kami tak pegang selembar kertas pun yang resmi menyatakan ayah saya statusnya tahanan, enggak ada,” kata Megawati mengenang kepedihan yang menimpa keluarganya.
Baca juga: Hatta dan Pernikahan Adat Minang
Pada detik-detik terakhir hayat Bung Karno, Bung Hatta tak tinggal diam mendapati sahabat karibnya dengan kondisi memburuk.
“Bung Hatta yang inisiatif menyurati Pak Harto dan 11 jam kemudian langsung direspon Pak Harto. Ia mengirim surat minta agar Bung Karno yang kesehatannya tambah parah mohon lekas dikirim ke rumahsakit. Dalam waktu tiga jam Bung Karno dibawa ke RSPAD dikawal Sekmil Pak Tjokropranolo. Bung Hatta turut mengawal disertai sekretarisnya, Pak Wangsa,” ujar Edi.
Di detik-detik terakhir hayat Bung Karno, Bung Hatta datang menjenguk. Didapatinya sahabatnya sudah dalam kondisi memprihatinkan. Tak banyak kata keluar dari mulut kedua proklamator saat itu. Keduanya saling memegang tangan disertai lelehan air mata. Itu jadi pertemuan terakhir kedua “bung” lantaran tak lama kemudian Bung Karno wafat.
Ketika kemudian ajal menjemput Bung Hatta pada 14 Maret 1980, Ibu Fatmawatilah yang menabahkan keluarga Bung Hatta.
“Ibu Fat ikut kami satu mobil mengantar ayah. Kami sama-sama melihat, mungkin satu juta orang, yang ikut berbaris dari (jalan) Diponegoro ke Tanah Kusir. Ternyata 14 Mei, Bu Fat wafat juga. Lalu selamatan 40 hari meninggalnya Bu Fat, itu juga 100 harinya Bung Hatta di tanggal 21 Juni. Anehnya itu juga jadi 10 tahun wafatnya Bung Karno. Itu saya merasa, seperti Tuhan yang mengatur, sampai momen duka mereka berurutan: 40 harinya Bu Fat, 100 harinya Bung Hatta, dan 10 tahunnya Bung Karno,” tandas Meutia.
Baca juga: Pertemuan Terakhir Sukarno-Hatta
Tambahkan komentar
Belum ada komentar