Hatta yang Sentimentil
Dikenal jarang tertawa, Hatta justru mudah tersentuh dengan hal-hal yang terkait dengan perjuangan bangsanya.
APAKAH yang selalu dikenang oleh Mohammad Hatta dari masa kecilnya? Tentunya banyak. Namun menurut Meutia Hatta, ada satu peristiwa yang pernah dilihat Hatta saat bocah dan berpengaruh terhadap sikapnya ketika dewasa kelak, terutama soal sikap anti kolonialisme-nya.
“Yakni saat dia melihat sahabat kakeknya bernama Rais ditangkap karena mengkritik kebijakan seorang pejabat Hindia Belanda,” ungkap Meutia kepada Historia.
Dalam Memoirs, Hatta melukiskan peristiwa itu dalam nada yang sentimentil. Dia yang saat itu masih kanak-kanak (6 tahun), sangat meyakini kata-kata Idris, sang paman, yang meyebut Rais tak lebih sebagai korban kelicikan Belanda. Jauh sebelumnya, lewat surat pembaca di koran Utusan Malayu, Idris mengkritik ulah licik Tuan Westenenk (Asisten Residen untuk wilayah Agam) kepada rakyat Agam.
Baca juga: Bung Hatta dan Jenderal Ngaret
Masih tersamar, bagaimana prilaku licik Tuan Westenenk tersebut. Yang jelas dengan memitnah Rais terlibat dalam pemberontakan Kamang (penentangan rakyat Agam terhadap pajak tinggi yang dikenakan pemerintah Hindia Belanda), lelaki Minang itu akhirnya ditangkap.
Hatta sangat terkesan dengan sikap Rais yang terlihat sangat yakin bahwa dirinya tak bersalah. Dia menulis sosok itu sebagai lelaki yang melambaikan tangannya yang terbelenggu, kala kereta api yang membawanya ke Padang, melewati rumah keluarga besar Hatta di wilayah Aur Tajungkang, Bukittinggi.
Sikap sentimentil juga pernah diperlihatkan oleh Hatta saat dirinya menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Alkisah pada suatu hari di tahun 1947, serombongan anggota Komisi Jasa-jasa Baik PBB dari Australia, Belgia dan Amerika Serikat datang ke Bukittinggi. Menurut Rosihan Anwar dalam Sang Pelopor: Tokoh-Tokoh Sepanjang Perjalanan Bangsa, rombongan tersebut lantas disambut oleh Hatta, diiringi rakyat banyak yang membawa bambu runcing.
Dalam sambutannya, Buya Hamka meneriakan pidato yang sarat emosi dan memunculkan rasa haru.
“Pernahkah tuan-tuan melihat negeri seindah ini? Gunung-gunungnya, sawah-sawahnya, hutannya yang hijau, dan kampung-kampunngnya? Selama 350 tahun, negeri yang kami cintai ini telah dirampas dari tangan kami, walaupun kami memilikinya! Kami hidup di dalamnya, tapi kami tak memilikinya. Kami dianggap budak-budak di negeri kami sendiri! Tuan-tuan, lihatlah bambu runcing-bambu runcing kami! Sekalipun hanya ini satu-satunya senjata yang kami punya untuk membela diri kami, kami tidak akan pernah membiarkan tanah air kami dijarah kembali!”
Semua terdiam mendengar pidato itu. Saat Hamka menoleh ke arah Hatta yang tengah berada di sampingnya, terkejutlah sang buya ketika menyaksikan wakil presiden RI pertama itu tengah berurai air mata.
Baca juga: Cinta Hatta Bersyarat Merdeka
27 tahun kemudian. Tepatnya 5 Oktober 1974, Yuke (panggilan akrab Rachmi Hatta) melihat suaminya sudah bersiap-siap sejak pagi. Kepada sang istri, Hatta menyatakan akan hadir dalam upacara peringatan hari ulang tahun angkatan bersenjata Republik Indonesia ke-29 di Lapangan Parkir Senayan, Jakarta. Tahu kondisi Hatta sedang sakit-sakitan, Yuke berusaha untuk mencegah kepergian Hatta.
“Ah, buat apa ayah datang ke sana? Ayah sekarang harus menjaga kesehatan. Ayah toh tidak akan dipedulikan orang. Sekarang kan, banyak orang telah lupa kepada Bung Hatta,” ujar Rachmi.
Hatta sejenak terdiam. Namun dengan tenang dia kemudian berkata: “Yuke tidak perlu bilang begitu. Saya kan dulu ikut juga membangun tentara nasional kita. Karena itu saya mau pergi. Biar saja orang lupa kepada saya, Bagi Kak Hatta, itu tidak penting. Cukup hati saya saja yang tahu bahwa dulu saya juga pernah ikut mendirikan angkatan perang Republik Indonesia.”
Demi mendengar kata-kata sang suami-nya itu, diam-diam Rachmi Hatta merasa terharu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar