Bung Hatta dan Refleksi Sebelas Bulan Usia Indonesia
Di tahun pertama usia Republik Indonesia, peringatan kemerdekaan dirayakan setiap bulan. Bung Hatta memberikan pidato refleksi pada peringatan kesebelas bulan.
Sementara kini pemerintah dan rakyat Indonesia merayakan hari ulang tahun (HUT) kemerdekaan RI sekali dalam setahun setiap tanggal 17 Agustus, maka tidak demikian di tahun pertama eksistensi Indonesia. Peringatan HUT kemerdekaan RI dilakukan beberapa kali di masa antara 17 Agustus 1945–17 Agustus 1946 itu, baik di level nasional maupun lokal.
Salah satu yang menarik adalah peringatan HUT ke-11 bulan RI pada 17 Juli 1946. Sebelas bulan bukan waktu yang singkat untuk sebuah negara baru yang kelahirannya ditentang bahkan hendak dihentikan oleh bekas penjajahnya dengan berbagai macam cara. Ini adalah momentum krusial sebelum memasuki periode yang penting secara psikologis sebulan berikutnya, yakni peringatan HUT ke-1 RI.
Tanggal 17 Juli 1946 itu saat yang penting untuk merenungkan pencapaian yang telah diraih berikut kegagalannya dalam sebelas bulan terakhir, serta memperkuat sentimen kebangsaan dan memompa semangat juang rakyat agar Indonesia sampai pada satu tahun eksistensinya. Yang juga vital adalah menegaskan pada dunia bahwa RI masih ada, kendati Belanda dan Inggris mengklaim punya otoritas di Indonesia.
Tepat sekali bila refleksi sebelas bulan eksistensi RI dilakukan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Lahir dari keluarga muslim taat di Minangkabau, menempuh pendidikan di Batavia dan Negeri Belanda, hingga akhirnya ambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan selama dua dekade dengan segala untung perasaiannya, Hatta memiliki visi kebangsaan yang dilandasi kepedulian sosial, ilmu pengetahuan dan semangat kosmopolitanisme. Satu hal lagi yang kentara dari Hatta, ia sangat optimis dengan masa depan Indonesia kendati negara baru itu masih tertatih-tatih bahkan untuk mendapatkan pengakuan dari dunia.
Baca juga: Begini Naskah Proklamasi Dirumuskan
Pada 17 Juli 1946, saat kemerdekaan Indonesia berusia sebelas bulan, suara Hatta bergema di udara. Malam harinya ia menyampaikan pidato di corong Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta. Ini adalah maklumat penting yang merangkum pemikiran, sentimen, dan harapan Republik dalam sebelas bulan terakhir perjuangannya yang jauh dari kata mudah apalagi selesai itu.
Laporan Antara, 18 Juli 1946 menyebut pidato Hatta itu “ditujukan kepada seluruh dunia”. Mengingat posisinya sebagai wakil presiden, dan pejuang yang punya jejaring aktivis antikolonalisme di Eropa era 1920-an, Hatta adalah satu dari sedikit pemimpin Indonesia yang namanya cukup dikenal di Eropa dan Asia (salah satunya karena Hatta dan pelopor nasionalisme India, Jawaharlal Nehru, pernah bergabung dalam Liga Antikolonial untuk Kemerdekaaan Bangsa-bangsa di Brussels, Belgia, tahun 1927). Maka, pidato Hatta ini memang didesain untuk khalayak internasional, walaupun dalam beberapa bagian tampak penekanan diberikan pada penguatan semangat nasionalisme, yang jelas ditujukan pada pendengar Indonesia.
Pembukaan pidato Hatta adalah suatu renungan mengapa perayaan itu diadakan. Pada awal pidatonya, Hatta memberikan jawaban atas pertanyaan yang mungkin muncul dalam benak banyak orang: mengapa pula Indonesia harus memperingati HUT kemerdekaannya dalam hitungan bulan? Mengapa tidak menunggu saja ketika pas setahun? Hal itu, kata Hatta, “oleh karena sejarah kemerdekaan kita baru berbilang bulan”.
Tapi Hatta berani memprediksi bahwa di masa yang akan datang bangsa Indonesia akan merayakan HUT kemerdekaannya sekali dalam setahun, yakni setiap tanggal 17 Agustus. Syaratnya, ungkap Hatta, adalah keyakinan dan kepercayaan diri bahwa Indonesia pada akhirnya akan dapat merayakan kemerdekaannya setiap tahun.
Atau dengan kata lain, keyakinan bahwa Indonesia masih akan tetap mampu bertahan untuk eksis di bulan dan tahun mendatang, suatu keyakinan yang penting untuk hadir mengingat konflik bersenjata yang masih terus pecah dengan Belanda dan Inggris serta berbagai pertikaian internal di kalangan pejuang Indonesia sendiri. Problem-problem ini, bila tidak diatasi oleh pemerintah RI, jelas merupakan resep menuju bencana, yang bisa berujung pada robohnya Republik. Dan, mengingat bahwa harapan Hatta ini diucapkan ketika RI masih berusia 11 bulan, ia sendiri pada saat itu jelas belum tahu apakah Indonesia masih akan bisa bertahan hingga bulan ke-12.
Dalam pandangan Hatta, sebelas bulan terakhir itu sangat vital lantaran durasi itu merupakan permulaan dari suatu sejarah baru, yakni sejarah Indonesia Merdeka. Hatta menginginkan agar para pendengarnya menyadari bahwa ada alasan mengapa ada kata “permulaaan” di sana. Sebagai suatu awal, sejarah Indonesia Merdeka itu tentu tidak bisa diharapkan sebagai sesuatu yang sudah besar apalagi selesai. Ini adalah masa yang di dalam istilah Hatta disebut sebagai masa “benih dari pada zaman datang” atau suatu periode “peralihan”. Dengan kata lain, zaman kolonialisme asing telah usai, dan era kemerdekaan sudah berjalan walau perlahan. Kesadaran ini sangat penting untuk ditanamkan pemerintah kepada rakyatnya, karena masih ada yang menyambut dan menerima kedatangan dan proyek pembangunan ulang kekuaasaan Belanda di Indonesia kala itu.
Hatta menaruh perhatian besar pada masa peralihan ini. Penguasaannya akan filsafat Barat membantunya membangun kerangka konseptual untuk ini. Ia mengutarakan kepada pendengarnya istilah yang diperkenalkan filsuf Yunani, Herakleitos, lebih dari dua milenium sebelumnya: “panta rei”. Arti frasa ini menurut Hatta ialah, “semuanya mengalir, berlalu, dengan tiada kembali pada awalnya”.
Apa maknanya bagi masa peralihan yang dikemukakan Hatta tadi? Kolonialisme, dengan demikian, adalah suatu praktik dari masa lalu yang sudah usai. Perjuangan orang Indonesia telah memusnahkannya. Setelah kehancuran kolonialisme itu, bukan berarti perjuangan terhenti. Perjuangan masih mengalir, selanjutnya adalah menuju kemajuan. Dan masa peralihan itu akan menjadi batu uji sejauh mana kemajuan itu akan tercapai. Di masa ini, terang Hatta, bangsa Indonesia haruslah mengisinya dengan “menanam bibit jang bagus bagi pohon sejarah bangsa kita”.
Di luar segala tekanan besar dengan kehadiran Belanda di Indonesia, ada suatu hal penting yang Hatta (dan tentu saja pemerintah RI secara keseluruhan) amat syukuri, suatu kesadaran atau perasaan yang tak ternilai bagi pejuang kemerdekaan seperti dirinya. Itu, kata Hatta, adalah suatu perasaan yang hidup di tengah rakyat Indonesia, bahwa sejak tanggal 17 Agustus 1945, “rakyat Indonesia merasakan dirinya rakyat yang merdeka, yang mempunyai negara sendiri, mempunyai Republik sendiri. Ia merasakan diperintah oleh pemerintah dari bangsa sendiri, yang bertanggung jawab kepada rakyatnya”.
Baca juga: D.N. Aidit di Sekitar Proklamasi Kemerdekaan
Bagi suatu bangsa baru yang komponen-komponennya selama beberapa abad dikuasai dan diperintah oleh orang asing yang mendiskriminasi penduduk pribumi di level terbawah stratifikasi sosial, di sini Hatta sedang menekankan tentang betapa pentingnya dan betapa bahagianya dapat menjadi bagian dari rakyat dan pemerintah yang bebas dari penindasan.
Di bagian selanjutnya, Hatta mencoba untuk mendegradasi posisi NICA di mata orang Indonesia maupun di muka dunia internasional. Pemerintah Republik menyadari bahwa NICA berhasil menguasai sejumlah wilayah dan bahkan mampu memperoleh dukungan dari para penguasa lokal. Ini tampak dari acara yang baru saja dibuka dan tengah berlangsung ketika Hatta berpidato tanggal 18 Juli malam itu, yakni Konferensi Malino (16–22 Juli 1946). Walau saat Hatta berpidato itu Konferensi Malino belum usai, tapi Republik tahu benar bahwa dalam konferensi itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.J. van Mook berhasil mengumpulkan utusan pribumi dari berbagai wilayah di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
Tapi, Republik tahu pula bahwa sokongan untuk Belanda di daerah-daerah itu tidak bulat dan bahwa sebagian rakyat di sana sebenarnya lebih cenderung pada Republik. Sebabnya dikemukakan Hatta di dalam pidatonya. Menurut Hatta, Republik menawarkan kemerdekaan sementara Belanda hanya menawarkan commonwealth (negara persemakmuran, di mana Indonesia adalah salah satu bagiannya dan Ratu Belanda sebagai pemimpin tertingginya). Ditambah pula larangan oleh Belanda kepada utusan lokal untuk membicarakan hak untuk menentukan nasib sendiri di hadapan Belanda. Belanda menguasai daerah-daerah itu, kata Hatta, “dengan ujung bayonet”, suatu istilah yang sekali lagi menekankan karakter kekerasan yang melekat pada praktik kekuasaan Belanda. Maka, dalam pandangan Hatta, apa yang terjadi di Malino tak lain adalah sandiwara buatan Belanda saja.
Di sini Hatta seperti mengampanyekan tentang kemunduran Belanda. Ia menilai bahwa keinginan Belanda untuk membangun suatu commonwealth sejauh itu tidak menunjukkan hasil. Oeh karena itulah, dalam pandangan Hatta, Belanda menginginkan agar Inggris tetap berada di Indonesia supaya dapat terus menyokong misi Belanda menguasai Indonesia.
Baca juga: Setelah Republik Indonesia Serikat Habis
Hatta memandang bahwa semestinya Belanda tahu diri dan sadar setidaknya akan dua hal. Pertama, bahwa rakyat Indonesia di daerah yang dikuasai Belanda tidak senang dengan dominasi Belanda dan lebih condong pada Republik. Kedua, bahwa Konferensi Malino tidak dianggap penting termasuk oleh pers asing yang merepresentasikan luar negeri. Hatta bertanya secara retoris, “Konferensi Malino sendiri pun tidak mendapat perhatian dari pada pers internasional yang ada di Jakarta. Apakah ini bukan suatu isyarat yang benar-benar besar artinya bagi kaum imperialis Belanda?”
Bagian penutup pidato Hatta berbicara tentang pertarungan untuk memperebutkan suatu komunitas dan aspirasinya yang jelas sulit untuk bisa dimenangkan oleh Belanda: rakyat Indonesia dan keinginannya untuk merdeka dari penjajahan. “Rakyat Indonesia,” tegas Hatta, “umumnya menolak penjajahan, karena sudah bosan dengan dijajah. Ia ingin merdeka, dan cita-cita kemerdekaan itu tidak dapat dibunuh dan ditindas dengan kekuasaan ujung bayonet.”
Antara, ketika melaporkan pidato Hatta di atas, memberi kesan bahwa pidato sang wakil presiden jauh dari kesan berapi-api, meskipun ia tahu bahwa pertempuran antara pejuang Indonesia masih terus berlangsung menghadapi pasukan Belanda ataupun serdadu Inggris. Hatta menggarisbawahi apa yang diinginkan Indonesia saat itu, yaitu tak lain dari perdamaian. Tapi, walau ingin damai, ada satu syarat yang ditekankan Hatta, yakni bahwa penjajahan atas Indonesia haruslah diakhiri dulu.
“Beliau menerangkan,” tulis Antara, “bahwa bangsa Indonesia ingin damai tapi bersedia juga untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diperolehnya, betapa juga hebatnya perjungan dan pertempuran yang kita hadapi.”
Baca juga: Perempuan dalam Proklamasi Kemerdekaan
Ide tentang Indonesia yang ingin damai ini kerap disuarakan pihak Republik bahkan sejak hari-hari pertama Indonesia merdeka. Republik ingin kekuasaannya dibangun dengan damai. Lagipula, dunia pasca Perang Dunia II memang sudah lelah dengan perang sehingga mengampanyekan perdamaian juga merupakan upaya Republik baik untuk mendapatkan simpati dunia maupun untuk berkontribusi pada perdamaian pascaperang. Tentu ada alasan praktis juga di sini, bahwa Republik menyadari akan kurangnya kekuatan personel, persenjataan, dan pengalaman pasukannya di medan pertempuran dibandingkan dengan pasukan Sekutu yang telah berhasil mengalahkan Jepang atau pasukan Belanda yang segar dan bersenjata lengkap.
Potongan pidato Hatta di atas, terutama yang menekankan pada aspirasi Indonesia pada perdamaian, adalah salah satu bagian terpenting bagi audien luar negeri. Koran pro-Republik yang terbit di ibukota RI Yogakarta (di mana sejumlah wartawan asing diposkan), Kedaulatan Rakjat, menempatkan salinan pidato Hatta di halaman pertamanya, yang dipecah ke dalam tiga bagian dalam tiga edisi berturut-turut (18, 19 & 20 Juli 1946). Tajuknya dibuat dalam huruf kapital, menyimbolkan arti pentingnya: “PELADJARAN SEDJARAH 11 BOELAN (PIDATO-RADIO WK. PRESIDEN MOH. HATTA)”.
Baca juga: Mencari Mikrofon Proklamasi
Majalah berbahasa Inggris pro-Republik yang sering dijadikan sebagai referensi oleh jurnalis asing, The Voice of Free Indonesia, menempatkan ide perdamaian itu sebagai narasi utamanya. Pada edisi No. 27 (27 Juli 1946), majalah ini menaruh bagian pertama pidato Hatta di halaman 3, yang menunjukkan urgensi pidato ini untuk dibaca khalayak internasional (Bagian kedua pidato Hatta dimuat di majalah yang sama di edisi selanjutnya, No. 28, 3 Agustus 1946, dengan tajuk yang sama, dan tetap berada di halaman 3). Judulnya dibuat dengan huruf ukuran besar, yang dengan segera membuat pembaca sadar prinsip yang dipegang Republik: “Indonesia Wants Peace: But is ready for a struggle” (Indonesia Ingin Damai: Tapi Siap untuk Berjuang).
Selain terjemahan pidato radio Hatta tanggal 17 Juli itu, dimuat pula foto Hatta di sana. Tampak dalam foto sebahu itu seorang Hatta yang necis, mengenakan kemeja dan jas terang dengan dasi berwarna gelap. Kacamatanya bulat dan rambutnya tersisir klimis. Foto semacam ini membuat pembaca menangkap kesan tentang seorang pemimpin RI yang cerdas, berpendidikan, berwibawa, dan modern, jadi jauh dari kesan sebagai bagian dari nasionalis yang tidak berkompeten apalagi ekstremis yang jahat, label-label yang kerap dilekatkan propaganda Belanda pada pejuang kemerdekaan Indonesia.
Baca juga: Proklamasi Kemerdekaan sampai di Banten
Satu kata kunci lain yang patut dicatat di pidato Hatta tersebut adalah keyakinan dan penegasan Hatta bahwa Indonesia sudah merdeka. Memang, di bulan-bulan pertama pascakemerdekaan Indonesia, masih ada orang yang ragu apakah Indonesia benar-benar sudah merdeka, mengingat pasukan-pasukan asing masih berada di Indonesia dan bahkan makin banyak yang datang serta mulai membangun otoritasnya di Indonesia. Sampai-sampai ada anggapan bahwa yang terjadi ialah bahwa Indonesia masih berjuang untuk mencapai kemerdekaan. Padahal, dalam perspektif para proklamator kemerdekaan, dalam hal ini Sukarno dan Hatta, serta para pejabat Republik lainnya, Indonesia sudah merdeka per 17 Agustus 1945. Artinya, frasa “berjuang untuk mencapai kemerdekaan” adalah keliru dan harus diganti dengan “perjuangan mempertahankan kemerdekaan”.
Sebagaimana disebut oleh Hatta di dalam pidatonya itu, Indonesia telah merdeka, dan yang perlu dilakukan bangsa Indonesia adalah mempertahankan kemerdekaan itu, sembari mengisinya dengan “benih” yang unggul, supaya di masa yang akan datang tumbuhlah “pohon sejarah” Indonesia yang berbuah kemajuan bagi rakyatnya.
Penulis adalah staf pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar