Aksi Massa yang Disita Polisi
Polisi menyita buku Aksi Massa karya Tan Malaka sebagai barang bukti aksi kelompok anarko di Tangerang. Mengapa buku tersebut dianggap berbahaya? Apa saja isinya?
ADA kegemparan di kalangan elite Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam tahun 1926. Silang pendapat itu bermula ketika sekelompok kader pucuk PKI pimpinan Sardjono menyelenggarakan Kongres Prambanan, 25 Desember 1925, yang menghasilkan keputusan melawan pemerintah kolonial Belanda, selambatnya enam bulan setelah penyelenggaraan kongres.
Untuk mematangkan jalannya pemogokan massal yang disertai pelawanan bersenjata sebagaimana keputusan kongres, partai mengutus Musso, Budisutjitro, dan Sugono untuk pergi ke Singapura menemui Tan Malaka. Mereka berniat meminta bala bantuan dari Moskow melalui Tan Malaka. Namun misi itu gagal karena Tan Malaka ada di Manila.
Sebetulnya Tan Malaka sudah mengetahui rencana pemberontakan itu sejak awal 1926, namun kurang sreg. Dia menilai situasi revolusioner di Hindia Belanda belum benar-benar memenuhi syarat untuk sebuah revolusi. “Tetapi apakah rakyat proletar Indonesia sudah pula siap?... kalau belum siap, tak ada jalan lain buat pemimpin yang berani bertanggung jawab kepada rakyat dan diri sendiri, ialah terus mempersiapkan rakyat buat massa aksi,” kata Tan Malaka dalam otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara.
Pemberontakan melawan pemerintah kolonial pun tetap dilakukan kendati waktu pelaksanaannya meleset dari yang ditentukan. Pada 12 November 1926 pemberontakan meletus di Banten, Batavia, dan Jawa Barat. Lantas pada Januari 1927, mengikuti kawan-kawan separtai di Jawa, giliran Silungkang, Sumatra Barat berontak melawan Belanda.
Baca juga: Di Balik Gelar Pahlawan Nasional Alimin dan Tan Malaka
Dalam jangka waktu sepekan setelah peristiwa, polisi kolonial menangkap ribuan orang yang diduga terlibat aksi pemberontakan tersebut. Beberapa pemimpin pemberontakan, seperti Egom, Hasan, dan Dirdja dihukum gantung. Ratusan kader lainnya dibuang ke Boven Digul, kamp penahanan yang terletak di wilayah endemik malaria hitam di Papua. Kelak tak hanya kaum komunis yang dibuang ke Digul, melainkan juga para nasionalis yang dituduh membahayakan negara kolonial Hindia Belanda.
Tan Malaka besikukuh tak menyetujui pemberontakan itu. Pada awal 1926, menggunakan paspor palsu di bawah nama samaran Hasan Gozali, pria kelahiran Mindanao, Filipina Selatan, Tan Malaka masuk ke Singapura. Selama di Singapura dia menulis sebuah risalah mengenai taktik rakyat untuk melawan pemerintah kolonial. Risalah bertajuk Massa Actie (Aksi Massa) ditulis untuk menanggapi keputusan kongres Prambanan yang menyerukan revolusi di Hindia Belanda.
Tan Malaka mengakui bahwa risalah tersebut ditulis dalam situasi serba mendadak. “Massa Aksi yang ditulis tergesa-gesa dan dicetak di Singapura,” katanya dalam Dari Penjara ke Penjara. Ketergesaan itu bisa jadi karena dia, melalui risalahnya, ingin agar pemberontakan ditunda sambil mematangkan situasi revolusioner pada massa rakyat.
Risalah tersebut terdiri dari 12 bagian, dibuka dengan pembahasan revolusi pada bab pertama. Kalimat pertama dalam bab ini bernada gugatan kepada mereka yang menganggap revolusi sebagai keputusan sepihak, satu arah dari beberapa gelintir orang. “Revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa. Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang dalam membangun revolusi, melaksanakan atau memimpinnya menuju kemenangan, tak dapat diciptakan dengan otaknya sendiri,” tulis Tan Malaka.
Tan Malaka jelas terpengaruh kuat oleh teori revolusi proletar Karl Marx yang memproyeksikan bahwa revolusi akan terjadi ketika kaum proletar semakin menderita akibat penindasan kaum modal yang semakin rakus menumpuk kekayaan di tangan mereka. “Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin beratlah kesengsaraan dan perbudakan di lain pihak. Pendeknya semakin besar jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah semakin besarlah hantu revolusi,” kata Tan Malaka menguraikan.
Setelah menjelaskan tahapan revolusi pada bab pertama, Tan beralih membahas bagaimana masyarakat Indonesia terbentuk secara historis untuk membantu memahami pada tingkat mana kesadaran masyarakat Indonesia berada. Apa yang ada di Indonesia, menurut Tan, tidak pernah lepas dari pengaruh luar negeri. Kondisi itu menjadikan masyarakat Indonesia tidak punya cita-cita sendiri karena hanya menerima apa yang datang dari luar, bahkan dalam soal agama. “Agama Hindu, Buddha, dan Islam adalah barang-barang impor, bukan keluaran negeri sendiri,” tulisnya.
Sementara itu cerita keagungan dan kemegahan masa lalu Indonesia dipenuhi oleh bualan-bualan pujangga istana yang menutup fakta kehidupan di luar tembok istana. Pencapaian-pencapaian masa kerajaan hanyalah monumen kuno seperti Candi Borobudur, yang menurut Tan Malaka tiada sebanding bila disetarakan dengan dahsyatnya penemuan hukum Pytagoras yang mendorong manusia untuk mencapai penemuan-penemuan baru dalam kehidupannya.
Perlawanan terhadap kolonialisme Belanda seperti yang ditunjukkan oleh Pangeran Diponegoro menurut Tan Malaka tak lebih hanya perlawanan sporadis seorang feodal belaka. Perlawanan itu sama sekali tidak mencerminkan perjuangan kelas borjuasi, sebagai mana terjadi di Prancis, untuk menumbangkan kekuasaan feodal sehingga menciptakan masyarakat baru yang lebih egaliter di atas puing-puing kultur feodalisme.
Pendeknya, Tan Malaka dalam bab kedua ini ingin menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari belenggu adat feodalisme. Adat yang terbentuk akibat perjalanan sejarah selama ratusan bahkan ribuan tahun namun tidak membawa dampak kemajuan apa-apa bagi manusia Indonesia di masa modern. Belum lagi kepercayaan terhadap takhayul yang masih menyelubungi alam pikirannya, membuat rakyat Indonesia, “…dari dulu hingga sekarang masih tetap menjadi budak belian yang penurut, bulan-bulanan dari perampok-perampok asing,” kata Tan Malaka menyimpulkan.
Baca juga: Hikayat Tan Malaka, Sang Buronan Abadi
Pada bagian selanjutnya Tan menjelaskan beberapa bentuk imperialisme yang mendominasi di kebanyakan negara jajahan. Mulai dari “perampokan terang-terangan” oleh Portugis dan Spanyol, monopoli ala Belanda, setengah monopoli ala Inggris di India, sampai dengan imperialisme liberal ala Amerika terhadap jajahannya di Filipina.
Melanjutkan pembahasan mengenai imperialisme, Tan Malaka membahas kondisi kapitalisme di Indonesia yang menurutnya masih terlalu muda. Kapitalisme di Indonesia menurutnya hanyalah cangkokan dari apa yang berkembang di negeri asalnya, Eropa. Tidak ada industri berat yang menghasilkan produk-produk mesin atau barang-barang berbahan logam lainnya. Moda produksi masyarakat Indonesia bertumpu pada pertanian yang sebagian besar berada di Jawa. Sementara itu bahan logam yang banyak terdapat di Sumatra dan Kalimantan saat itu belum terjamah dan diolah untuk kebutuhan industri berat.
“Kapitalisme di Indonesia tidak dilahirkan oleh cara-cara produksi bumiputra yang menurut kemauan alam. Ia adalah perkakas asing yang dipergunakan untuk kepentingan asing yang dengan kekerasan mendesak sistem produksi bumiputra,” tulis Tan Malaka dalam bab keempat.
Sehingga apa yang dilakukan Belanda pada dasarnya hanya mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia Indonesia demi menopang ekonomi negeri induk Belanda. Belanda bukanlah Inggris yang mengalami revolusi industri dan membutuhkan pasar di negeri jajahannya. Belanda tidak pernah beriktikad membangun industri sehingga menarik kehidupan orang dari desa untuk pergi ke kota bekerja sebagai buruh di pabrik-pabrik. Sehingga yang terjadi di Indonesia adalah kapitalisme yang tidak teratur sesuai tahapan-tahapan perkembangan masyarakat seperti yang terjadi di Eropa.
“…imperialisme Belanda dalam 300 tahun tak meningkatkan apa pun untuk bangsa Indonesia, semua habis diangkut ke negerinya. Ia memuntahkan kapitalisme kolonial Belanda yang tidak ada duanya di dunia,” tegasnya.
Dari empat bab permulaan risalahnya, Tan Malaka memberikan penjelasan bahwa tahapan perkembangan masyarakat Indonesia pada umumnya masih jauh dari situasi revolusioner. Pada bab kelima Tan Malaka semakin mengerucutkan penjelasaannya mengenai kondisi rakyat Indonesia ke dalam tiga keadaan: melarat, hidup dalam kegelapan dan ditindas dalam sistem perbudakan.
“Kita di zaman modern ini sedih dan heran melihat orang Jawa yang tinggal di pondok-pondok rombeng atau tak bertempat tinggal sama sekali, kelaparan dan berpakaian kotor compang-camping, hidup dalam iklim yang sangat membahayakan sebagai di Indonesia, kurang terawat kesehatannya, disebabkan wabah malaria, cacing tambang, kolera, dan sampar; ‘hanya’ ratusan ribu yang mati di waktu penyakit itu merajalela,” urai Tan Malaka melukiskan keadaan rakyat yang hidup melarat.
Baca juga: Ketika Tan Malaka Ingin Jadi Presiden
Sebagian besar rakyat hidup dalam kegelapan karena tidak bisa mengenyam pendidikan yang layak. Pemerintah Belanda memang terbilang telat dalam mendirikan perguruan tinggi di negeri jajahannya. Pemberlakukan politik etis pada awal abad ke-20 hanya berhasil mendirikan tiga universitas, yakni Technische Hoogeschool di Bandung berdiri 1920 (kini ITB), Rechthoogescshool atau Sekolah Tinggi Hukum di Batavia berdiri 1924 (kini UI), dan Geneeskundigeschool atau Sekolah Tinggi Kedokteran berdiri di Batavia 1927 (kini Fakultas Kedokteran UI). Padahal menurut Tan Malaka jumlah penduduk Indonesia tiga kali lipat Filipina yang masa itu berpenduduk 12 juta jiwa sudah memiliki empat universitas.
Rendahnya minat pemerintah kolonial Belanda memajukan pendidikan di negeri jajahan juga terlihat dari jumlah anak-anak yang masuk sekolah. Berdasarkan data Tan Malaka pada tahun 1919 adalah sebagai berikut: H.I.S. 1%, Sekolah Rakyat 5%, Sekolah Desa 8% sampai 14%. Lebih kurang 86% anak-anak yang seharusnya bersekolah tak mendapat tempat (menurut laporan kongres N.I.O.G. tahun 1923 yang diumumkan dalam Indische Courant). Mereka yang bisa membaca dan menulis sekarang ditaksir 5 persen sampai 6 persen, mungkin juga 2 persen sampai 3 persen.
Di dalam sistem kolonialisme Belanda perbudakan pun dilegalkan dalam cara-cara yang diperhalus. Kuli kontrak di berbagai perkebunan milik tuan-tuan Belanda jumlahnya mencapai 300 ribu orang. Mereka mendapatkan upah sangat rendah yang jauh dari kata layak untuk hidup sebagaimana tergambar dalam buku karya pengacara Belanda J. Van Den Brand, De Millioenen uit Deli.
Kondisi itu membuat Tan Malaka menyimpulkan bab kelimanya dalam sederet kalimat bernada vonis, “Keadilan di Indonesia hanya bagi segolongan kecil yaitu si penjajah kulit putih. Bagi bangsa Indonesia yang berhak atas negeri itu, tak ada keadilan dan pengadilan.”
Baca juga: Ketika Tan Malaka Jadi Orang Tionghoa
Bab-bab selanjutnya di risalah ini Tan Malaka menerangkan situasi sosial dan politik di Hindia Belanda. Dari segi sosial menurut Tan Malaka pertentangan yang terjadi di dalam masyarakat jajahan bukanlah pertentangan kelas buruh dengan majikan sesama Indonesia sebagai konsekuensi kapitalisasi kehidupan masyarakat.
Namun lebih dalam lagi, “Pertentangan Belanda kapitalis dengan buruh Indonesia, itulah nisbah sosial kita yang berbeda dengan negeri-negeri lain. Pertentangan ini lahir dalam bentuk yang setajam-tajamnya. Ketajaman itu bukan saja disebabkan oleh ketiadaan kapital modern dari bangsa Indonesia, melainkan juga oleh perbedaan agama, bangsa, bahasa, adat istiadat antara penjajah dan si terjajah,” kata Tan Malaka.
Penjelasan mengenai situasi sosial dilanjutkan oleh Tan Malaka dengan memberikan gambaran kondisi politik di tanah jajahan pada bab keenam. Dia mengajukan gagasan bentuk perwakilan rakyat yang ideal, bukan parlemen borjuis yang menurut dia kepanjangan tangan dari pemilik modal, melainkan sebuah soviet. Parlemen borjuis akan menghasilkan undang-undang yang membawa kepentingan kelasnya sendiri sehingga masih bersifat menindas rakyat.
Soviet dibentuk oleh diktatur buruh dengan bantuan petani yang telah menguasai borjuasi. Keanggotaan soviet bisa diangkat dan diberhentikan sewaktu-waktu, tidak seperti parlemen yang duduk untuk sampai lima tahun dengan mekanisme penggantian yang tidak mudah. Gagasan ini sejatinya kritik Tan Malaka terhadap parlemen di Hindia Belanda yang tidak mencerminkan perwakilan rakyat yang sesungguhnya.
Baca juga: Kala Tan Malaka Kemalingan di China
Pada 1916 pemerintah kolonial Hindia Belanda membentuk Dewan Rakyat (Volksraad) yang anggotanya dipilih oleh Gubernur Jenderal. Pada awal pembentukannya Volksraad memiliki 38 anggota, 15 orang di antaranya wakil golongan bumiputra. Seluruh anggota Volksraad saat itu, menurut Tan Malaka, berwatak kelas borjuasi. Kritik keras juga dilayangkan oleh PKI cabang Semarang yang melalui ketuanya, Semaoen, mengejek Volksraad sebagai “komidi omong”.
Pada bab ketujuh Tan Malaka meramalkan revolusi akan terjadi di Indonesia apabila sejumlah prasyarat, baik secara objektif maupun subjektifnya sudah terpenuhi. Sejak permulaan dalam risalahnya ini Tan Malaka sudah mafhum bahwa syarat-syarat terjadinya revolusi di Indonesia belumlah memadai. Tahapan sejarah dan kapitalisme yang berkembang tidak secara teratur akan membuat revolusi Indonesia berbeda dengan revolusi di negeri lainnya.
“Revolusi kita juga tidak akan menyamai revolusi borjuasi seperti di Prancis tahun 1789 karena borjuasi kita masih terlampau lemah dan feodalisme sebagian besar sudah dimusnahkan oleh imperialisme Belanda. Juga ia tidak akan menyamai Revolusi Prancis tahun 1870 karena kita agaknya mempunyai tenaga-tenaga produksi lebih cerdas, tambahan lagi nisbah sosial sangat berlebihan,” tulis Tan Malaka.
Revolusi di Indonesia juga tidak akan sama dengan jalan revolusi yang ditempuh kaum Bolshevik di Rusia pada 1917 karena, “…Revolusi Rusia yang feodalismenya boleh dikatakan lemah dan borjuasinya muda yang oleh perang bertahun-tahun menjadi sangat mundur, sedangkan kaum buruhnya muda, gembira, dan dididik menurut aturan Lenin.”
Baca juga: Ketika Paman Ho dan Tan Malaka Bertemu
Pada bab kedelapan Tan Malaka menyelipkan lagi tegurannya kepada rekan separtainya agar tidak gegabah melancarkan pemberontakan atas nama revolusi dalam situasi massa yang belum sepenuhnya memiliki kesadaran baru yang revolusioner. Revolusi membutuhkan perkakas, yakni massa yang sadar dan partai revolusioner yang akan memimpin jalannya revolusi.
Tan Malaka kembali menekankan kondisi alam pikiran massa yang sepenuhnya belum lepas dari takhayul dan terbelenggu feodalisme. “Pertukaran susunan negara feodalistis ke kapitalistis yang cepat dan tidak sesuai dengan kemauan alam menyebabkan bangsa Indonesia berubah cepat cara berpikirnya. Tetapi, perubahan cara berpikir ini biasanya tertinggal dari perubahan ekonomi. Umumnya bangsa kita secara lahiriah tampak modern sesuai dengan zaman kapitalis tetapi cara berpikirnya masih kuno, masih tinggal di zaman dahulu, seperti masih menganut Mahabarata, Islam, dan berbagai macam takhayul dan kepercayaan kepada hantu, jin, kesaktian gaib, batu keramat, dan lain-lain. Mereka masih terus seperti anak-anak dan berpikiran fantastis,” kata Tan Malaka.
Kekhawatiran tentang revolusi prematur yang akan terlihat sebagai putch belaka juga terlontar dalam bab ini. Partai revolusioner, menurut Tan Malaka, adalah partai yang berhasil melakukan revolusi apabila ia telah berhasil pula mengerahkan jutaan kaum buruh untuk mogok dan berdemonstrasi menuntut hak ekonomi dan politik mereka, “tanpa melempar sebutir kerikil pun kepada pegawai pemerintah”.
Uraian itu semacam tantangan kepada kawan-kawan partainya untuk bekerja lebih keras menyadarkan rakyat atas situasi penindasan yang membelit mereka. Bukan menyulut pemberontakan-pemberontakan kecil yang pada akhirnya akan memicu tindakan reaksioner pemerintah kolonial untuk menumpas gerakan. Tan Malaka mencontohkan insiden Afdeling B yang terjadi di Cimareme, Garut, tahun 1919.
Sebagaimana tersurat dalam buku Peristiwa Cimareme Tahun 1919: Perlawanan H. Hasan Terhadap Peraturan Pembelian Padi karya Chusnul Hajati, insiden itu bermula dari protes petani atas tingginya pajak padi yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial. Tokoh Sarekat Islam setempat, Haji Hassan, memimpin perlawanan bersama seluruh anggota keluarga dan kerabatnya. Dia dan beberapa anggota keluarganya tewas dalam sebuah pengepungan polisi kolonial. Belakangan hari, pemerintah kolonial menemukan bukti-bukti adanya keterlibatan sel kiri (disebut afdeeling B) di tubuh Sarekat Islam Garut yang menyulut pelawanan itu. Sejumlah pemimpin ditangkap, termasuk H.O.S. Tjokroaminoto.
Kegagalan perlawanan seperti yang dikemukakan oleh Tan Malaka dalam risalah ini semata untuk mendukung argumentasinya bahwa pemberontakan dengan kekerasan yang sporadis hanya akan menghasilkan kehancuran. Tugas partai revolusioner menurut Tan Malaka, mengacu kepada Lenin, harus “menjalankan tujuan dan pelopor (avantgarde) pergerakan di segala tingkatan revolusi. Pandangannya lebih jauh dan senantiasa berjuang di barisan depan sekali dan, karena itu, ia menjadi ‘kepala dan jantung’ massa yang revolusioner.”
Mengapa Tan Malaka berharap PKI agar berhasil sebagai partai yang membimbing massa menuju revolusi? Karena keuletan perjuangan tidak terdapat pada organisasi lainnya sebagaimana ditunjukkannya dalam organisasi Boedi Oetomo, Indische Partij, dan Sarekat Islam. Kegagalan perjuangan melawan imperialisme Belanda telah ditunjukkan ketiga organisasi itu membawa Tan Malaka pada kesimpulan hanya PKI, dengan syarat berdisiplin sebagai partai pelopor, yang bisa menumbangkan kolonialisme Belanda.
Boedi Oetomo menurutnya tak lebih organisasi yang bermimpi mendirikan “Jawa Raya” dengan “mengangkat kembali senjata-senjata Hindu-Jawa yang berkarat dan sudah lama dilupakan itu, sungguh tidak taktis dan jauh dari pendirian nasionalis umum....yang akibatnya sangat memilukan, Indonesia tetap jadi negeri budak.” Sementara itu, Indische Partij tak ubahnya berlaku seperti partai borjuasi yang enggan berkeringat turun ke jalan. “Jangankan aksi revolusioner, mogok saja jauh dari keinginan anggota N.I.P (Nationaal Indische Partij-Red.),” tulis Tan Malaka.
Sarekat Islam tidak juga menjadi tumpuan harapan karena mempersatukan rakyat melalui ikatan sentimen agama. “Dengan melibat-libatkan agama, dikumpulkannya si Kromo ke dalam satu organisasi yang sangat picik. Dan pada permulaannya ditujukan untuk menentang saudagar-saudagar Tionghoa,” kata Tan Malaka pada bab kesepuluh membahas lemahnya Sarekat Islam sebagai organisasi rakyat.
Kekuatan Sarekat Islam semakin berkurang ketika disiplin partai diberlakukan oleh Haji Agus Salim pasca peristiwa Haji Hasan di Cimareme, 1919. Anasir kiri di tubuh Sarekat Islam dipersilakan keluar dari keanggotaan. Sementara itu organisasi bernapaskan Islam seperti Muhammadiyah juga tak bisa diandalkan karena watak kompromistis dan oportunistisnya. “Golongan Muhammadiyah dengan segala kejujurannya menerima subsidi dari tangan pemerintah ‘kafir’ untuk sekolah Islam,” tulis Tan Malaka.
Sementara itu golongan intelektual seperti yang terdapat di dalam organisasi De Indonesische Studieclub pimpinan Dr. Soetomo tidak kurangnya menunjukkan watak borjuasi yang kelak akan mengalami kebuntuan saat menghadapi dilema sebagaimana pernah dialami tiga partai borjuasi lainnya. Seperti pada pilihan untuk bekerja sama dengan pemerintah Belanda atau menjadi partai massa buruh yang memperjuangkan kemerdekaan seluas-luasnya? Tan Malaka juga mengkritik watak borjuis pada kalangan intelektual di organisasi ini karena pada akhirnya memisahkan mereka dari kehidupan massa buruh.
Perhatian Tan Malaka pada nasib-nasib bangsa terjajah di wilayah Asia tercermin pada bab kesebelas yang mengutarakan niatnya agar rakyat jajahan di negeri Filipina dan semenanjung Malaya bergabung di bawah Federasi Republik Indonesia. Revolusi untuk menumbangkan kekuasaan imperialisme tidak terbatas pada wilayah Hindia Belanda saja. Tan Malaka menggalang solidaritas agar seluruh rakyat di Filipina yang dijajah Amerika dan rakyat semenanjung Malaya yang dikoloni Inggris bersatu mengakhiri riwayat penjajahnya.
Pada bagian terakhir risalahnya, Tan Malaka menyerukan agar partai menghimpun kekuatan massa rakyat melakukan revolusi pembebasan nasional. Dengan terlebih dahulu memastikan terciptanya situasi objektif dan subjektif sebagai prasyarat revolusi. Tan menulis, “Karena itu, wahai kaum revolusioner, siapkanlah barisanmu dengan selekas-lekasnya! Gabungkanlah buruh dan tani yang berjuta-juta, serta penduduk kota dan kaum terpelajar di dalam satu partai massa proletar.”
Baca juga: Hari Ini Adalah Hari Kematian Tan Malaka
Risalah yang ditulis secara tergesa-gesa ini akhirnya tuntas pada tahun 1926, namun terlambat disampaikan secara luas kepada seluruh kader PKI. Pemberontakan pun tetap berjalan dan menemui kegagalan. Apa yang dicemaskan Tan Malaka dalam risalah Massa Aksi ini memang terjadi. Perbedaan dalam cara menempuh revolusi ini membuat Tan Malaka akhirnya keluar dari PKI.
Tapi PKI di kemudian hari punya pendapat berbeda dalam menilai pemberontakan 1926. Dalam buku Pemberontakan November 1926 yang disusun oleh Lembaga Sejarah PKI terbitan Jajasan Pembaruan, 1961, menyebutkan kendati pemberontakan gagal, “ia memberikan suatu cap yang tegas dan arah yang pasti bagi gerakan nasional selanjutnya.” Pemberontakan 1926 yang dikutuk oleh Tan Malaka sebagai hasil lamunan para pemimpin PKI itu justru harus diakui “telah memberikan arah politik bagi gerakan kemerdekaan nasional, yaitu bahwa Indonesia harus merdeka.”
Setelah sempat beredar dalam bentuk cetak stensil, risalah ini kemudian dicetak dan diterbitkan beberapa kali oleh berbagai penerbit, antara lain penerbit Teplok Press (2000), Komunitas Bambu (2000), Cedi-Aliansi Press (2000) dan Narasi (2013). Artinya memang buku ini pernah beredar luas dan tidak pernah dinyatakan sebagai barang cetakan terlarang sampai hari ini.
Jadi, apakah buku ini berbahaya sehingga harus jadi barang sitaan? Satu yang pasti risalah ini pernah menjadi bahan bacaan para pendiri Republik Indonesia dalam menentang kolonialisme Belanda. Apakah kolonialisme Belanda masih ada di sini? Tidak, Belanda sudah jauh…
Tambahkan komentar
Belum ada komentar