Kala Tan Malaka Kemalingan di China
Hidup dalam pelarian di Shanghai, Tan Malaka jadi saksi dari kengerian pendudukan Jepang. Nahas, kemalingan.
TINGGAL jauh dari kampung halaman tanpa bekal cukup dan sanak famili jelas merepotkan. Terlebih, jika saat tinggal itu yang bersangkutan sedang dalam status pelarian. Lengkaplah sudah penderitaan.
Kondisi itulah yang dialami Tan Malaka, salah satu founding fathers Indonesia, ketika tinggal di Shanghai dari 1930-1932 –Tan tinggal dengan menyewa sebuah kamar di rumah milik Tionghoa di Chapei. Tan sadar betul semua kesulitan dan bahaya yang mengitarinya merupakan risiko dari pilihan hidupnya, memperjuangkan kemerdekaan negerinya. Maka, Tan menjalaninya dengan biasa sebagaimana dia menjalani hidup di masa-masa sebelumnya di tempat-tempat yang juga berbeda. Tan tinggal di Shanghai dengan nama samaran Ossario, yang disebutnya sebagai seorang wartawan asal Filipina yang bekerja pada Bankers Weekly.
Saat Tan tinggal, Shanghai merupakan kota International Settlement. “Sejarah permukiman asing (international settlement, red.) di Shanghai dapat ditelusuri kembali ke Perjanjian Nanking pada 1842, yang ditandatangani Cina untuk menyelesaikan Perang Anglo-Cina pertama. Diputuskan oleh perjanjian ini bahwa Cina tidak hanya harus menyerahkan Hong Kong ke Inggris tetapi juga harus membuka lima pelabuhan perjanjian: Kanton, Hsiamen, Fuchow, Ningpo, dan Shanghai,” tulis sejarawan Harumi Goto-Shibata dalam Japan and Britain in Shanghai, 1925-1931.
Baca juga: Kisah Asmara Tan Malaka, Antara Petualangan dan Revolusi
Meski lahan Settlement Shanghai tetap milik Republik China, kedaulatan di kota pelabuhan tersebesar Tiongkok itu terbagi ke dalam beberapa kedaulatan negara yang mendirikan perwakilan di dalamnya. “Pada treaty ports (bandar perjanjian) itu, asing (Eropa, Amerika, Jepang) boleh berdagang dan membuka perusahaan di bawah perlindungan undang-undang negaranya sendiri,” tulis Tan Malaka dalam otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara Bagian Dua.
“Apakah artinya kedaulatan semacam itu kalau polisi di tempat-tempat tersebut ialah polisi asing dan pemerintah kota di sana terdiri dari bangsa asing?” sambung Tan.
Selain pergi ke perpustakaan untuk membaca dan menulis, hari-hari Tan dihabiskan dengan berbincang dengan orang-orang di rumah tempat dia menyewa kamar atau kenalan-kenalannya. Selain itu, rutinitas Tan di Shanghai adalah berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk mengamati kondisi daerah dan kehidupan masyarakatnya.
Baca juga: Ketika Tan Malaka Jadi Orang Tionghoa
“Perjalanannya adalah tentang klaim komparabilitas kota-kota kolonial seperti halnya tentang emansipasi kota-kota ini dan hak-hak kedaulatan dan kemerdekaan. Munculnya kesadaran antikolonial Tan Malaka bersinggungan dengan berbagai bentuk kota yang ia temui di Shanghai. Di masa ketika kota itu telah dijajah atau berada di bawah ancaman kekuatan Barat (termasuk Jepang), kota itu datang untuk mewujudkan otoritas politik dan dengan demikian menjadi simbol kedaulatan,” tulis Abidin Kusno dalam The Appearances of Memory: Mnemonic Practices of Architecture and Urban Form in Indonesia.
“Keasyikan” Tan di Shanghai berakhir pada 27 Januari 1932 ketika tentara Jepang membombardir kota itu yang memicu perlawanan dari Tentara ke-19 (19th Route Army) Republik China. “Kacau balau yang ditimbulkan oleh tembakan meriam, mortir, mitraliur, dan senapan berturut-turut serta akhirnya dengungan bomber dan peledakan bom siang dan malam menjadikan sekitar kampung dan rumah saya seakan-akan menjadi neraka,” kata Tan.
Baca juga: Januari “Ngeri” di Shanghai
Penduduk, termasuk Tan, hanya bisa bertahan di dalam rumah. Mereka mulai kekurangan makanan dan air pada hari keempat. “Untunglah pada hari kelima, oleh pemimpin tentara Jepang yang menguasai kampung kami, kepada penduduk diberi kesempatan buat mengungsi,” sambungnya.
Tan terpaksa meninggalkan peti tempat barang-barangnya, buku-buku, dan mesin tulis (mesin tik) miliknya lantaran mengungsi. Setelah sebulan berpindah-pindah menumpang tempat tinggal pada teman-temannya, Tan akhirnya memutuskan kembali ke rumah yang disewanya sebulan kemudian berbekal surat izin dari pemerintah kota-tentara pendudukan Jepang. Tan ingin menyelamatkan buku-buku dan barang-barangnya yang jumlahnya tak seberapa.
Meski berberapakali mengalami pemeriksaan tentara Jepang di sepanjang perjalanan sunyi menuju rumah sewanya, Tan akhirnya sampai juga. Di sana dia bertemu si pemilik rumah yang tampak bersedih dan berulangkali mengucapkan kata la-li-long. Tan lalu bergegas ke dalam rumah untuk mengambil barang-barangnya.
“Baru saya mengerti benar apa artinya la-li-long itu. Peti saya berisi pakaian, buku-buku, mesin tulis, tungku, kayu dan arang, beras, kecap, bawang dan lain-lain bahan buat dimasak hari-hari semuanya hilang lenyap bersama dengan la-li-long-nya,” kata Tan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar