Yang Dikenang tentang Sven-Göran Eriksson
Sosok yang melanglang buana ke empat benua. Jadi mentor pelatih-pelatih hebat dari Carlo Ancelotti hingga Roberto Mancini.
LAMA tak muncul di belantika sepakbola, nama Sven-Göran Eriksson kembali hadir walau dalam kabut duka. Terakhir ia membesut timnas Filipina pada 2018-2019 dan sempat melatih tim Liverpool Legends saat meladeni tim Ajax Legends dalam sebuah laga amal pada Maret 2024.
Eriksson kini telah tiada. Ia mangkat pada Senin (26/8/2024) di kediamannya, Björkefors, Swedia pada usia 76 tahun setelah bertarung dengan kanker pankreas. Tak ayal, sejumlah figur sepakbola berkabung mengenang salah satu pelatih asal Skandinavia tersukses itu.
“Sebagai pelatih, Sven-Göran inovator dan duta yang hebat bagi sepakbola, memenangkan kompetisi domestik di tiga negara Eropa berbeda bersama dua kesuksesan di level kontinental bersama IFK Göteborg dan S.S. Lazio. Kariernya berpengaruh secara global karena melatih timnas di empat benua berbeda. Ia selalu memimpin dengan antusiasme dan senyum,” ucap Presiden FIFA, Gianni Infantino, dikutip BBC, Senin (26/8/2024).
Federasi sepakbola Swedia, Svenska Fotbollförbundet (SvFF), jelas sangat kehilangan. Senada dengan FIFA, SvFF menyatakan: “Sven-Göran ‘Svennis’ Eriksson salah satu pelatih asal Swedia paling berpengaruh. Svennis menginspirasi para pemimpin dalam sepakbola Swedia selama beberapa dekade. Terima kasih, Svennis, atas segala hal yang Anda lakukan dalam sepakbola, baik di Swedia maupun di mancanegara.”
Baca juga: Sisi Lain Der Kaiser Franz Beckenbauer
Pengelola Serie A (Liga Italia) dan Premier League (Liga Inggris) beserta beberapa tim di dalamnya juga kehilangan. Mereka turut mengungkapkan kedukaan. Toh sepanjang 42 tahun sebagai pelatih (1977-2019), Eriksson mencapai puncak kariernya saat menukangi empat tim Liga Italia, dua klub Liga Inggris, serta timnas Inggris.
Ia selalu diingat akan gaya kepemimpinannya dalam melatih. Ia turut memberi pengaruh baik pada karier mantan anak-anak asuhnya ketika beralih jadi pelatih, di antaranya Roberto Mancini, Simone Inzaghi, Diego Simeone; maupun pada sesama pelatih seperti Carlo Ancelotti.
Mimpi Melanglang Buana
Lahir sebagai sulung dari dua bersaudara di Sunne, Provinsi Värmland, Swedia pada 5 Februari 1948, Eriksson tumbuh di Torsby dalam lingkungan sangat sederhana dan jauh dari kehidupan kota besar. Sven sang ayah hanya seorang kondektur bus dan Ulla sang ibu bekerja sebagai pramuniaga toko tekstil.
“Well, saya berasal dari Värmland. Oslo (Ibukota negara tetangga, Norwegia) adalah kota besar terdekat yang jaraknya 200 kilometer. Torsby adalah kota di pedalaman dengan populasi yang kecil. Jika menemukan Torsby di peta, Anda akan melihat kotanya dikelilingi kehampaan,” ungkap Eriksson dalam otobiografinya, My Story, yang ditulisnya bersama Stefan Lovgren.
Sebagaimana anak-anak sebayanya, Eriksson kecil hobi bermain si kulit bundar. Tapi ambisinya untuk lebih serius menekuni sepakbola terpicu oleh kesemarakan Piala Dunia 1958 yang dihelat di negerinya, Swedia.
“Usia saya 10 tahun ketika Piala Dunia digelar di Swedia pada 1958. Di sana ada Pelé (bintang Brasil) yang masih berusia 17 tahun dan ia menjadi pahlawan besar bagi dunia. Di saat itulah saya bermimpi bermain untuk timnas Swedia,” kata Eriksson dalam wawancaranya di akun Youtube The Coaches’ Voice, 29 Maret 2020, “Sven-Göran Eriksson, A Life in Football: Gothenburg to England via Benfica and Lazio”.
Baca juga: Pelé adalah Sepakbola, Sepakbola adalah Pelé
Tidak hanya menjadi pesepakbola profesional di “Allsvenskan”, Eriksson pun sudah menggantungkan mimpinya setinggi langit untuk berkarier di mancanegara. Ia merujuk pemain-pemain legendaris Swedia seperti Nils Liedholm (AC Milan 1949-1961), Gunnar Nordahl (AC Milan 1949-1956, AS Roma 1956-1958), hingga Gunnar Gren (AC Milan 1949-1953, Fiorentina 1953-1955, Genoa 1955-1956).
“Jadi kebanyakan anak-anak di usia saya, pasti punya mimpi bisa menjadi seperti mereka karena mereka para pesepakbola pertama Swedia yang jadi profesional di luar Swedia dengan bermain di Italia,” imbuhnya.
Namun, mimpinya mesti ia tunda. Eriksson baru bisa mengukir namanya yang harum di mancanegara bukan sebagai pemain tapi sebagai pelatih.
Kariernya sebagai pemain berposisi bek kanan tak pernah bersinar kebintangannya baik saat berseragam Torsby (1964-1971) di divisi keempat Liga Swedia, maupun Sifhälla (1971-1972) dan Karlskoga FF (1972-1973) di divisi kedua. Cedera juga memaksanya harus pensiun di usia 25 tahun.
Tetapi dengan latar belakang pendidikan olahraga, ia belajar banyak dari seniornya, Tord Grip, semasa di klub terakhirnya, Karlskoga. Grip saat itu memainkan peran sebagai pemain-pelatih. Kelak di tahun 1995-1996, Grip sempat jadi mentor Timnas PSSI Primavera dan menukangi Timnas Indonesia U-23.
“Saya tak pernah bermain di level tertinggi apalagi ke luar negeri sebagai pemain. Jadi ketika saya berusia 27 tahun (25 tahun, red.) ketika masih bermain di divisi kedua, teman saya seorang maestro, Tord Grip mengatakan, ‘lebih baik sudahi karier bermain, mulai jadi pelatih.’ Jadi saya mulai beralih jadi asisten pelatih di bawah dia pada divisi kedua (di tim Degerfors IF),” tambah Eriksson.
Baca juga: Lima Pelatih Barcelona dari Belanda
Pilihannya tak keliru. Pada “jalan kedua” di sepakbola, perlahan tapi pasti nama Eriksson mulai dikenal. Terutama setelah ia jadi pelatih kepala menggantikan Grip yang dipanggil jadi asisten pelatih timnas Swedia. Usai mengantarkan Degefors promosi, tim besar IFK Göteborg membajaknya pada 1 Januari 1979. Butuh empat tahun untuk Eriksson membawa IFK Göteborg jadi tim Swedia pertama yang memenangkan trofi Eropa, UEFA Cup (kini Europa League) musim 1981-1982.
Begitu pun saat menukangi klub Portugal, SL Benfica (1982-1984). Tak hanya memetik trofi-trofi domestik, ia juga mengantarkan Benfica jadi semifinalis UEFA Cup 1982-1983. Lantas di AS Roma (1984-1987) yang jadi klub Italia pertamanya, ia bawa merebut Coppa Italia pada 1986.
“Kesuksesan Eriksson di Swedia dan Portugal memicu ketertarikan dari klub-klub Italia. Seiring Eriksson marketable, pada 1984 ia mulai melatih Roma. Memang awalnya ia kesulitan dan di musim pertama melorot sampai finis ke posisi ketujuh. Tapi ia membawa Roma menjuarai Coppa Italia dan nyaris menjuarai Serie A –hanya selisih dua angka dari jawara Serie A, Juventus,” ungkap Julian Birkinshaw dan Stuart Crainer dalam Leadership the Sven-Göran Eriksson Way: How to Turn Your Team Into Winners.
Di Italia pula, termasuk ketika menukangi Fiorentina (1987-1989) dan Sampdoria (1992-1997), Eriksson mulai sering memodifikasi taktik, strategi, dan formasi pragmatisnya à la Inggris yang selalu mengandalkan empat pemain belakang. Toh sejak meniti karier di Swedia dengan dimentori Grip, formasi dan gaya sepakbola Inggris acap jadi acuannya dalam meramu tim.
Jonathan Wilson dalam Inverting the Pyramid: The History of Football Tactics menulis, sejak membesut Degefors, Eriksson selalu terinspirasi formasi inovatif di masa itu (4-4-2) yang dipopulerkan pelatih-pelatih Inggris seperti Bob Houghton dan Roy Hodgson. Sering pula ia modifikasinya dengan cair menjadi 4-5-1, 4-2-3-1, 4-3-3, atau 4-1-4-1 sesuai kebutuhan.
Ia juga acap memanfaatkan taktik zona mista yang merupakan kombinasi antara sistem zonal marking dan man-to-man marking di lini belakang, salah satu kekhasannya yang lain adalah acapkali mengubah posisi asli pemain ke posisi baru di lini belakang. Ini juga yang jadi salah satu faktor kesuksesan terbesarnya ketika mengasuh Lazio (1997-2001).
Di masa itu, Eriksson seringkali merotasi bek tengah Paolo Negro ke bek kanan. Winger yang juga second-striker Siniša Mihajlović digeser jadi libero atau bek tengah untuk berduet dengan Alessandro Nesta.
Baca juga: Wenger dan Lima Pelatih Terawet Sejagat
Sedangkan Roberto Sensini dan Matías Almeyda yang sebelumnya merupakan bek, didorong ke lini tengah bersama Diego Simeone. Adapun di sisi sayap kiri dan kanan, ia punya banyak pilihan untuk dirotasi antara Pavel Nedvěd, Roberto Mancini, Alen Bokšić, Attilio Lombardo, Sérgio Conceição, dan Dejan Stanković.
Ia juga mengubah peran Juan Sebastián Verón yang sebelumnya berada di lini depan ketika bermain untuk Parma, jadi deep playmaker untuk menopang duet juru gedor Marcelo Salas dan Simone Inzaghi. Hasilnya: Scudetto Serie A musim 1999-2000, Coppa Italia 1997-1998 dan 1999-2000, serta UEFA Winners’ Cup (1998-1999).
“Memenangkan scudetto jadi hari yang indah. Kita jadi punya bek tengah yang bisa bikin gol. Kasih saja Mihajlović tendangan bebas. Lalu pemain seperti Nedvěd, Mancini, Verón, Salas, siapapun bisa menentukan pertandingan,” sambung Eriksson.
“Di atas semua itu, Lazio menjadi tim yang tak hanya punya satu pemimpin tapi tim dengan 11 pemimpin. Pada akhirnya mereka, Mancini, Simeone, Almeyda, Nesta, jadi pelatih hebat. Jadi itu masa-masa fantastis karena mereka semua pemenang,” kenangnya lagi.
Meski begitu cerita Eriksson bersama Lazio tak sepanjang yang diinginkan. Ia keburu kepincut tawaran melatih timnas Inggris. Pascakalah dari Napoli, ia mundur sebagai allenatore Lazio pada 9 Januari 2001 untuk terbang ke Inggris.
“Banyak pihak dan media-media Inggris mempertanyakan penunjukannya. Bahkan legenda Jack Charlton berkomentar ketus, ‘Apa yang telah kita lakukan? Timnas Prancis pelatihnya Prancis, timnas Jerman pelatihnya Jerman’” lanjut Birkinshaw dan Crainer.
Salah satu kritik terhadapnya adalah ia dianggap seenaknya mengubah peran dan posisi pemain, sebagaimana yang ia lakukan di Lazio. Paling mencolok adalah Eriksson menggeser posisi Paul Scholes di lini tengah ke sayap kiri demi bisa mengakomodasi Frank Lampard dan Steven Gerrard di gelandang tengah. Tetapi ia membungkam para pengkritiknya saat membantai Jerman, 5-1, di kualifikasi Piala Dunia 2002, Grup 9 Zona Eropa pada 1 September 2001 di Olympic Stadium, Munich.
“Saat itu kami ingin memanfaatkan kesempatan dan menang. Dan banyak pemain dengan mindset positif di tim. Seperti Ashley Cole yang berusia 19 tahun, dia pemain bagus, bek terbaik di Inggris. Beberapa pemain muda juga tampil berani melawan Jerman dan di masa itu atmosfernya sangat positif,” tambah Eriksson lagi.
Faktornya tak lain kepemimpinan a la Eriksson. Ia bukan sosok “sumbu pendek” yang acap membentak. Eriksson, tambah Birkinshaw dan Crainer, adalah sosok yang tenang setiap kali memberi teladan dan memotivasi pemain sembari menantang para pemainnya untuk keluar dari zona nyaman. Kunci penting lainnya adalah selalu mempertahankan mindset positif dan memberi kepercayaan untuk memperbaiki kesalahan.
Hal lain yang juga tak kalah penting adalah setiap arahan ia sampaikan dengan tujuan jelas sembari memberi kesempatan memberikan kebebasan berpendapat.
Tak lupa ia tetap tetap memberi batasan, bahwa Eriksson tetaplah bosnya dengan memberi contoh sebagai pemimpin yang egaliter.
Kepemimpinan positif macam inilah yang juga menginspirasi pelatih hebat lainnya, Carlo Ancelotti yang pernah diasuh Eriksson semasa Eriksson membesut AS Roma. Kini Ancelotti merupakan satu-satunya pelatih dengan rekor memenangkan lima titel domestik di lima liga top Eropa: Serie A bersama AS Roma dan AC Milan, Premier League bersama Chelsea, Ligue 1 bersama Paris Saint-Germain, La Liga bersama Real Madrid, dan Bundesliga bersama Bayern Munich.
“Eriksson pelatih hebat yang membawa pendekatan yang segar. Ia selalu teliti mempersiapkan tim. Ia tak pernah kehilangan temperamennya, selalu berusaha saling menghormati, sosok yang hangat, dan ringan tangan membantu pemain,” kenang Ancelotti, dikutip The Times, 25 Februari 2024.
Selepas itu tak hanya level klub (Manchester City, Leicester City, Guangzhou R&F, Shanghai SIPG, Shenzhen FC), Eriksson juga kemudian sempat melanglang buana lagi menukangi timnas Meksiko (2008-2009), timnas Pantai Gading (2010), dan terakhir sebelum pensiun membesut timnas Filipina (2018-2019).
“Kami ikut berduka atas meninggalnya Sven-Goran Eriksson. Pelatih legendaris yang membawa debut kakmi di Piala Asia 2019 dan akan selalu jadi hal yang kami banggakan. Beristirahatlah dengan tenang Sven,” tukas ungkapan duka cita badan timnas Filipina, di akun X-nya, @pmnft_official, Selasa (27/4/2024).
Baca juga: Philippe Troussier si Dukun Putih
Tambahkan komentar
Belum ada komentar