Pelé adalah Sepakbola, Sepakbola adalah Pelé
Mewariskan sepakbola indah, nama Pelé abadi di jajaran teratas sejarah sepakbola dunia.
PIALA Dunia 2022 Qatar sudah tutup buku. Nama Lionel Andrés Messi dielu-elukan bak “Tuhan” saban waktu usai ikut merebut trofi Piala Dunia untuk yang ketiga kalinya buat Argentina. Julukan “GOAT” (Greatest of All Time) melekat padanya dan bahkan, sejumlah pihak mengusulkannya mendapat anugerah Super Ballon d’Or. Mantan pelatih Real Madrid asal Italia Fabio Capello sampai menyetarakan Messi dengan Pelé.
Namun, ocehan Capello sepertinya berlebihan. Sebagian tokoh sepakbola tetap menyebut pesepakbola terbaik hingga saat ini adalah Pelé. Tiada seorang pun di kolong langit, terutama yang mengaku penggila bola, yang tak mengenal siapa Pelé. Magisnya mampu menghipnotis siapapun yang pernah menyaksikan aksi-aksinya di tengah lapangan, baik mereka yang sebelumnya nol pengetahuan tentang sepakbola hingga para legenda sepakbola lintas zaman.
Satu di antara yang “terhipnotis” adalah mendiang Alfredo Di Stéfano yang wafat pada 2014. Maestro bola Argentina, Spanyol, dan Real Madrid periode 1945-1966 ini pada 1989 jadi satu-satunya legenda yang dianugerahi trofi Super Ballon d’Or.
“Pemain terbaik sepanjang masa? Pelé. Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo keduanya pemain hebat dengan kualitas-kualitas yang spesifik tapi Pelé lebih baik,” kata Di Stéfano tegas kepada El Colombiano, dikutip ESPN, 10 September 2012.
Baca juga: Cristiano Ronaldo, Lebah Kecil dari Madeira
Messi dan Ronaldo memang punya raihan prestasi, khususnya individu, yang lebih berlimpah. Semisal trofi Ballon d’Or yang disebut-sebut sebagai penghargaan tertinggi individu bagi pesepakbola. Ronaldo mengoleksi lima, sedangkan Messi sudah tujuh.
Namun, Pelé di era 1950-an atau Maradona pada era 1980-an kondisinya berbeda. Trofi itu baru terbuka untuk diraih pesepakbola non-Eropa pada 1995. Catatan sejarah Ballon d’Or dipastikan akan berbeda dan mungkin bakal dikuasai Pelé seandainya sejak Ballon d’Or sudah terbuka untuk pemain manapun sejak dikonteskan pada 1956.
Toh tanpa Ballon d’Or sekalipun, nama Pelé sebagai “GOAT” yang sesungguhnya takkan tergantikan di hati banyak orang. Terlebih sepanjang 21 tahun karier profesionalnya, Pelé dikenal tak hanya sebagai pemain dengan style yang menakjubkan dan rekor-rekor golnya tapi juga perangai yang murah senyum, adem, dan perilakunya yang jauh dari kontroversi. Semuanya mengkristal menjadi sebuah kharisma yang melahirkan respek bagi setiap orang.
Kharisma itu sampai sekarang belum dimiliki bintang-bintang sepakbola lain seperti Messi atau Maradona sekalipun. Mendiang Maradona pun tak segan mengakui kehebatan Pelé.
“Sangat disayangkan kami tak pernah bermain bersama, tetapi dia adalah pemain yang luar biasa. Saya juga harus ulangi bahwa saya tidak suka membandingkan diri saya dengan dia ,” katanya di laman FIFA, 14 Desember 2015.
Berbeda dari Maradona, Franz Beckenbauer, legenda Jerman Barat pemenang Piala Dunia 1974 dan 1990, pernah satu tim dengan Pelé di klub New York Cosmos. Menurutnya, “Pelé adalah yang terhebat sepanjang masa. Masa jayanya terbentang selama 20 tahun. Yang lainnya –Diego Maradona, Johan Cruyff, Michel Platini– berada di bawahnya. Tiada yang bisa dibandingkan dengan Pelé.”
Baca juga: Lionel Messi, Alien Sepakbola yang Membumi
Sanjungan lebih “gila” datang dari Ferenc Puskás, bintang legendaris Hungaria dan Real Madrid. Menurutnya, “Pemain terbaik dalam sejarah adalah Di Stéfano. Saya menolak mengklasifikasikan Pelé sebagai pesepakbola. Dia lebih tinggi dari pada itu.”
Di luar arena, tokoh seperti Nelson Mandela pun punya kenangan akan sosok Pelé. “Menyaksikannya bermain seperti halnya melihat kebahagiaan seorang anak yang dikombinasikan dengan anugerah yang luar biasa dalam satu tubuh manusia,” kata sang ikon anti-apartheid itu.
Sementara, seniman dan sineas ternama Amerika Serikat yang pernah melukis potret Pelé, Andy Warhol, punya prediksi soal Pelé. “Pelé adalah salah satu sosok yang kontradiktif dalam teori saya: alih-alih kondang hanya dalam 15 menit, dia akan bertahan hingga 15 abad,” ujarnya.
Maka ketika Pelé menghembuskan nafas terakhir di Hospital Israelita Albert Einstein, Sao Paulo, Brasil pada Kamis (29/12/2022) malam waktu setempat atau Jumat (30/12/2022) WIB, seantero dunia pun menundukkan kepala berkabung. Sang mantan menteri olahraga itu wafat di usia 82 tahun karena kegagalan beberapa organ vitalnya hasil komplikasi dari kanker usus besar.
Dico Menjadi Pelé
Kota kecil Três Corações di Negara bagian Minas Gerais, Brasil pada tahun 1940 baru mulai dialiri listrik. Rumah-rumah penduduknya pun menjadi terang hingga banyak dari mereka yang bersyukur akan “jasa” Thomas Alva Edison yang menciptakan lampu pijar.
Salah satunya adalah pasutri Dondinho alias João Ramos do Nascimento dan Dona Celeste Arantes. Pasalnya di tahun yang sama listrik masuk ke kota kecil itu, Dondinho dan Celeste dianugerahi anak pertama mereka, tepatnya pada 23 Oktober 1940. Anak itu diberi nama merujuk si pencipta lampu pijar, Edson Arantes do Nascimento. Namun, di akta kelahirannya ada sedikit typo dari pihak administrasi kependudukan, bukan tertulis “Edson” melainkan “Edison”.
“Itulah repotnya pegawai Brasil yang tak begitu peduli dengan akurasi (nama),” keluh Pelé dalam otobiografi keduanya yang terbit pada 2008, Pelé: The Autobiography.
Baca juga: Tendangan dari Bauru
Di keluarganya, sejak kecil ia punya nama panggilan Dico. Sebutan “Pelé” baru ia dapatkan kemudian. Sebutan itu mulanya hanya olok-olok anak-anak lain di lingkungan tempat tinggalnya. Nama itu tak disukainya sama sekali.
“Selama bertahun-tahun saya seperti hidup dengan dua orang di hati saya. Satunya Edson yang bisa bersenang-senang dengan teman-teman dan keluarga; satunya lagi Pelé si pemain sepakbola. Saya tidak menginginkan nama itu. Pelé seperti nama dari gumaman bayi dalam bahasa Portugis,” kenang Pelé kepada BBC, 4 Januari 2006.
“Pelé” dalam bahasa Portugis sejatinya tak punya arti apapun. Baru belakangan disadari bahwa sebutan “Pelé” ternyata merujuk pada kiper idolanya asal klub Vasco da Gama bernama Bilé. Dico kecil acap salah sebut nama kiper itu menjadi “Pelé”, tapi kemudian melekat jadi ejekan anak-anak lain kepadanya. Padahal, “Bilé” berarti “keajaiban” dalam bahasa Ibrani.
Terlepas dari kebetulan atau tidak, Pelé kecil tumbuh jadi anak ajaib jika sudah berurusan dengan si kulit bundar. Bakat sepakbola itu diturunkan dari ayahnya yang mantan pesepakbola dengan 12 tahun karier bersama klub Atlético Mineiro (1940), Fluminense FC (1942-1945), dan Bauru Atlético Clube (1946-1952).
“Akan tetapi ia menemui takdir yang kejam. Di sebuah pertandingan, ia bertubrukan dengan pemain lawan. Dondinho mengalami cedera robek ligamen lututnya dan membuatnya pincang permanen. Insiden itu yang membuat ibu Pelé, Dona Celeste membenci sepakbola. Ia menyebut sepakbola sebagai olahraga omong kosong. Mereka pun pindah ke Bauru dengan Dondinho bekerja di sebuah kantor pelayanan publik,” tulis Lew Freedman dalam Pelé: A Biography.
Kendati begitu, passion sepakbola sama sekali tak meredup di hati Dondinho. Ia mengenalkan Pelé pada sepakbola dan mengajarinya. Kadang di sela bekerja paruh waktu jadi pramusaji di kedai teh usai jam sekolah, secara diam-diam Dondinho mengajari Pelé melatih skill hanya dengan kaus kaki yang dijejali kertas koran dan dibentuk bola atau dengan buah anggur semata.
Baca juga: Kiper Brasil Dilaknat hingga Akhir Hayat
Dondinho juga mengajarkan pada putranya bagaimana menghadapi atmosfer pertandingan. Lewat pengalamannya sebagai mantan pesepakbola, Dondinho menempa mental putranya agar bagaimana hatinya tak terbawa suasana.
“Dondinho percaya kelak Pelé akan jadi pemain profesional dan oleh karena itu harus bisa mengontrol temperamennya. Dondinho mengatakan kepada Pelé bahwa dia harus belajar bahwa penonton bisa agresif tapi mereka harus diabaikan. Karena pemain yang bertemperamen bisa berakhir diusir wasit. Gagasan menjadi profesional sudah ditanamkan sejak dini dalam pikiran Pelé kecil,” ungkap Harry Harris dalam Pelé: His Life and Times.
Hasilnya, Pelé di usia “ABG” memukau publik Bauru baik saat membela tim-tim amatir dan akademi klub Bauru di lapangan hijau maupun di arena futebol de salão alias futsal. Pelé tak pernah jauh dari gelar juara di arena futsal bersama tim bernama Radium.
“Kami ikut dalam kejuaraan futebol de salao pertama di Bauru. Kami menang. Futebol de salao saat itu merupakan hal baru dan di saat itu juga pertamakali saya mendapat kesempatan bermain dengan orang dewasa. Permainannya lebih cepat daripada sepakbola lapangan rumput. Anda harus berpikir cepat karena posisi semua orang berdekatan. Belajar olahraga ini membantu saya bisa berpikir untuk menggerakkan kaki dengan lebih baik,” kata Pelé di laman ICFDS atau konfederasi futsal internasional, 24 Mei 2006.
Menularkan Ginga di Pentas Dunia
O jogo bonito atau permainan indah khas Brasil dari waktu ke waktu melejitkan banyak bintang dari berbagai era yang permainannya begitu sedap dipandang mata. Dari generasi Garrincha dos Santos, lalu Ronaldo Luiz Nazario de Lima, Ronaldo dos Santos Aveiro alias Ronaldinho, hingga Neymar Júnior di masa sekarang. Harus diakui, Pelé adalah sosok yang menjadikannya kondang ke segenap penjuru dunia.
Permainan indah itu sudah dibawakan Pelé sejak merintis kariernya di akademi Bauru sampai ia mendapat kontrak profesional pertamanya bersama klub Santos FC pada 1956. Adalah Waldemar de Brito, pelatih akademi Bauru yang berjasa membawa Pelé ke Santos lantaran kagum akan permainan indah Pelé alias jogo bonito-nya begitu kental membawa ruh ginga.
Ginga (berarti “bergoyang” atau “mengayun”) adalah manifestasi kultur Brasil yang berakar dari warisan para budak kulit hitam. Ginga membolehkan setiap orang berkreasi dengan bebas dalam tarian Samba, seni beladiri capoeira, hingga sepakbola.
“Kami ingin menari. Kami ingin melakukan Ginga. Sepakbola bukanlah pertempuran sampai mati. Anda harus bermain dengan indahnya,” urai Pelé di otobiografi pertamanya yang dituliskannya bersama Robert L. Fish, My Life and the Beautiful Game: The Autobiography of Pelé (1977).
Baca juga: Dinho Oh Dinho...
Ginga bahkan membuat reputasi Pelé lebih dulu dikenal ketika pertamakali dibawa Waldemar untuk diperkenalkan kepada Luís Alonso Pérez alias Lula, pelatih Santos FC. “Jadi kamu Pelé yang terkenal (ginga-nya) itu?” kata Lula.
Hasil dari pertemuan pada 1956 itu, Pelé mendapat pra kontrak pertamanya. Dan pada April setahun berselang, Pelé resmi mendapat kontrak sebagai pemain utama Santos di usia 15 tahun.
Sebelum menandatangani kontraknya, Pele lebih dulu berdiskusi dengan ibunya lantaran Pelé harus berpisah karena mesti di asrama yang jauh dari rumah. Kontraknya berisi gaji lima ribu cruzeiro (setara 10 dolar Amerika) per bulan. Di bulan pertama, Pelé memberikan empat ribu cruzeiro untuk ayahnya agar bisa membeli rumah baru yang lebih laik.
“Kontrak pertama saya bernilai 10 dolar sebulannya. Sembilan bulan kemudian, ketika saya 16 tahun, saya diumumkan masuk seleksi (timnas) Brasil dan saya mendapat kenaikan gaji menjadi 15 dolar,” kenang Pelé.
Baca juga: Argentina-Brasil, Intisari Rivalitas Sepakbola Sejagat
Penampilan ciamik Pelé di Santos membuatnya masuk dalam seleksi Timnas Brasil di bawah besutan Silvio Pirilo pada medio 1957. Laga Copa Roca kontra tetangga yang rival bebuyutan, Argentina, di Stadion Maracanã pada 7 Juli 1957 jadi debut Pelé berseragam Seleção (julukan timnas Brasil). Debut itu dimulainya dari bangku cadangan menggantikan Emmanuele Del Vecchio.
“Reputasi Pelé (di Santos) berkembang lebih besar dari pada postur tubuhnya. Pelatih timnas, Silvio Pirilo yang terpukau dengan skill Pelé, membawanya ke tim saat melawan Argentina pada Juli 1957. Brasil memang kalah 2-1 dari Argentina tapi Pelé mencetak gol pertamanya. Saat kedua tim itu bertemu lagi, Brasil menang 2-0 dan dia menorehkan gol lagi,” sambung Freedman.
Maka ketika Pelé mengalami cedera lutut jelang Piala Dunia 1958, banyak pihak mendesak pelatih anyar Vicente Feola agar tetap membawanya ke Swedia. João Havelange, Presiden CBF (federasi sepakbola Brasil) yang kemudian pada 1974 mulai menjabat Presiden FIFA, salah satunya.
Keputusan Feola tetap membawa Pelé tidaklah keliru. Permainan ginga Pelé di Swedia sejak laga ketiga fase grup membangkitkan asa publik Brasil yang menelan kegetiran di Piala Dunia 1954. Ketika kemudian Brasil mencapai laga final kontra tuan rumah Swedia di Råsunda Stadium, Pelé dkk. yang mulanya disepelekan justru membawa pulang trofi Jules Rimet dengan kemenangan 5-2. Pelé menyumbang dua gol indah.
“Ketika Pelé mencetak gol kelima di final itu, saya harus jujur dan mengatakan saya ikut mengaplausnya,” kenang Sigvard Parling, bek Swedia di final 1958.
Baca juga: FIFA Uncovered dan Tikus-Tikus Berdasi Pejabat Sepakbola
Lepas wasit Maurice Guigue asal Prancis meniup peluit panjang, Pelé tumbang nyaris pingsan di lapangan. Ia tak percaya bisa membantu negerinya merebut trofi Piala Dunia untuk pertamakalinya walau kondisinya tak fit akibat cedera lutut.
Sejak saat itu hidup Pelé tak lagi sama. Kebintangannya terus menerang baik bersama Santos maupun timnas Brasil yang ia bantu memenangi Piala Dunia lagi pada 1962 di Chile dan 1970 di Meksiko. Hingga pensiun dari karier internasionalnya pada 1971, Pelé mengoleksi 92 caps dan 77 gol. Pada 1961 ia bahkan dinyatakan sebagai “harta nasional” oleh Presiden Brasil Jânio Quadros demi mencegah Pelé dibajak negara lain.
Di level klub, Pelé baru gantung sepatu pada 1977 karena masalah pada ginjalnya. Ia turut membawa Santos FC bergelimang gelar sepanjang kurun 1956-1974, meliputi enam titel Campeonato Brasileiro Série A (1961-1965 dan 1968), dua Copa Libertadores (1962, 1963), tiga trofi Intercontinental Cup (kini Piala Dunia Antarklub; pada 1962, 1963, 1968), dan 10 titel Campeonato Paulista (1958, 1960-1962, 1964-1969, 1973).
Saat hijrah ke klub New York Cosmos di Liga Sepakbola Amerika Utara (NASL, kini MLS), Pelé ikut mempersembahkan masing-masing satu titel Soccer Bowl NASL dan Atlantic Conference Championship NASL 1977 meski kariernya hanya dari 1975-1977. Pasca-masalah pada ginjalnya, Pelé pensiun. Laga terakhirnya dilakoni di pertandingan eksebisi antara New York Cosmos kontra Santos di Giants Stadium, New Jersey, 1 Oktober 1977. Tak hanya disaksikan keluarganya, laga itu juga disaksikan legenda seperti Bobby Moore dan Muhammad Ali.
Pelé mencetak gol terakhirnya dari tendangan bebas untuk Cosmos dalam kemenangan 2-1 di laga yang diguyur hujan itu. Harian The New York Times edisi 2 Oktober 1977 sampai menuliskan tajuk utamanya: “Bahkan Langit Pun Menangis (untuk Pelé)”.
Despedida, Pelé!
Tambahkan komentar
Belum ada komentar