Empat Pelatih Asing yang Diapresiasi Positif Negeri Besutannya
Shin Tae-yong bukan satu-satunya pelatih asing yang mendapat apresiasi positif dari negara tempatnya melatih.
BANYAK pelatih asing yang punya prestasi gemilang saat menukangi tim nasional negara-negara berkembang. Meski begitu, cukup langka kesuksesan mereka diapresiasi positif secara resmi. Shin Tae-yong (STY) satu di antara yang sedikit itu.
Datang dari negara mapan sepakbola Asia, Korea Selatan, STY memang harus diakui masih nirgelar –baik di level senior maupun timnas U-23– sepanjang menukangi timnas Indonesia sejak Desember 2019. STY dinilai sukses mengangkat sepakbola Indonesia kembali disegani di level Asia dengan membawa timnas senior untuk pertamakalinya sejak 18 tahun lolos babak 16 besar Piala Asia 2023.
STY tak hanya mencetak sejarah membawa timnas Indonesia U-23 lolos pertamakali di Piala Asia U-23, tapi bahkan sampai membawa Nathan Tjoe-A-On dkk. melangkah sampai semifinal. Lalu, baru-baru ini STY kembali membuka peluang timnas Indonesia senior ke Piala Dunia 2026 dengan mengantarkannya ke putaran ketiga kualifikasi zona Asia (September 2024-Juni 2025).
Tak mengherankan bila STY diapresiasi positif PSSI hingga pemerintah RI. Oleh PSSI, STY dihadiahi perpanjangan kontrak pada Juni silam yang berdurasi hingga 2027. Lalu pada Kamis (25/7/2024), Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan Golden Visa sebagai dasar memberi izin tinggal bagi STY di Indonesia dalam kurun 5-10 tahun ke depan.
“Golden Visa hari ini saya luncurkan dan saya mengundang pusatpafi.id warga dunia untuk datang berinvestasi dan berkarya di negara kita Indonesia,” ujar Presiden Jokowi yang menyerahkan langsung Golden Visa kepada STY, dikutip laman resmi Kemenkumham RI, Kamis (25/7/2024) malam.
STY mengaku senang dan bangga. Di akun Instagram resminya, @shintaeyong7777, STY menyatakan, “Terima kasih banyak kepada Bapak Jokowi. Saya akan berusaha lebih keras untuk masa depan sepak bola Indonesia.”
Tapi, STY bukan satu-satunya pelatih asing yang mendapat apresiasi positif dari pemerintah negara tempat ia melatih. Berikut tiga pelatih lainnya:
Bora Milutinović
Dari sekian pelatih hebat asal Eropa Timur, Milutinović jadi salah satu yang punya catatan unik. Setidaknya ia pernah punya empat paspor: Yugoslavia, Kroasia, Meksiko, dan Amerika Serikat. Saat meniti karier sebagai pemain di OFK Beograd sejak 1958 dan pensiun di klub Meksiko Pumas UNAM pada 1976, ia masih memegang kewarganegaraan Yugoslavia.
Pun ketika mulai melatih di Pumas UNAM (1977-1983) dan periode pertama menangani timnas Meksiko (1983-1986). Di era Milutinović-lah Meksiko punya catatan terbaik di Piala Dunia, dan masih bertahan sampai kini.
Ia sukses membawa timnas Meksiko mencapai perempatfinal Piala Dunia 1986 di hadapan publik Meksiko sendiri. Kebetulan Milutinović diberi kewarganegaraan juga berkat faktor menikahi perempuan Meksiko.
Sosok kelahiran Bajina Bašta, 7 September 1944 itu dikenal sebagai pelatih dengan sentuhan magis. Pasalnya selain pelatih legendaris Brasil Carlos Alberto Pareira, Milutinović jadi pelatih yang mampu meloloskan lima timnas berbeda ke Piala Dunia. Selain Meksiko pada 1986, magisnya juga manjur saat membesut Kosta Rika (Piala Dunia 1990), Amerika Serikat (1994), Nigeria (1998), dan China (2002).
Maka selain dari China, apresiasi juga datang dari Amerika Serikat yang menganggapnya pahlawan karena berkontribusi mengembangkan sepakbola di negeri Paman Sam. Sejak hadirnya Milutinović, lebih banyak pemain Amerika bisa berkarier di Eropa. Tak pelak ia dihadiahi paspor Amerika.
Usia Milutinovic sudah mulai sepuh kala dipercaya jadi penasihat olahraga klub China, Shaanxi Wuzhou (2014-2024), saat tinggal di Qatar. Meski begitu, pemerintah Meksiko masih belum melupakannya dan memberinya penghargaan lagi menjelang Piala Dunia 2022 di Qatar.
Mengutip rilisan di laman resmi pemerintah Meksiko pada 26 Maret 2022, Menteri Luar Negeri (Menlu) Mexico Marcelo Ebrard datang langsung ke Qatar untuk memberikan medali perak penghargaan Mexicanos Distinguidos. Sebuah apresiasi atas karier sepakbola Milutinović sebagai pemain dan pelatih di Meksiko. Milutinovic punya catatan 270 laga bersama Pumas UNAM dan mengantarkan Meksiko ke perempatfinal Piala Dunia 1986 serta memenangkan Gold Cup 1996.
“Menlu Marcelo Ebrard menganugerahkan penghargaan ‘Mexicanos Distinguidos’ sebagai apresiasi kepada Bora Milutinović (warga naturalisasi Meksiko) atas karier sepakbola sebagai pemain dan pelatih di Meksiko. Apresiasi ini diberikan pemerintah Meksiko bagi setiap warga Meksiko yang tinggal di luar negeri dan punya sejarah membanggakan bagi Meksiko,” bunyi pernyataan resmi Instituto de los Mexicanos en el Exterior, semacam badan diaspora pemerintah Meksiko, dikutip ESPN, 26 Maret 2022.
Philippe Troussier
Meski kariernya sebagai pemain boncos, Troussier menemukan karier gemilangnya di tepi lapangan saat di Afrika, hingga kemudian dijuluki “Si Dukun Putih”. Setelah mendapatkan lisensi pelatih pada 1983, ia meniti karier barunya dengan menukangi tim akademi INF Vichy di tahun yang sama. Sebelum merantau ke Afrika pada 1989, Troussier mengasuh tiga tim semenjana Prancis lain kurun 1984-1989, CS Alençon, Red Star 93, dan US Créteil.
“Di Afrikalah saya mulai mendapatkan serangkaian pengakuan. Saya merasa tidak butuh untuk melatih klub-klub besar seperti Arsenal atau Manchester atau timnas Inggris atau Jerman untuk menjadi salah satu pelatih top dunia,” tutur Troussier, dikutip Martin Greig dalam The Zen of Naka: The Journey of a Japanese Genius.
Troussier mulai mengukir masa-masa keemasannya sebagai pelatih di klub Pantai Gading, ASEC Mimosas, kurun 1989-1992. Ia membawa Abdoulaye Traoré cs. merebut titel Liga Primer Pantai Gading tiga kali berturut-turut (1990-1992). Di masa itulah ia mulai mendapat julukan Le Sorcier Blanc alias “Dukun Putih”.
“Seingat saya dalam sebuah pertandingan, kami tertinggal 0-2 saat waktu menyisakan dua menit. Saya mengganti dua pemain dan akhirnya kami yang menang. Jadi mereka menjuluki saya Dukun Putih karena saya melakukan sesuatu yang mengubah jalannya pertandingan,” kenang Troussier, dikutip Ian Hawkey dalam Feet of the Chameleon: The Story of African Football.
Baca juga: Philippe Troussier si Dukun Putih
Saking terkesan dan kagumnya pemerintah Pantai Gading terhadap kontribusinya dalam sepakbola domestik, Troussier sampai dinaturalisasi sehingga memegang dwikewarganegaran: Prancis dan Pantai Gading. Federasi sepakbola Pantai Gading FIF kepincut lalu pada 1993 merekrutnya menukangi timnas Pantai Gading.
Kendati begitu, Troussier gagal mengantarkan Les Éléphants (julukan timnas Pantai Gading) lolos ke Piala Dunia 1994. Kontraknya pun diselesaikan lebih awal dan Troussier memilih hijrah ke klub Afrika Selatan, Kaizer Chiefs.
“Walau hanya nyaris membawa Pantai Gading ke Piala Dunia 1994, pamor ‘Si Dukun Putih’ sudah menyebar dan menarik perhatian klub terbesar Afrika, Kaizer Chiefs yang berbasis di Johannesburg,” tandas Hawkey.
Guus Hiddink
Di antara pelatih asing di negeri asal STY, Korea Selatan, nama Guus Hiddink jadi yang paling dikultuskan. Sosok kelahiran Varsseveld, Belanda pada 8 November 1946 itu dipuja publik dan pemerintah Korea Selatan (Korsel) berkat tangan dinginnya membawa timnas Korea Selatan mencapai keajaiban di Piala Dunia 2002 di Jepang-Korsel.
Ketika Troussier direkrut JFA (federasi sepakbola Jepang), Hiddink menerima tawaran KFA (federasi sepakbola Korea Selatan) pada Januari 2001. Ia ditugaskan untuk setidaknya tidak membuat malu wajah tuan rumah.
“Tugas utama Hiddink adalah untuk mendekonstruksi dan membangun lagi cara bermain timnas Korea di saat sepakbola Korea sedang berada di persimpangan jalan,” tulis John Home dan Wolfram Manzenreiter dalam Japan, Korea and the 2002 World Cup.
Baca juga: Lima Pelatih Barcelona dari Belanda
Selain menggenjot fisik dan stamina para pemain, Hiddink juga berupaya melakukan pendekatan lain kepada KFA. Ia meminta federasi melakukan jadwal ulang K-League demi memperpanjang masa pelatihan para pemain timnas. Mirip seperti yang dilakukan STY di timnas Indonesia, Hiddink juga tak lelah memotivasi mentalitas pemainnya agar tak merasa inferior jika melawan tim-tim besar.
Hasilnya berbuah manis. Tak hanya melewati target dengan lolos dari penyisihan grup, Ahn Jung-hwan dkk. mencapai semifinal usai memulangkan Italia, 1-2, di babak 16 besar dan Spanyol lewat adu penalti (5-3) di perempatfinal. Di semifinal, Korsel harus mengakui keunggulan Jerman, 0-1, dan kalah 2-3 dari Türkiye di perebutan juara ketiga.
“Sindrom Hiddink” pun meluas di antara para penggila sepakbola “negeri ginseng”. Ia pun dinobatkan sebagai warga negara asing pertama yang diberikan status warga negara kehormatan oleh pemerintah Korea Selatan.
Apresiasi positif berlimpah lain kemudian diterimanya dalam berbagai bentuk. Mulai dari hadiah vila pribadi di Pulau Jeju-do, layanan taksi gratis dan tiket pesawat gratis dari maskapai Korean Air dan Asiana Airlines seumur hidup. Venue perempatfinal saat Korea Selatan menyingkirkan Spanyol, Gwangju World Cup Stadium, juga diubah namanya menjadi Guus Hiddink Stadium.
Baca juga: Bill Shankly dalam Kenangan
Tambahkan komentar
Belum ada komentar