Teknokrat Olahraga dalam Riwayat (Bagian I)
MF Siregar lahir dua pekan sebelum berdirinya Persija. Terseret arus revolusi kemerdekaan sebelum meretas jalan di gelanggang
NAMANYA tak dikenal luas. Padahal, perannya begitu besar di balik sejumlah prestasi monumental olahraga Indonesia. Maklum, Mangombar Ferdinand Siregar bukan pelatih apalagi atlet. Namun di antara para stakeholder olahraga nasional, ia salah satu teknokrat olahraga paling dihormati.
Hingga kini namanya tenggelam lantaran terbilang langka media-media nasional yang mengulas. Sayup-sayup terdengar lagi namanya saat media-media ramai memberitakannya wafat, 3 Oktober 2010. Pun begitu, generasi milenial setidaknya akan “berkenalan” dengannya lewat film bertema biopik olahraga, Susi Susanti: Love All garapan sineas Sim F. Di film yang akan tayang 24 Oktober 2019 itu, sosok Siregar diperankan Lukman Sardi.
Baca juga: Siregar Bikin Bendera Merah Putih Berkibar
Siregar merupakan sosok besar di balik sukses Susy Susanti dan Alan Budikusuma mempersembahkan dua medali emas pertama buat Indonesia di olimpiade (Barcelona, 1992). Sebelumnya sang teknokrat juga turut terlibat dalam sukses negeri di Asian Games 1962. Dalam bergulirnya zaman, ia juga tokoh di balik viralnya panji olahraga dan seruan: “Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat”.
Baca juga: Ketika Soeharto Melihat Atlet Tak Bersepatu
Di Garis Belakang
Tujuh belas hari sebelum Persija berdiri, Siregar dilahirkan di Kwitang, Jakarta pada 11 November 1928. Sebagai anak pegawai Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran Belanda, Siregar kecil menikmati pendidikan bermutu di Christelijke Idenburgh School.
Semasa bocah, Siregar menyenangi banyak olahraga. Sofbol, sepakbola, dan renang paling digandrunginya. Namun, kepada olahraga air itulah hati Siregar akhirnya berlabuh. Dia sering bolos sekolah Minggu hanya untuk memuaskan diri berenang bersama teman-temannya di Kanal Banjir Barat maupun di Pantai Zandvoort (kini Sampur, Cilincing).
Suatu ketika, ia nyaris kena petaka di lepas pantai itu. “Saya berenang agak ke tengah. Tiba-tiba sudah terbawa gelombang. Sebetulnya sudah tenggelam. Namun saya tidak panik. Saya injak-injak tanah saja, terus kan muncul. Lalu melambaikan tangan sampai ada yang menolong,” kenang Siregar, dikutip Brigitta Isworo Laksmi dan Primastuti Handayani, dua jurnalis senior yang merangkai biografi Siregar, Matahari Olahraga Indonesia.
Sebagaimana para tokoh di masanya, pendidikan Siregar sempat terganggu di masa peralihan dari kolonialis Belanda ke pemerintahan militer Jepang. Pendidikannya di Van Lith School selepas lulus dari Christelijke Idenburgh terhenti. Namun, statusnya sebagai “anak negeri” membuatnya bisa meneruskan pendidikan ke sekolah Jepang Dai Ichi/Dai Ni. Namun, ia tak bisa sering beraktivitas olahraga lantaran sebagai pelajar ia acap dikenakan kinrohoshi alias kerja bakti.
Pasca-Perang Dunia II, kawan-kawannya semasa di sekolah Belanda memilih ikut NICA (Nederlands Indisch Civil Administratie), sedangkan Siregar pilih pro-republik dengan jadi sukarelawan Palang Merah Indonesia (PMI). Pun begitu, Siregar tetap berhubungan baik dan turut mengambil faedahnya.
“Di usia sekitar 15 tahun saya dan banyak pemuda lain, di antaranya Chairil Anwar, bergabung dengan PMI. Kami pernah bertugas mengirim, secara ilegal, senjata dan obat-obatan ke Yogyakarta dari Jakarta dengan keretaapi. Bekerjasama dengan orang Ambon anggota NICA menyuplai senjata untuk pihak pribumi,” terang Siregar dalam Guru-Guru Keluhuran: Rekaman Monumental Mimpi Anak Tiga Zaman.
Siregar dan kawan-kawannya mendapatkan suplai obat-obatan dan persenjataan itu dari teman-teman lamanya yang memilih ikut NICA, terutama para serdadu Ambon di Batalyon X NICA di Pejambon. Barang-barang selundupan itu lazimnya mereka sembunyikan di sela-sela dinding gerbong. Cara itu kerapkali sukses mengelabui pemeriksaan Belanda di Stasiun Kranji.
Selain terus melanjutkan sekolahnya di SMA Adam Bachtiar, Siregar juga aktif di Ikatan Pemoeda Peladjar Indonesia (IPPI) Jakarta. Selain itu, dia aktif di Perkoempoelan Renang Tirta Kencana. Di perkumpulan renang itu selain kembali bisa menumpahkan hobi renangnya, Siregar dari rekan-rekannya bisa membuka pintu ke dunia militer.
Siregar pun mendaftar mobilisasi pelajar di Bandung. Setelah dilatih militer selama tiga bulan di Sumedang, Siregar lalu dijadikan komandan Corps Polisi Militer (CPM) Pelajar Batalyon III Divisi Siliwangi, di bawah Mayor Ruslan Rusli Soetama.
Baca juga: Lukisan Kehidupan Soenarto Pr
Namun sebagaimana kala jadi anggota PMI, Siregar hampir tak pernah terlibat baku tembak di front terdepan. Tugasnya lebih banyak di garis belakang. Pasukan Siliwangi di Jawa Barat jarang mengirim tentara pelajarnya ke palagan. Siregar lebih sering ditugaskan berpatroli ke wilayah-wilayah seperti Tangerang, Serang, dan Pandeglang.
Seusai revolusi, rampung pula pendidikan menengah atasnya. Saat demobilisasi tentara pelajar, Siregar memilih meneruskan sekolah ketimbang melanjutlan karier militer.
Di Balik Gelanggang
Sebagai “orang olahraga”, sayangnya Siregar tak punya rekam jejak istimewa sebagai atlet. Paling banter, ia mewakili kampusnya Akademi Pendidikan Djasmani (APD) Bandung di Pekan Olahraga Mahasiswa (POM) I di Yogyakarta, 1951.
Siregar tampil di dua cabang olahraga. Di sepakbola, ia bermain sebagai gelandang. Di atletik, ia berlaga di kategori lari 1.500 meter, 5.000 meter, dan 10.000 meter, serta 3.000 meter halang rintang.
Selepas lulus, ia memilih jalur di belakang gelanggang sebagai ofisial cabang renang dan polo air untuk Asian Games 1954 di Manila, Filipina. Siregar dipilih lantaran sudah malang-melintang mengajar pendidikan jasmani di beberapa kampus dan di Djawatan Angkatan Udara (TNI AU). Meski gagal memetik medali di renang, Siregar bisa berbangga timnya meraih perunggu. Di antara salah satu anggota timnya pun turut serta adiknya, Othman Siregar.
Menjelang Asian Games 1962 Jakarta, Siregar “naik kelas” menjadi pelatih kepala cabang renang, polo air, dan loncat indah. Pada persiapan pesta olahraga se-Asia itu pula ia berkesempatan bertatapmuka pertamkali dengan Presiden Sukarno.
“Menjelang Asian Games saya ditugasi jadi komandan upacara pengukuhan pelatnas kontingen Indonesia di Bandung. Itulah pertamakali berkesempatan bicara dengan Sukarno. Ketika masih di APD pada eksebisi senam akrobatik, hanya bisa menatap Bung Karno,” tutur Siregar.
Siregar sukses mengepalai cabang-cabang olahraga akuatik. Indonesia mendapat satu emas, empat perak, dan enam perunggu. Sukses itu mengantarkannya mendapat kesempatan tawaran pendidikan tinggi lanjutan di Springfield College, Massachusetts, Amerika Serikat berkat kerjasama RI-Amerika. Siregar mengambil program master jurusan Physical Education dan lulus pada 1964.
“Proses pengajaran di sana mengutamakan kepentingan dan kebutuhan manusia. Itu sangat cocok dengan visi Bung Karno yang berambisi menjadikan manusia Indonesia sebagai manusia yang unggul yang diharapkan bangsa ini,” imbuhnya.
Sekembalinya ke Tanah Air, Siregar balik mengurusi Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI) sebagai kabid pembinaan. Ia juga dipercaya Menteri Olahraga R. Maladi menjadi direktur Pembibitan dan Pembinaan Prestasi Direktorat Jenderal Olahraga.
Semasa Orde Baru, Siregar sudah menjabat Sekjen Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat. Dia jadi salah satu sosok paling dicari wartawan sehubungan dengan batalnya kontingen Indonesia berangkat ke Olimpiade Moskow 1980.
Oleh Menlu Mochtar Kusumaatmadja, Siregar hanya diperkenankan memberi alasan bahwa atlet-atlet Indonesia batal ke Negeri Tirai Besi lantaran persiapan PON 1981. “Selain pernyataan tersebut, saya hanya boleh menjawab ‘no comment’ untuk pertanyaan lain, apalagi yang menyangkut pemboikotan. Saya sampai keringat dingin,” ujar Siregar.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar