Revolusi Sepakbola Jepang
Jepang merevolusi sepakbolanya dengan berlandaskan kemauan untuk berproses. Kini PSSI ikut berguru padanya.
SAMBIL menyelam minum air. Mumpung masih di Jepang, Menteri BUMN Erick Thohir tak hanya ikut mendampingi Presiden Joko Widodo di KTT G7, ia selaku Ketua Umum PSSI juga bertemu petinggi sepakbola Jepang dalam rangka kerjasama dengan JFA (Japan Football Association, induk sepakbola Jepang).
Di luar ingar-bingar emas sepakbola SEA Games dan rencana FIFA matchday kontra Argentina, PSSI mengalihkan kiblat pengembangan sepakbola ke Negeri Sakura. Mengutip laman resmi PSSI, Senin (22/5/2023), Erick bersua Presiden JFA, Tashima Kohzo, di Prince Takamodo Memorial JFA YUME Field, Chiba, Jepang untuk menandantangani Memorandum of Understanding (MoU) kerjasama PSSI-JFA.
Namun apa saja yang dikerjasamakan tak dibeberkan, kecuali poin-poin yang jadi tujuan bersama. Di antaranya pengembangan sepakbola putri, peningkatan kualitas wasit, dan benchmarking manajemen liga.
“Ini adalah bagian dari pembangunan sepakbola Indonesia yang kita inginkan. Dengan liga yang berkualitas kita dapat menciptakan pemain dan tim nasional yang berkualitas juga,” ujarnya.
Baca juga: Lika-liku Blueprint PSSI
Patut ditunggu seperti apa dan bagaimana kerjasama baru PSSI-JFA ini direalisasikan. Semoga menelurkan hasil yang diharapkan, bukan sekadar bagian euforia medali emas SEA Games. Pasalnya dalam sembilan tahun terakhir saja tercatat sudah ada empat kali upaya kerjasama PSSI dengan empat negara berbeda yang berujung sekadar wacana. Setelah rencana kerjasama dengan KFA (induk sepakbola Korea Selatan) pada 2014, upaya dilanjutkan dengan penjajakan ke DFB (induk sepakbola Jerman) pada 2018, kerjasama dengan UAE FA (induk sepakbola Uni Emirat Arab) pada 2021, dan penjajakan kerjasama dengan KNVB (induk sepakbola Belanda). Poin-poin kerjasamanya pun nyaris satu “tema”, yakni pembinaan di usia muda demi melahirkan timnas yang berprestasi. Namun, progresnya tak kasat mata.
Terlepas dari kemudian Timnas Indonesia U-19 menjuarai Piala AFF U-19 pada 2013, Timnas U-22 juara Piala AFF U-22 2019, dan Timnas U-22 meraih emas SEA Games 2023, jalan pintas naturalisasi masih jadi langganan proyek pengembangan sepakbola tanah air. Tentu jangkanya pendek. Terbaru, PSSI menaturalisasi dua pemain Indo-Belanda pada 22 Mei 2023: Rafael Struick dan Ivan Jenner. Sebelumnya, ada nama Ilija Spasojević, Marc Klok, Sandy Walsh, Elkan Baggott, dan Jordi Amat yang mewarnai timnas senior. Padahal, banyak pihak meyakini naturalisasi pertanda gagalnya berbagai lini pembinaan di negeri sendiri.
Baca juga: Naturalisasi, Dulu dan Kini
Terinspirasi Jerman dan Peran Tom San
Orang Jepang dengan lidahnya menyebut permainan si kulit bundar kadang sakkā atau futtubōru. Keduanya muncul dari pengaruh bahasa Inggris: soccer/football. Kedua lema tersebut yang saat ini dipakai Nippon Sakkā Kyōkai alias JFA.
Tetapi ketika sepakbola modern baru diperkenalkan perwira Angkatan Laut Inggris, Mayor Archibald Lucius Douglas, di Kaigun Heigakuryō (akademi AL Jepang) di Tsukiji pada medio 1873, orang-orang lokal menyebutnya shūkyū yang secara harfiah berarti “bola tendang”. Penyebutan sakkā atau futtubōru baru berkembang pasca-Perang Dunia II akibat besarnya pengaruh Inggris dan Amerika Serikat dengan pangkalan-pangkalan militernya. Akibatnya, pada awalnya perkumpulan-perkumpulan olahraga di Jepang berisi para diaspora Eropa, seperti Yokohama Country & Athletic Club dan Kobe Regatta & Athletic Club pada 1888.
Perkumpulan amatir lokal Jepang pertama, Tokyo Shukyu-dan, baru berdiri pada medio 1917. Seiringnya, bertumbuhan klub-klub olahraga modern di berbagai akademi.
“Hingga Periode Taishō (1912-1926), olahraga-olahraga modern mulanya terbatas di sekolah-sekolah tinggi. Sekolah-sekolah tingkat umum baru mulai berminat hingga menumbuhkan rivalitas antarsekolah di awal 1920-an. Sepakbola salah satu yang diperkenalkan Archibald Douglas di akademi AL Tsukiji dalam rangka festival olahraga tingkat sekolah pada Maret 1873,” ungkap Wolfram Manzreiter dalam Sport and Body Politics in Japan.
Baca juga: Saatnya Belajar dari Sepakbola Jepang
Pasca-Perang Dunia II, sedikit demi sedikit Jepang yang hancur dibom atom, bangkit. Bukan hanya pendidikan dan industrinya, tapi juga sepakbolanya. Di era 1990-an, Timnas senior putra Jepang pun menjadi “Macan Asia” sesungguhnya. Tim “Samurai Blue” (julukan Timnas Jepang) sudah empat kali menjuarai Piala Asia (1992, 2000, 2004, 2011). Lalu, sejak 1998 Jepang lagi langganan peserta Piala Dunia. Sementara, Timnas U-23 Jepang berhasil meraih medali emas Asian Games 2010, Piala Asia U-23 2016, dan dua kali jadi semifinalis olimpiade (2012 dan 2020).
JFA juga tidak setengah hati mengurusi sepakbola putrinya. Tim Nadeshiko (julukan timnas putri Jepang) sudah mulai dikembangkan sejak 1970-an. Prestasinya pun bukan kaleng-kaleng: medali emas Asian Games (2010, 2018), juara Piala Dunia Wanita 2011, serta dua kali jadi kampiun Piala Asia Wanita di 2014 dan 2018.
Jepang meraih semua itu tanpa Bandung Bondowoso alias kerja semalam. Semua dirintis sejak nol. Dari mulai membuat road map dan kemauan keras untuk menggulirkannya lewat aneka program jangka panjang. Cakupannya pun semua lini, dari pengembangan sepakbola akar rumput, pemain usia dini dan pelatih, hingga mengurusi liga dengan sungguh-sungguh.
Baca juga: Sepakbola Kaum Hawa Merentang Masa
Perkembangan metode pembinaannya pun dinamis mengikuti arus zaman. Hasilnya, Jepang bisa berlari cepat meninggalkan negara-negara Asia lain, termasuk Indonesia yang melulu direcoki urusan dapurnya.
Kemauan belajar bangsa Jepang membawa mereka mau jauh-jauh belajar ke Duisburg, Jerman Barat pada 1960-1963 jelang Olimpiade Tokyo 1964. Jepang terinspirasi oleh kesuksesan Jerman Barat yang menjuarai Piala Dunia 1954.
Di Duisburg, tim pelatih dan pemain Jepang belajar dengan bimbingan langsung Dettmar Cramer, asisten pelatih Timnas Jerman Barat. Sosok tersebut juga ikut mengurusi Timnas Jepang sebagai penasihat teknis di Olimpiade 1964.
Baca juga: Selayang Pandang Tim Gajah Perang
Tetapi itu diyakini belum cukup. Jepang pun belajar bahwa untuk membangun timnas yang kuat, diperlukan liga yang sehat. Maka setahun pasca-olimpiade, dibuatlah kompetisi amatir Japan Soccer League (JSL).
Memasuki dekade 1980-an, JFA melihat prestasi timnas Jepang pada 1970-an berjalan lambat. Diperlukan pembaruan kompetisi sebagai fondasi timnas ke depan. Oleh karenanya, Presiden JFA Mori Kenji dan komisi eksekutifnya menggodok rencana meningkatkan level kompetisi menjadi semi-profesional pada 1987.
Setelah mencari banyak inspirasi kompetisi negara-negara yang sepakbolanya sudah maju –salah satunya Galatama yang sejak 1979 sudah profesional, JFA sukses mengajak banyak perusahaan untuk turut serta “merformasi” JSL menjadi semi-profesional pada 1988. Maka JSL diisi klub-klub peserta dengan embel-embel nama perusahaan, di antaranya Mazda SC (kini Sanfrecce Hiroshima), Mitsubishi Urawa FC (kini Urawa Red Diamonds), Nissan Motors (kini Yokohama F. Marinos), Matsushita (kini Gamba Osaka), dan Hitachi FC (kini Kashiwa Reysol).
“Semi profesional karena pemain klubnya, misalnya Matsushita, ya pemainnya diambil dari pegawai Matsushita yang memang kerjaannya cuman main bola, bukan orang luar yang memang dikontrak karena skill-nya,” tutur legenda sepakbola Indonesia, (alm.) Ricky Yacobi, kepada Historia, medio Juli 2017.
Baca juga: Gol Terakhir Ricky Yacobi
Kendati semi-pro, banyak pemain pro luar negeri yang dikontrak klub-klub JSL. Selain Salvatore “Toto” Schilacci –striker Italia yang jadi topskor Piala Dunia 1990– dan Pierre Litbarsky yang ikut mengantarkan Jerman Barat menjuarai Piala Dunia yang sama, ada juga striker Indonesia Ricky Yacobi. Mantan striker Arseto Solo itu tampil di JSL bersama Matsushita Electric. Ia menjadi pesepakbola Indonesia pertama yang merumput di Jepang.
Klimaks dari pengembangan liga oleh JFA terjadi pada 1996, ketika JSL berubah menjadi J League yang sepenuhnya profesional. Menurut Stefan Bienkowski dalam “German Bundesliga, Japanese Football Share Mutually Beneficial Relationship” yang dimuat di Bleacher Report, 23 Juni 2013, konsep sederhananya meniru kompetisi Eropa, utamanya Bundesliga, di mana JFA terlibat langsung menyebar klub-klubnya tidak lagi berbasis perusahaan melainkan berdasarkan prefektur. Tujuannya demi memperluas pembinaan sepakbola di setiap wilayahnya.
Sejurus dengan berprosesnya manajemen liga, di sektor pembinaan, Jepang sangat terbantu peran eks-legiun asing asal Amerika yang sempat berkarier di JSL bersama tim Hitachi, Tom Byer. Sosok yang kemudian akrab disapa “Tom San” itu sudah mulai menggagas sejumlah program coaching clinic untuk usia dini sejak 1989.
Baca juga: Qatar di Gelanggang Sepakbola
Saat diwawancara Harmit Kamboe di kolom “Sportskeeda”, “Interview with Tom Byer: Champion of Japan Youth Football”, 26 Januari 2012, Byer menguraikan bahwa awalnya ia memulai sendiri program-program itu tanpa kerjasama dengan JFA. Tentu dengan latar belakang ekonomi pula, di mana seiring berjalannya waktu Byer memanfaatkan “demam sepakbola” lantaran hadirnya para bintang sepakbola dunia yang di usia senja menyemarakkan kompetisi Jepang, seperti Zico (Sumitomo Metals, 1991-1994), Gary Lineker (Nagoya Grampus, 1992-1994), dan Carlos Dunga (Júbilo Iwata, 1995-1998).
“Setelah pensiun bersama Hitachi FC, saya menetap di Jepang. Sepakbolanya berkembang tapi fasilitas kepelatihannya masih memprihatinkan. Jadi saya ingin membuat perbedaan dengan (usia) anak-anak. Saya mencetuskan ide National Clinic Program ke Nestle Jepang. JFA belum mendukung di awal-awal fase. Baru setelah kami menjadi sebuah bisnis yang besar, mereka tak lagi bisa mengabaikan keberadaan kami hinga kemudian kami diminta membina staf pelatih JFA dalam hal teknik,” tutur Byer.
Yang diajarkan Byer memang bukan hal baru. Byer mengadaptasi metode-metode latihan teknik milik Wiel Coerver, teknokrat sepakbola Belanda yang sempat melatih Timnas Indonesia dan membina Diklat Salatiga pada 1975-1976. Byer mempraktikkannya ke anak-anak usia 10-12 tahun dengan program khusus, bukan sekadar menyuruh anak-anak memainkan game.
“Tom Byer sangat berjasa memajukan sepakbola di Jepang. Karena Tom Byer terkenal dengan pembinaan usia muda yang fokus ke anak-anak di bawah 12 tahun. Dia menggunakan lapangan-lapangan futsal dan dia fokus ke teknik, teknik, dan teknik. Jadi itu juga suatu hal yang sangat menyedihkan bahwa itu kemudian terjadi di Jepang, revolusi itu terjadi di Jepang dan kemudian memajukan Jepang sedemikian rupa padahal Wiel Coerver-nya yang menjadi menjadi landasan latihan-latihan teknik ini sebelumnya melatih Indonesia,” ujar pengamat sepakbola Timo Scheunemann saat dihubungi Historia pada kesempatan berbeda.
Bagi Byer, selain fisik dan mental, aspek teknik juga sangat berpengaruh di lapangan. Teknik-teknik seperti kontrol bola dan passing sebagai fondasi skema menyerang yang kolektif, dipadukan kecepatan dan finishing yang cermat, diramu Byer menjadi sebuah konsep yang ia namakan “Coerver Method”.
“Wiel Coerver sering melakukan latihan semacam ini (passing & receiving activation) dengan anak-anak umur 10 tahun sejak 40 tahun lalu tapi metodenya tak ditertawakan banyak orang. Lucunya latihan seperti itu sekarang dianggap latihan yang bagus, di mana seharusnya sudah dari dulu,” kata Byer di akun Twitter-nya, @tomsan106, 16 September 2021.
Shinji Kagawa jadi satu dari bekas anak asuh program Byer yang kemudian bersinar di kompetisi top Eropa bersama Borussia Dortmund (2010-2012) dan Manchester United (2012-2014). Sementara, Keisuke Honda yang pernah berseragam CSKA Moskow (2010-2013) dan AC Milan (2014-2017) jadi salah satu murid tidak langsung Byer. Honda yang kini membesut Timnas Kamboja, tumbuh menyaksikan program-program Byer di televisi.
Selain di lapangan, Byer gencar mempromosikan program sepakbola usia dininya di layar kaca lewat program “Oha Suta” mulai 1998. Di program acara televisi anak-anak nomor satu di Jepang itu, Byer hampir setiap hari menampilkan teknik-teknik yang bisa dipelajari anak-anak selama 13 tahun berikutnya.
Perlahan tapi pasti, animo anak-anak Jepang terhadap sepakbola pun makin meningkat menyaingi bisbol. Efeknya, makin banyak pula yang mengasah diri lagi di berbagai akademi dan kemudian tampil di J League yang sudah profesional.
Alhasil, timnas Jepang pun makin kuat dan makin banyak pula tim-tim top Eropa yang kepincut bakat-bakat Jepang hingga sekarang. Buktinya dari komposisi Timnas Jepang saat ini (per Maret 2023), 18 pemainnya tersebar di klub-klub top Eropa.
Baca juga: Kenapa Sepakbola Indonesia Kalah Melulu?
Tambahkan komentar
Belum ada komentar