Selayang Pandang Tim Gajah Perang
Kendati gagal menuntaskan puasa medali emas, Thailand tetap jadi tim yang paling disegani di kawasan.
KENDATI sudah berusaha tampil spartan, ternyata Tim Nasional (Timnas) Thailand U-22 belum cukup membendung kedigdayaan Timnas Indonesia U-22 di final cabang sepakbola SEA Games 2023 yang dimainkan di Olympic Stadium, Phnom Penh, Kamboja, Selasa (16/5/2023) malam. Tim besutan Issara Sritaro itu frustrasi hingga memprovokasi yang menghasilkan tawuran antarkubu.
Rasa frustrasi Jonathan Khemdee dkk. mungkin bisa dimaklumi. Setelah kecolongan lewat gol Muhammad Ramadhan Sananta di menit ke-20, tim berjuluk “Changsuek” atau “Gajah Perang” itu sempat tak terima gol kedua Sananta di menit 45+5 karena menganggap gol tersebut kontroversi.
Kendati begitu, asa Thailand mencuat lagi di menit ke-65 usai Anan Yodsangwal memperkecil kedudukan, 1-2. Tensi pun makin memanas menjelang babak kedua berakhir. Arsitek tim Garuda Nusantara Indra Sjafri sempat keliru mendengar peluit wasit Kassem Matar al-Hatmi asal Oman yang disangkanya peluit panjang hingga melakoni selebrasi namun nyatanya sekadar peluit pelanggaran. Menolak terpancing emosi, tim Thailand pun melanjutkan laga. Tepat di menit 90+7, Yotsakorn Burapha memanfaatkan celah pertahanan Indonesia dan menyamakan skor, 2-2. Perpanjangan waktu pun digelar wasit.
Sejurus gol penyama kedudukan itulah insiden yang disesali terjadi. Sejumlah ofisial dan pemain Thailand balas melakoni selebrasi yang cenderung memprovokasi bench Indonesia. Perkelahian pun tak terelakkan. Manajer Indonesia U-22 Kombes Pol Sumardji yang berniat melerai malah jadi korban pemukulan.
Baca juga: Medali Emas SEA Games 32 Tahun Lalu
Sejumlah kartu merah pun keluar dari saku wasit Al-Hatmi untuk beberapa ofisial dan pemain kedua kubu. Selain kiper Thailand Soponwit Rakyart, bek Indonesia Komang Teguh juga dapat. Di masa perpanjangan waktu, Thailand kehilangan Khemdee yang mendapat kartu merah atas pelanggaran kerasnya. Tak ayal sembilan punggawa Thailand harus menyerah dari sepuluh pemain Indonesia dengan skor akhir 5-2.
Bagi Indonesia, ini raihan emas sepakbola SEA Games pertama setelah 32 tahun. Sementara, Thailand U-22 sudah enam tahun puasa medali emas. Emas terakhir mereka petik di SEA Games Malaysia 2017.
FA Thailand atau induk sepakbola Thailand marah besar. Bukan soal raihan medali perak namun insiden perkelahiannya. Selain meminta maaf, FA Thailand sudah menyiapkan hukuman buat tim karena dianggap sudah mencederai nama besar sepakbola Thailand yang sudah merajai Asia Tenggara sejak era 1990-an.
“Kami akan melakukan investigasi dan akan ada hukuman berat bagi mereka yang terbukti jadi penyebab insiden tersebut. Asosiasi siap menerima segala saran untuk meningkatkan performa dan mencegah insiden ini terulang kembali,” demikian pernyataan FA Thailand, dikutip The Nation Thailand, Rabu (17/5/2023).
Baca juga: Medali yang Dirindukan Tim Garuda
Dukungan Raja untuk menjadi Raja
Di level Asia Tenggara, Thailand adalah rival abadi yang acap jadi batu sandungan bagi Indonesia. Menilik catatan di SEA Games –terlepas yang tampil sejak 2001 merupakan skuad U-23/U-22 menggantikan tim senior, Thailand acap jadi langganan juara. Semenjak inaugurasi SEA Games pada 1959, sudah 16 kali Thailand memetik emas. Indonesia baru tiga kali.
Di Piala Tiger atau Piala AFF lebih parah lagi. Tim Garuda sama sekali belum pernah mencicipi gelar juaranya, sedangkan Thailand sudah tujuh kali merebut mahkota juaranya sedari perhelatan pertama pada 1996.
Sejak era 1990-an, Thailand mendominasi sepakbola di kawasan ASEAN dan jadi pesaing berat Indonesia. Ketika Vietnam menambah rumit persaingan di kawasan, Thailand tetap mampu mempertahankan reputasinya. Sementara, Indonesia jalan di tempat.
Baca juga: Roman Sepakbola Negeri Jiran
Ada dua dari sejumlah faktor yang membuat sepakbola “Negeri Gajah Putih” maju. Pertama, kemauan untuk menjalankan proses panjang dari akar rumput. Kedua, dukungan dari sang raja dari masa ke masa. Dua faktor ini sudah mulai dipupuk sedari permainan si kulit bundar itu merambah ke Negeri Siam di akhir abad ke-19.
Menurut Worachat Meechupota dalam artikelnya di laman Vajiravudh, “Leave a Story to the Children: Siam National Football Club”, sepakbola dibawa masuk oleh para pelajar Siam (sebutan lama Thailand) yang pulang dari Inggris medio 1896. Permainan yang disebut “Mak Kick” itu pun menyebar di kalangan pelajar, lingkungan pegawai, hingga pejabat kerajaan.
Pertandingan sepakbola resmi pertama dengan aturan modern khas Inggris di Thailand tercatat terjadi pada 2 Maret 1900 di Sanam Luang atas restu Rama VI atau Raja Vajiravudh. Lokasi itu merupakan alun-alun yang membentang di antara kompleks Istana Phra Borom Maha Ratcha Wang (istana raja) dan Istana Phraratchawang Bowon Sathanmongkhon (istana putra mahkota) di ibukota Krung Thep Maha Nakhon (kini Bangkok).
Dua tim yang berduel saat itu adalah Bangkok Team yang berisi ekspatriat Inggris melawan Tim Kementerian Pendidikan Siam. Laga itu berakhir dengan skor sama kuat, 2-2.
Baca juga: Serumpun yang Berseteru di Lapangan
Setahun berselang, Kementerian Pendidikan Siam menggalang turnamen antarpelajar U-20 untuk lebih menanamkan banyak nilai olahraga dan kedisiplinan sepakbola ke kalangan anak muda. Hasilnya, beberapa klub amatir pertama yang lahir adalah tim dari lingkup sekolah. Di antaranya Samakayachan Association dan Samakayanchan Club di SMA Ratchaburana pada 1905.
Perkembangan sepakbola Thailand tak hanya didukung anggota kerajaan tapi juga para gubernur di masing-masing provinsi. Salah satunya di Sekolah Yupparaj Wittayalai di Provinsi Payap (kini Provinsi Chiang Mai).
“Komisi Dharma datang untuk menginspeksi sekolah berikut membawa pesan hari ini…untuk membeli bola agar para pelajar dan guru bisa memainkannya seharga 10 baht per bola. Gubernur juga akan menyumbangkan dua kali gajinya,” ungkap Meechupota yang mengutip catatan “Yupparaj Wittayalai School Note Book with the Teacher Training School”, 16 Mei 1912.
Endorse sang raja terhadap perkembangan sepakbola amat luas. Mulai dari sokongan terhadap turnamen pertama di Siam pada 1915, The Royal Golden Trophy, dan pendirian induk sepakbolanya –kelak menjadi FA Thailand– pada 1916. Raja Vajiravudh kemudian turut mendukung pembentukan tim nasionalnya pada 1915.
“Tim nasional Siam sudah memainkan laga non-resmi mereka melawan sebuah tim gabungan orang Eropa pada 20 Desember 1915. Sedangkan laga resmi internasionalnya baru mereka mainkan medio 1930 melawan tim nasional Indocina (kini Vietnam) yang diperkuat para pemain Vietnam Selatan dan Prancis,” ungkap Kenneth Perry Landon dalam Siam in Transistion: A Brief Survey of Cultural Trends in the Five Years Since the Revolution of 1932.
Baca juga: Menggocek Sejarah Sepakbola Vietnam
Saat itu, kalangan militer belum diperbolehkan memainkan sepakbola. Di masa Raja Vajiravudh, angkatan perang Siam begitu kental meniru konsep militer Kekaisaran Jerman. Dan seperti halnya di Inggris, orang-orang Jerman menganggap sepakbola bukan olahraga kelas bangsawan. Para perwira dan prajurit Siam lebih sering memainkan polo dan kriket ketimbang sepakbola.
Namun, di kalangan prajurit rendahan sepakbola ibarat air yang bisa mengalir ke banyak celah sempit. Animo sepakbola lama-lama tak terbendung. Pada 1920-an, terutama usai masuknya pengaruh militer Inggris pasca-Perang Dunia I, Raja Vajiravudh merestui sepakbola hadir di tengah-tengah militer kerajaan. Tim-tim sepakbola mulai banyak terbentuk di setiap kesatuan pendidikan kadet angkatan laut (AL) dan angkatan darat (AD).
“Saya senang dengan permainan Inggris ini dan semoga bisa terus menyebar lebih luas. Mungkin karena saya mengenyam pendidikan di Inggris walaupun saya berharap Anda semua tak berpikir ini satu-satunya alasan. Saya ingin Anda semua sepakat bahwa sepakbola akan sangat berguna bagi masyarakat. Kita harus saling membantu membuat olahraga yang didemonstrasikan Inggris ini bisa lestari di Siam,” kata sang raja dikutip Walter Francis Vella dalam Chaiyo! King Vajiravudh and the Development of Thai Nationalism.
Tim sepakbola militer dan kepolisian pun mulai bisa turut serta dalam turnamen The Royal Golden Trophy yang sudah digulirkan sejak 1915 dan masuk ke FA Thailand, yang kemudian mengajukan diri menjadi anggota FIFA dan diterima pada 1925.
Sayangnya, turnamen itu dihapuskan kelompok anti-imperialis Khana Ratsadon pasca-Kudeta Revolusi Siam 1932. Baru dua tahun kemudian turnamen tersebut dihidupkan kembali dengan nama DPE Students Cup yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan Olahraga.
Perlahan tapi pasti, sepakbola Thailand terus maju. Di era 1950-an, timnas Thailand sudah mulai unjuk gigi di Olimpiade Melbourne 1956. Namun kala itu beda nasib dengan Indonesia. Di olimpiade itu, Indonesia mulai jadi buah bibir karena sempat menahan imbang Uni Soviet tanpa gol, sementara Thailand dihajar Inggris, 0-9.
Baca juga: Serumpun yang Berseteru di Lapangan
Tetapi dari kekalahan terbesar itu, Thailand punya kemauan untuk berubah dan percaya pada proses dalam pengembangan sepakbolanya. FA Thailand mau meniru banyak proses pembinaan usia muda, pembangunan infrastruktur, dan pelibatan sektor swasta sebagaimana di Eropa.
Soal infrastruktur, misalnya. Stadion Supachalasai yang sudah berdiri sejak 1938 dijadikan pusat pengembangan sepakbola Thailand. Darinya kelak lahir sederetan pemain berbakat yang mendulang prestasi di level senior. Antara lain tujuh raihan emas SEA Games (1965, 1975, 1981-1985, 1993-1995), bahkan di saat Thailand belum punya liga profesional.
Sebelum Thai League terbentuk pada 1996, sepakbola Thailand senantiasa disemarakkan kompetisi berformat turnamen. Baru setelah pelibatan sektor swasta, FA Thailand menggulirkan liga profesional pertamanya, Thailand Soccer League (kini Thai League).
Pemerhati sepakbola Gian Chansrichawla dalam ulasannya di Thailand Now, “How Football Stadiums Changed the Game in Thailand” mengungkapkan, pemerintah mendorong sejumlah perusahaan pelat merah dan berbagai bank untuk tidak hanya turut serta berinvestasi tapi juga menjadi pemilik klub. Hasilnya, di inagurasi Thai League 1996 banyak diikuti tim pro seperti Thai Farmers Bank, TOT, The Stock Exchange of Thailand, dan Bangkok Bank.
Selaras dengan itu, fondasi timnas senior yang dibangun sejak 1994 pun makin kokoh meski pelatih kepalanya datang dan pergi. Dua tahun berselang, “Dream Team” timnas Thailand pun terbentuk. Skuad Thailand berisi antara lain “Zico-nya Thailand, Kiatisuk Senamuang; Tawan Sripan; Dusit Chalermsan; Worrawoot Srimaka; dan Therdsak Chaiman.
Berbagai program “grass root” dan konsep akademi juga serius dijalankan FA Thailand bekerjasama dengan sejumlah klub profesional Inggris. Satu di antaranya EPA Football Academy Bangkok yang turut disokong West Ham United Foundation. Maka bukan hal mengherankan bila hingga saat ini Thailand masih jadi tim paling disegani sebagai “Rajanya Asia Tenggara”.
Baca juga: Kenapa Sepakbola Indonesia Kalah Melulu?
Tambahkan komentar
Belum ada komentar