Dari Kota Satria ke Formosa
Meretas karier di tanah air, Fung Permadi sukses di negeri orang.
GOR PB Djarum di bilangan Slipi, Jakarta Barat siang, 25 Oktober 2018, itu tengah sepi. Di pojok sejumlah lapangan bulutangkisnya terdapat sebuah ruangan kecil yang hanya berisi tiga meja dan kursi namun penuh arsip dan dokumen administratif. Di ruangan itulah Historia menanti salah satu maestro bulutangkis 1990-an Fung Permadi.
Fung akhirnya datang 5-10 menit kemudian. Mengenakan batik biru dengan jaket hitam bercorak kuning, pria ramah itu menebar senyum. Sapa hangat pria kurus yang rambutnya sudah memutih itu mengiringi jabat tangan.
Sejak 2007, Fung dipercaya PB Djarum jadi kepala pelatih. PB Djarum juga menjadi induk semang karier bulutangkis pria bernama asli Chen Feng itu.
Fung mengakui, bulutangkis mulanya sekadar jadi penyaluran hobi pada masa kecilnya di Kota Satria, julukan Kota Purwokerto, Jawa Tengah. “Tidak ada dari keluarga saya yang senang olahraga, tidak ada juga darah bulutangkis. Hanya memang saya waktu kecil diperkenalkan bulutangkis dari tante saya. Hanya untuk penyaluran (kegiatan/hobi) saja,” tutur pria kelahiran Purwokerto, 30 Desember 1968 itu kepada Historia.
Baca juga: Sepuluh Keluarga di Arena Bulutangkis (Bagian I)
Seperti kebanyakan anak-anak usia 12 tahun di Purwokerto, Fung kecil menggemari sepakbola. “Ya biasa main bola di jalanan sehabis sekolah,” ujarnya. Selain itu, dia juga hobi nonton tinju. “Hampir selalu juga kalau ada tayangan tinju Muhammad Ali di TV, sering bolos sekolah malah.”
Namun, hobi-hobinya itu diprotes keluarga. “Pulangnya malam terus. Lalu disarankan tante saya, Marisa, untuk coba bulutangkis. Dari coba-coba itu akhirnya saya memutuskan untuk lebih serius dengan bulutangkis dengan ikut sebuah klub,” lanjutnya.
Di usia SMA, Fung menjuarai bebeapa kejuaraan lokal. Dari situlah Fung mulai kenal dengan beberapa pelatih PB Djarum. Ketertarikannya untuk masuk PB Djarum juga terdorong oleh beberapa rekan seangkatannya di klub asalnya.
“Ada beberapa teman angkatan saya, dua-tiga orang, sudah masuk PB Djarum duluan. Lalu saya juga menyusul, mengajukan diri. Sempat ikut tes dulu dalam sebuah kejuaraan di Solo, setelah itu baru diterima di PB Djarum pada September 1983,” kenangnya.
Pengalaman berbeda dirasakan Fung setelah masuk PB Djarum, yang mengharuskannya beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan baru di asramanya di Kudus. “Di PB Djarum fasilitasnya sudah lebih mendukung, lebih lengkap dari klub asal saya di Purwokerto. Selain asrama, pelatih-pelatihnya juga sudah banyak menelurkan pemain-pemain Indonesia yang berprestasi di tingkat internasional, seperti Liem Swie King, Hastomo Arbi, Hadi Bowo Susanto,” kata Fung menambahkan.
Selain bebas iuran, di PB Djarum pendidikan Fung juga dijamin. “Untuk sekolah, kita disekolahkan di SMA Keluarga Kudus yang letaknya dekat dengan asrama. Jadi jam 7 pagi sekolah sampai jam 1 siang. Lalu jam 3 sore latihan fisik sampai jam 5. Besoknya sekolah lagi dan begitu saja rutinitasnya. Sabtu hanya latihan fisik, Minggu baru libur.”
Namun, jauh dari orangtua membuat Fung acap didera homesickness. “Kangen keluarga pasti. Saya hanya bisa pulang kalau ada jeda pertandingan panjang dan libur sekolah,” ujarnya. Namun, itu hanya satu dari sekian hambatan yang mesti dilalui Fung sebagai konsekuensi memilih bulutangkis sebagai jalan hidupnya.
Hijrah ke Formosa
Karier Fung di tunggal putra perlahan menanjak. Pada 1986, Fung ditarik ke Pelatnas. Tiga tahun kemudian, Fung menjuarai tiga kejuaraan internasional: Canadian Open, Polish Open, dan German Open. Fung pun dipercaya menjadi bagian skuad Thomas Cup 1990, di mana Indonesia harus puas sebagai semifinalis. Dia kemudian menjuarai Swiss Open tahun 1993.
Namun, pada 1995, Fung hijrah ke Pulau Formosa, pulau utama Republic of China atau sohor disebut Taiwan. Alasannya, Fung kurang mendapat kesempatan tampil di kejuaraan mancanegara sebagai atlet pelatnas. Fung tersisih dari sejumlah bintang bulutangkis Indonesia lain macam Alan Budikusuma, Joko Supriyanto, Ardi B. Wiranata, dan Hariyanto Arbi.
Mulanya, Fung ingin ke Australia, tapi kesulitan cari sponsor. Dia lantas memutuskan ke Taipei sembari menjenguk ibunya. Beruntung dia bisa bergabung ke sebuah bank yang mendirikan sebuah klub. Hal itu membuat Fung jadi satu dari sedikit pebulutangkis paling awal yang kariernya bermain untuk dua negara –Indonesia dan Taiwan. Langkah Fung kemudian diikuti antara lain oleh Tong Sinfu (Indonesia, China), Mia Audina (Indonesia, Belanda), dan Tony Gunawan (Indonesia, Amerika Serikat).
Mengutip situs BWF (Federasi Bulutangkis Dunia), Fung bertarung di bawah panji China Taipei/Taiwan sejak 1995 hingga 2002. Tidak hanya di berbagai kejuaraan terbuka, tetapi juga Olimpiade (2000) dan Asian Games (2002).
“Makanya sebenarnya ketimbang di sini, nama saya lebih dikenal di sana (China Taipei). Karena 10 tahun lebih saya di sana jadi pemain sampai pensiun,” kata Fung.
Baca juga: Kala Mia Audina Terpaksa Mendua
Sebagai pemain China Taipei, Fung lebih bergelimang gelar juara. Dia menjuarai Hong Kong Open 1996, Chinese Open 1996, Korea Open 1999, Chinese Taipei Open 1999, dan Swiss Open 1999. Namun, kata Fung, “Buat saya yang tertinggi adalah menjadi finalis Kejuaraan Dunia 1999. Di final saya kalah dari pemain China Sun Jun.”
Fung menutup kariernya pada 2005. Hingga setahun setelah pensiunnya, dia jadi pelatih tunggal putra China Taipei. Pada 2007, Fung kembali ke Indonesia untuk menjadi pelatih kepala PB Djarum.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar