Sepuluh Keluarga di Arena Bulutangkis (Bagian II – Habis)
Bulutangkis sudah mendarah daging di Indonesia. Banyak prestasi lahir dari para pebulutangkis bersaudara.
SEJAK 1950-an sampai kini, bulutangkis masih jadi olahraga paling mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia. Kontinuitas prestasi yang tercetak tak hanya berkat pembinaan, melainkan juga karena garis keturunan dari orangtua ke anak ataupun dari kakak ke adik.
Tak heran bila dalam bulutangkis, sebagaimana dalam sepakbola, terdapat banyak pemain satu darah yang acap menghasilkan prestasi di era berbeda. Setidaknya ada 10 yang tercatat mendirikan “dinasti” bulutangkis, lima di antaranya sudah diuraikan di bagian pertama. Berikut lima keluarga bulutangkis lainnya:
Keluarga Pongoh
Kendati memiliki postur yang gempal dan terbilang pendek untuk ukuran pebulutangkis, Lius Pongoh memiliki daya juang luar biasa. Ke manapun bola diarahkan lawan, Lius tak pernah putus asa mengejar. Alhasil, dia dijuluki “si Bola Karet”.
Pemain langganan Pelatnas PBSI era 1980-an dan dua kali ikut tim Thomas Cup (1982 dan 1986) itu kerap menjuarai turnamen terbuka di luar negeri. Walau begitu, Lius merasa momen paling dikenangnya adalah Indonesia Open 1984. Dia menjuarai event itu meski sedang kehilangan orang yang dikasihinya, Kartin, sang ibunda tercinta.
Baca juga: Hadiah Juara untuk Mama
Lius adalah anak sulung dari empat bersaudara. Putra pasangan Darius Pongoh dan Kartin kelahiran 3 Desember 1960 itu tertular bulutangkis dari ayahnya yang juga pebulutangkis. Namun, tak banyak info tentang karier bulutangkis Darius. Nama Darius lebih banyak dikenal sebagai pencetak para pemain juara, saat jadi pelatih PB 56, PB Tangkas, dan kemudian PB Djarum.
Darius pula yang pertama menggembleng bakat bulutangkis Lius, sejak usia Lius lima tahun. Tapi setelah itu Darius tak pernah lagi melatih Lius yang kemudian bergabung dengan PB Anggara dan PB Garuda Jaya. “Dari Garuda Jaya ke PB Tangkas. Ayah saya melatih di PB Djarum di GOR Petamburan,” ujar Lius kepada Historia.
Selain Lius, anak Darius yang lain, Elen Pongoh, juga berkiprah di bulutangkis. Tapi Elen hanya sampai level nasional. Prestasi tertinggi Elen adalah runner-up Indonesia Open Junior 1983.
Keluarga Arbi
Kiri ke kanan: Hariyanto Arbi, Hastomo Arbi & Eddy Hartono (Foto: Dok. Hariyanto Arbi)
Kota Kudus, Jawa Tengah sejak 1970-an hingga 1990-an melahirkan keluarga bulutangkis dengan beragam prestasi mentereng. Prestasi kaliber dunia lahir dari tiga bersaudara: Hastomo Arbi, Eddy Hartono, dan Hariyanto Arbi. Ketiganya putra kebanggaan pasangan Arbi (Ang Tjin Bik) dan Sri Hastuti (Goei Giok Nio).
“Ayah saya dulu langganan juara di Kudus. Paman-paman saya juga pemain semua. Jadi kami lahir dari keluarga pemain. Dari orangtua juga kita dikenalkan bulutangkis. Saya dari kecil sudah sering diadu sama teman-temannya ayah saya,” kenang Hastomo saat ditemui Historia di GOR Jati, Kudus, medio Desember 2018.
Capaian prestasi tertinggi Hastomo, yang spesialis tunggal putra, adalah ketika menjadi pahlawan perebutan Thomas Cup 1984. Sementara, sang adik Eddy Hartono yang spesialis ganda putra dan campuran, selain juara All England 1992 juga turut merebut medali perak Olimpiade Barcelona 1992 bersama duetnya, Rudy Gunawan.
Namun, pamor keduanya kalah dari sang adik Hariyanto Arbi. Pemain berjuluk “Smash 100 Watt” itu merupakan juara All England 1993 dan 1994, juara dunia 1995, dan ikut memperkuat tim Indonesia merebut Thomas Cup 1994, 1996, 1998, dan 2000.
Hariyanto lebih mengidolakan Liem Swie King ketimbang dua kakaknya. “Idola saya Om Swie King. Tapi memang inspirasi smash itu selain dari Liem Swie King juga dari Hastomo. Kalau sama Eddy, beda usia saya juga jauh ya. Waktu saya masih di (PB Djarum) Kudus, dia sudah di Pelatnas PBSI. Tapi Eddy sering kasih masukan, terlebih setelah dia sering bertanding ke luar negeri. Sering kasih pengetahuan tentang perkembangan bulutangkis di mancanegara,” kata Hariyanto kala ditemui Historia di Kebayoran Baru, Jakarta, 8 Januari 2019.
Selain ketiganya, Keluarga Arbi masih memiliki jagoan lain kendati prestasinya tak moncer, yakni Eddy Purnomo. Dia masih berhubungan sepupu dengan ketiganya. Ibu dari Eddy Purnomo adalah adik dari Sri Hastuti, ibu dari Hastomo, Eddy Hartono, dan Hariyanto. Eddy masuk PB Djarum di “angkatan pertama” pada 1969, seangkatan Liem Swie King, Hastomo Arbi, dan Agus Susanto, ayah Hermawan Susanto. Meski tak berprestasi sebagai pemain, Eddy jadi salah satu pembina PB Djarum di GOR Jati hingga kini.
Keluarga Icuk Sugiarto
Tommy Sugiarto (kiri) & Jauza Fadhilla Sugiarto (Foto: Instagram @jauzafadhilla)
Icuk Sugiarto merintis kiprahnya sejak usia 12 tahun dengan dilatih orangtuanya, Harjo Sudarmo dan Ciptaningsih. Sepanjang kariernya, Icuk mengukir prestasi di beragam ajang. Selain Asian Games (1982), SEA Games (1985, 1987, 1989), juara dunia 1983, dan menjadi anggota tim Thomas Cup 1984-1990, Icuk langganan juara di beragam turnamen terbuka.
Buku karya Justian Suhandinata berjudul Tangkas: 67 Tahun Berkomitmen Mencetak Jawara Bulutangkis menginformasikan, Icuk melepas masa lajang dengan mempersunting pebulutangkis Nina Yaroh pada 5 Juli 1983. Keduanya dianugerahi tiga anak: Natassia Octaviani Sugiarto, Tommy Sugiarto, dan Jauza Fadhilla Sugiarto.
Tommy dan Jauza mengikuti jejak ayah-ibunya menjadi pebulutangkis. Tommy yang sudah malang-melintang di Pelatnas PBSI Cipayung sejak 2000-an, bertabur prestasi. Selain medali emas kategori beregu putra di SEA Games 2009 dan 2011, dia menjuarai Kejuaraan Asia Beregu 2016. Sementara, Jauza saat ini masih meniti kariernya di nomor ganda putri bersama Ribka Sugiarto. Capaian tertingginya runner-up Kejuaraan Dunia Junior 2014, 2015, dan 2017 serta runner-up Kejuaraan Junior Asia 2017.
Dinasti Mainaky
Keluarga Mainaky (Foto: Djarum)
Siapa tak kenal Mainaky bersaudara? Satu-satunya dinasti bulutangkis dari Indonesia Timur, tepatnya dari Ternate, Maluku Utara. Mereka adalah Richard Leonard Mainaky, Rionny Frederik Lambertus Mainaky, Rexy Ronald Mainaky, Marleve Mario Mainaky, dan Karel Leopold Mainaky. Darah bulutangkis mereka mengalir dari sang ayah, Jantje Rudolf Mainaky, pebulutangkis daerah era 1960-an.
“Papi saya itu juara bulutangkis se-Maluku. Jadi papi saya kirim kita semua main bulutangkis di Jakarta,” kata Richard Mainaky saat ditemui Historia di Pelatnas PBSI Cipayung, 11 Januari 2019.
Richard merupakan pionir dari Mainaky bersaudara di bulutangkis kendati prestasinya sebagai pemain kurang mentereng. Kariernya lebih menonjol sebagai pelatih. Dialah yang membesut pasangan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang punya segudang prestasi.
Baca juga: Tukang Pukul dari Ternate
Selain Icad, sapaan Richard, ada Rionny Mainaky. Sebagaimana Icad, prestasi Rionny lebih cemerlang sebagai pelatih ketimbang sebagai pemain. Rionny melatih timnas Jepang satu dekade terakhir. Hasilnya, tim Jepang sukses hingga menjadi runner-up Thomas Cup dan juara Uber Cup 2018.
Rexy Mainaky merupakan anggota “Dinasti Mainaky” yang namanya paling menonjol. Segudang prestasi ganda putra berhasil diraih Rexy dan pasangannya, Ricky Subagdja. Raihan terbaiknya apalagi kalau bukan medali emas ganda putra Olimpiade Atlanta 1996. Rexy kini melatih tim Thailand.
Selain Rexy, ada Marleve dan Karel Mainaky. Marleve ikut memenangi Thomas Cup 2000 dan 2002 serta meraih perak Asian Games 2002. Sejak 2013, Marleve juga melatih di Pelatnas PBSI. Sementara, Karel Mainaky kariernya kurang cemerlang, hanya menjuarai German Open Junior dan Dutch Open Junior pada 1995, serta Jakarta International Satellite 1998 dan 2001. Setelah pensiun, Karel melatih salah satu klub di Jepang.
Kendati generasi kedua\ Mainaky bersaudara sudah pensiun, keluarga Mainaky belum habis. Anak-anak mereka kini mengikuti jejak. Selain Maria Natalia Kartika Mainaky (putri sulung Icad), ada Marvin Pessa Tambara Mainaky dan Mario Verdiano Ben Oni (putra-putra Marinus), serta Lyanny Alessandra Mainaky dan Yehetzkiel Frityz Mainaky (putra-putri Rionny).
Markis Kido Bersaudara
Pia Zebadiah Bernadet (kiri) & Markis Kido (Foto: badmintonindonesia.org)
Sepanjang 2007, nama Markis Kido dan Hendra Setiawan bertengger di peringkat satu dunia (BWF) nomor ganda putra. Kido si anak perantau Minang ini selain juara dunia pada 2007, juara pula di Kejuaraan Asia 2005 dan merebut emas Olimpiade 2008 serta emas Asian Games 2010.
Adiknya, Bona Septano, juga terjun ke bulutangkis nomor ganda putra. Selain menggondol juara di beberapa turnamen terbuka, Bona memetik sekeping emas SEA Games 2009 dan dua emas SEA Games 2011. Di SEA Games 2011, di sektor individu Bona –dan pasangannya Mohammad Ahsan– merebut emas setelah memenangi “perang saudara” melawan Markis Kido/Hendra Setiawan. Namun, Bona pensiun dini pada 2014 dan lantas beralih jadi pilot maskapai Sriwijaya Air.
Adik bungsu Markis dan Bona, Pia Zebadiah Bernadet, juga berkiprah di olahraga tepok bulu, spesialis ganda putri dan campuran. Sejak 2013, Pia acap berpasangan dengan Markis Kido. Selain menjuarai turnamen-turnamen terbuka, prestasi Pia ialah turut memetik emas SEA Games 2007 dan perunggu Asian Games 2010.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar