Unit 731, Alat Pembunuh Massal Militer Jepang
Beroperasi selama PD II, Unit 731 menelan ribuan korban selama masa percobaan. Virus dan bakteri diujicobakan terhadap korbannya yang sebagian besar adalah orang-orang Cina.
Tahun 1918. Perang Dunia I berakhir. Saling adu kekuatan negara-negara besar ini menyisakan dua kubu: pemenang dan pecundang. Satu negara di Asia yang terlibat, Jepang, ada di antara para pemenang. Kejadian itu menjadi hajat pertama militer mereka di dunia internasional, pasca kemenangan saat berperang dengan Rusia.
Kemenangan di PD I begitu membekas di dalam diri prajurit-prajurit Jepang. Sebagai negara yang sedang menarget posisi nomor wahid di wilayah Asia-Pasifik, kuasa atas PD I merupakan hadiah yang amat besar. Peristiwa itu menjadi ajang unjuk gigi Jepang di hadapan negara Barat. Juga memberi kesempatan bagi negeri para samurai itu mengembangkan kekuatan militernya.
Demi mewujudkan ambisi menjadi negara terkuat di Asia, Jepang berani menggunakan segala cara, termasuk menepikan sisi kemanusiaan mereka. Salah satunya dengan membentuk unit penelitian senjata biologis: Unit Manchuria No. 731 atau Unit 731. Sebuah kesatuan di dalam militer kekaisaran yang disiapkan untuk membuat senjata pemusnah dan menjadi pendukung kekuatan tempur utama. Unit itu turut menyumbang peran menghantarkan Jepang ke panggung utama PD II di Asia Pasifik pada 1939 sampai 1945.
Baca juga: Kolase Hidup Manusia dalam Perang Dunia
Unit 731 merupakan satu dari alat kejahatan Jepang selama PD II. Korban percobaan unit biologis ini sangat banyak. Terparah terjadi di negara tetangganya, Cina. Sejak keduanya terlibat perang, kekejaman Jepang di negeri tirai bambu itu terus berlangsung (ingat Insiden Nanking pada 1937). Perbudakan, pembantaian, eksploitasi budak seks, menghiasi keberadaan militer Jepang di Cina. Percobaan senjata, beramunisi makhluk-makhluk mikrobiologis, terhadap manusia oleh Unit 731 mungkin menjadi yang terparah.
“Anehnya, rakyat Jepang tidak menerima (menghindari) kenyataan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pemimpin militer mereka sebelum dan selama PD II. Hampir tidak ada masyarakat Jepang yang menyinggung persoalan itu,” tulis Sheldon H. Harris dalam Factories of Death: Japanese Biological Warfare 1932-1945 and the American Cover Up.
Auschwitz versi Jepang
Kendali Unit 731 ada di Harbin, timur laut Cina, di bawah pimpinan Shiro Ishii. Pasukan militer Kekaisaran Jepang di Manchuria bertanggung jawab penuh atas penelitian tersebut. Demi menjaga kerahasiaan penelitian yang dilakukan unit itu, pemerintah Jepang melakukan penyamaran. Dipilihlah lembaga pencegahan penyakit dan pemurnian air bagi kepentingan militer (Epidemic Prevention and Water Purification Departement of the Kuantung Army). Selain di Harbin, unit lain juga dibangun di Changchun. Kali ini pemerintah Jepang menyamarkannya sebagai lembaga pencegah penyakit hewan.
Berdasar penelitian yang dilakukan sejarawan Hal Gold, aktifitas utama Unit 731 adalah melakukan eksperimen medis terhadap manusia. Sejumlah praktik medis terlarang; pemberian virus dan bakteri; serta obat-obatan diujicobakan kepada korban-korbannya. Para peneliti di sini dijaga dengan sangat ketat. Mereka tidak berhubungan langsung dengan pertempuran secara fisik.
Dalam bukunya Japan’s Infamous Unit 731: Firsthand Accounts of Japan’s Wartime Human Experimentation Program, Hal Gold menyebut sampel manusia yang diambil oleh pasukan Jepang untuk kebutuhan Unit 731 kebanyakan berasal dari tahanan dan korban perang saat Jepang menginvasi Manchuria pada September 1931, serta perang besar di tahun 1937.
“Pria, wanita, dan anak-anak dari berbagai daerah di bawa untuk kemudian digunakan sebagai bahan eksperimen, bahkan bayi-bayi yang lahir di dalam tahanan Unit 731 tampaknya juga tidak selamat,” ungkap Hal Gold.
Segala aktifitas penelitian Unit 731 dilakukan di lahan seluas kurang lebih tiga hektar. Dengan area yang luas tersebut, Unit 731 membagi satuan kerjanya ke dalam divisi yang lebih kecil. Masing-masing divisi diberi jatah tenaga ahli, ratusan objek eksperimen, serta berbagai fasilitas pendukung. Totalnya ada delapan: Divisi 1 menjadi tempat penelitian berbagai virus dan bakteri (pes, kolera, antrax, tipus, dan tuberculosis; divisi 2 menjadi tempat pembuatan senjata sebagai media penyebar mikrobiologis; divisi 3 dan divisi 4 mengembangkan senjata kimia; divisi 5 tempat pelatihan; sementara divisi 6,7,8 digunakan untuk kepentingan administrasi.
Baca juga: Jepang dari Isolasi hingga Industri
Selama melakukan penelitian, Hal Gold berhasil mengumpulkan kesaksian dari orang-orang yang terlibat di dalam Unit 731. Kisah yang paling terkenal dari kamp tersebut adalah kekejaman para dokter yang melakukan pembedahan kepada para korban dalam kondisi sadar dan tanpa obat pereda nyeri. Dapat dibayangkan bagaimana penderitaan para korban ketika itu. Kisah lain yang tidak kalah mengerikan adalah perjuangan mereka yang disuntikan bakteri dan virus ke dalam tubuhnya. Para dokter mencatat setiap reaksi yang dikeluarkan tubuh korbannya. Pada proses ini kemungkinan selamat sangat kecil. Umumnya para korban dibiarkan hingga tewas.
Dapat dipastikan, kata Hal Gold, para korban yang telah masuk ruang percobaan tidak akan pernah keluar hidup-hidup. Kalaupun dapat bertahan, tidak lama mereka pun akan meninggal di tempat penampungan. Kekejian percobaan Unit 731 milik Jepang ini mengingatkan para sejarawan kepada Kamp Auschwitz milik NAZI Jerman. Sehingga banyak yang menyebutnya sebagai “Auschwitz of the East”.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar