Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo
Terdiri dari orang-orang suku Batak Toba, Hendrik Sihite membentuk pasukan khususnya dalam laskar Pesindo di Sumatra Timur. Mereka dikenal sebagai Pesindo Pasukan Kelima.
PEMUDA Sosialis Indonesia (Pesindo) merupakan salah satu laskar terkuat di Sumatra Timur pada masa awal Indonesia merdeka. Dalam Pesindo terdapat Pasukan Kelima yang punya reputasi menonjol di Kota Medan. Selain pejuang kemerdekaan, anggota-anggota Pasukan Kelima juga dikenal doyan merampok.
“Para anggotanya hampir seluruhnya terdiri dari para pemuda suku Batak Toba dan dalam waktu singkat saja jumlah anggotanya menjadi besar,” catat Biro Sejarah Prima dalam Medan Area Mengisi Proklamasi.
Pasukan Kelima dipimpin oleh Hendrik Sihite dan disponsori dr. W.F. Nainggolan yang juga Wakil Ketua I Pasukan Kelima. Mula-mula mereka bermarkas di Sungai Mati, kemudian pindah ke Jalan Bedagai nomor 5. Sihite telah membina pasukannya sendiri dalam Pasukan Kelima. Ketika bergabung dengan Pesindo, maka kelompoknya menjadi Pesindo Pasukan Kelima atau “Pasukan V”.
Kendati Pesindo tidak punya pasukan ke-3 dan ke-4, Pasukan Kelima disebut-sebut merujuk Kolone Kelima, unit pasukan khusus yang bergerak secara klandestin pimpinan Jenderal Francisco Franco dalam perang saudara di Spanyol 1936—1939. Selain maju dalam empat kolone, Franco berhasil menghancurkan kedudukan garis belakang musuh karena dapat berpenetrasi secara rahasia melalui Kolone Kelima. Kiprah gemilang Kolone Kelima ini kiranya menginspirasi Sihite dalam membentuk unit Pasukan Kelima.
Sihite sendiri merupakan wakil ketua umum Pesindo Sumatra Timur. Di atas Sihite ada Sarwono Sastro Sutardjo sebagai ketua umum. Namun, baik Sarwono maupun Sihite punya pasukan masing-masing. Sarwono menghimpun para bandit dan kriminal ke dalam Pasukan Cap Kampak. Salah satu anak buah Sarwono yang terkenal meresahkan ialah si mantan rampok Amat Boyan.
“Amat Boyan akhirnya dibunuh oleh anggota geng yang lebih disiplin,” tutur sejarawan Anthony Reid dalam The Blood of The People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra.
Baca juga: Hikayat Amat Boyan dan Pasukan Cap Kampak
Sementara itu, Pasukan Kelima, seturut Reid, dicurigai sebagai alat Belanda untuk menebar konflik terhadap sesama kelompok laskar Republik di Sumatra Timur. Maharaja Soangkupon, seorang tokoh Volksraad dari Tapanuli, menetetapkannya sebagai pasukan moderat pada akhir September 1945, setelah berkonsultasi dengan perwira Inggris selaku wakil Sekutu di Medan. Meski didominasi kelompok Batak Toba, Pasukan Kelima juga memiliki basis dukungan di antara para korban Gerakan Aron di Tanah Karo.
“Pemimpin pertamanya adalah seorang perwira polisi Batak sebelum perang, Sihite. Pasukan V terlibat dengan pemuda lain dalam pertempuran Jalan Bali dan sejumlah bentrokan dengan pasukan Inggris. Pasukan ini dengan cepat berafiliasi dengan BPI (Barisan Pemuda Indonesia) dan penerusnya, PRI (Pemuda Republik Indonesia), dan Pesindo,” terang Reid.
Pada kenyataanya, Pasukan Kelima turut dalam perlawanan menghadapi Belanda dalam berbagai perkelahian jalanan dan bentrokan bersenjata, terutama pada Oktober-November 1945. Sihite bahkan pernah melancarkan serangan balik kepada Letnan Raymond Westerling. Dalam suatu penyergapan, Sihite melemparkan granat yang pecahannya berhasil melukai Westerling. Andai kata tidak dilindungi pengawalnya, Westerling bisa kehilangan nyawanya lebih cepat dalam serangan itu. Tapi, Westerling selamat. Sihite nyaris membunuhnya.
Namun, ada indikasi pula Pasukan Kelima dibentuk Sihite untuk melawan orang-orang Aceh yang mendukung Gubernur Sumatra Teuku Mohamad Hasan. Hal ini, menurut Reid, tetap dikaitkan dengan sikap kontra Soangkupon terhadap gubernur pendatang baru Hasan serta pengawalnya dari Aceh, dan dengan permusuhan etnis yang sudah berlangsung lama antara suku Batak Toba dan kelompok Muslim di Medan.
Dalam aksinya, Pasukan Kelima, sebagaimana kelompok laskar yang lain, terlibat dalam kekacauan untuk menyokong kepentingan masing-masing. Mereka mencuri senjata dan barang-barang dari gudang tentara Jepang, Sekutu, bahkan isi gudang milik pemerintah Indonesia juga disikat. Gerakan Pasukan Kelima itu menjadi perhatian Takao Fusayama, perwira penghubung Jepang yang bertugas di Medan saat periode kapitulasi.
Menurut Fusayama, bermacam kelompok laskar menjarah rumah-rumah orang di Medan secara bergilir. Dari semuanya, Pasukan Kelima dianggap yang paling aktif dalam kegiatan perampokan semacam itu. Mula-mula yang menjadi korban hanya pedagang Cina yang punya hubungan akrab dengan Sekutu. Mereka diserang dengan dalih telah berkhianat dengan penjajah. Lama-kelamaan, perampokan juga menyasar semua Cina kaya tanpa membedakan lagi unsur pengkhianat di dalamnya. Lebih lanjut, perampokan ditujukan kepada pedagang-pedagang India dan akhirnya para pedagang Indonesia.
Baca juga: Pao An Tui yang Dibenci Kaum Republik
Kendati demikian, Fusayama menjalin hubungan baik dengan pemuda-pemuda terdidik yang menjadi bagian elite Pasukan Kelima. Mereka antara lain kakak beradik Bob dan Boyke Nainggolan, putra dari dr. Nainggolan. Selain kakak-beradik Nainggolan, Fusayama juga menaruh hormat kepada Nirwan Siregar, putra kedua Mangaraja Soangkupon Siregar. Nirwan yang sebelum perang bekeja sebagai panitera di Pengadilan Tinggi Medan disebut Fusayama sebagai yang paling cerdas dari semua putra Soangkupon.
“Ketika Sihite mengorganisasikan Pasukan Kelima dengan mengumpulkan para pemuda sesukunya sebagai kekuatan khusus Pesindo, ia ditawari kedudukan sebagai wakil komandan ke-2. Lalu, ia pun mengorganisasikan kelompok intel ini dengan mengumpulkan teman-teman akrabnya sebagai otak pemikir bagi Sihite sendiri yang tidak tinggi pendidikannya,” ungkap Fusayama.
Memasuki pengujung 1945, desas-desus tentang Sihite sebagai agen rahasia Belanda kian kencang. Dalam sebuah penyergapan, Sihite diringkus di Brastagi oleh kesatuan Tentara Republik Indonesia (TRI) bersama Pesindo. Eksekusi mati terhadap Sihite justru dilakukan oleh Laskar Pesindo.
Baca juga: Boyke Nainggolan, Tragedi Opsir Terbaik
Dalam Sumatra dalam Perang Kemerdekaan, Edisaputra menyebut Sihite ditangkap bersama dr. Nainggolan dan Alfred Lumbantobing. Ketika ditangkap, Sihite coba melawan dan langsung ditembak mati. Sementara itu, dr. Nainggolan dan Alfred Lumbantobing ditawan, kemudian diserahkan kepada pihak kepolisian untuk diadili.
Sepeninggal Sihite, seorang petinggi Pasukan Kelima bermarga Hutajulu mengaku sebagai penggantinya. Nama Pasukan Kelima digantinya menjadi Singa Nasional, yang diambil dari nama pahlawan Batak, Sisingamangaraja XII. Namun, klaim Hutajulu ditolak oleh dr. Nainggolan.
Di bawah kepemimpinan Nainggolan, sisa-sisa Pasukan Kelima diorganisasi kembali. Keanggotannya tidak terbatas pada orang-orang Batak lagi. Kelompok pemuda Melayu juga turut dilibatkan oleh Nainggolan. Pasukan Kelima kemudian memutuskan hubungannya dengan Pesindo, yang saling berhadap-hadapan dalam Revolusi Sosial pada awal 1946.
Baca juga: Pejuang Batak Ganti Nama di Tengah Perang
Tambahkan komentar
Belum ada komentar