Pejuang Batak Ganti Nama di Tengah Perang
Perang revolusi kemerdekaan di Tapanuli menyebabkan sejumlah tokoh mengganti nama. Ada yang jadi berbau Rusia, ada pula yang bernuansa Islami, padahal Kristen.
Nama Washington Strouwsky tercatat sebagai tokoh pejuang kemerdekaan asal Sumatra Utara. Pada akhir 1948, Letnan Satu Strouwsky adalah komandan Kompi IV dari Batalion II di Tarutung yang tergabung dalam Sektor II. Kesatuan TNI Sektor II dipimpin oleh Mayor Liberty Malau dengan wilayah operasi meliputi Tapanuli Utara.
Saat itu Belanda baru saja melancarkan agresi militer kedua. Informasi mengenai sosok Strouwsky terendus dalam pantauan intelijen Belanda. Nama Strouwsky menimbulkan tanda tanya bagi pihak Belanda. Kedengarannya seperti nama Rusia. Tentara Belanda sempat curiga apakah Rusia menempatkan perwiranya di ibukota Tapanuli Utara itu. Tapi, nama depannya justru Washington yang mengingatkan orang kepada presiden pertama Amerika Serikat sekaligus nama ibukota negara tersebut.
Menurut Midian Sirait, eks tentara pelajar Tarutung, Strouwsky bermarga Sitorus. Karena dia seorang komandan kompi yang biasa diringkas “Ki”, maka dia sebut “Sitorus Ki”, artinya Sitorus yang komandan kompi. Penyingkatan panggilan marga sekaligus pangkatnya inilah yang kemudian menjelma menjadi nama “Strouwsky”.
“Lalu bagaimana ceritanya dengan nama depan Washington –yang ditulis meleset sebagai Washinton– wah, itu tidak jelas bagi saya. Mungkin asli pemberian orang tua,” imbuh Midian Sirait dalam kisah selingan bukunya yang berjudul Revitalisasi Pancasila: Catatan-catatan Tentang Bangsa yang Terus Menerus Menanti Perwujudan Keadilan Sosial.
Baca juga: Asal-Usul Marga Sinaga
Midian Sirait mengenang Washington Strouwsky terkenal dengan keberanian dan kepemimpinannya. Strouwsky terlibat dalam pertempuran menghadapi Belanda di Desa Rautbosi, Porsea. Pertempuran itu, seperti dicatat Edisaputra dalam Sumatra Dalam Perang Kemerdekaan, adalah salah satu pertempuran terbesar yang terjadi di daerah Tapanuli Utara.
Pertempuran Rautbosi berlangsung sengit dari pagi hingga petang. Strouwsky memimpin kompinya berjibaku menghadapi Belanda. Untuk memukul mundur pasukan TNI, Belanda sampai harus mendatangkan bala bantuan dari Porsea, termasuk tiga buah tank. Setelah Belanda menggunakan kekuatan kavaleri, pertempuran mulai tidak seimbang. Strouwsky bersama pasukannya yang terdesak akhirnya mengundurkan diri dari pertempuran.
Setelah perang, Washington “Strouwsky” Sitorus tetap berkhidmat di TNI. Dia mencapai pangkat terakhir kolonel. Strouwsky yang memulai kiprahnya saat perang revolusi di Tapanuli itu menutup usia di Bandung.
“Puluhan tahun kemudian, untuk mengenangnya saya memprakarsai pembuatan sebuah monument untuknya di wilayah perjuangannya tempo dulu,” ujar Midian yang pada 1970-an menjadi pejabat tinggi Departemen Kesehatan sebagai Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM).
Lain lagi kisah Junus Samosir. Dia aslinya bernama Jannes Soaloon Samosir. Setelah Belanda melancarkan agresi militer pertama pada Juli 1947, Junus menjadi tangan kanan –semacam kepala staf-- dari Mayor Liberty Malau. Saat itu, Liberty Malau menjabat sebagai komandan Brigade Banteng Negara yang kemudian tergabung dalam Sektor II Sub Teritorium VII Sumatra.
Dari Tarutung, Brigade Banteng Negara berpindah basis ke Parapat. Suatu kali Junus Samosir bersama anggota pasukannya mendiskusikan berbagai topik. Dari satu pokok beralih ke pokok pembicaraan yang lain. Hingga tibalah pada pembahasan perjuangan nasional untuk mempertahan kemerdekaan. Banyak yang berpendapat nama-nama mereka kurang nasionalis. Mereka pun sepakat untuk mengubah nama masing-masing. Tak terkecuali Junus Samosir.
“Mengikuti teman-temannya, dia berganti nama menjadi Mohammad Junus Samosir,” kata penulis biografi Junus Samosir, Payaman J. Simanjuntak dalam Keteladanan Mayor Jenderal TNI (Purn.) Junus Samosir dan Landasan Moral Pembangunan. Orang-orang Indonesia banyak yang bernama Mohammad yang diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, dikenal sebagai pendiri agama Islam.
Baca juga: Perang Salib Zaman Revolusi
Setelah Perang Kemerdekaan, Junus Samosir bertugas di Medan. Dia menjabat sebagai wakil Kepala Staf Umum Teritorium (TT) I Bukit Barisan. Junus Samosir masih tetap menggunakan nama semasa perang sekalipun disingkat Mohmd. Junus Samosir.
Perihal nama itu kemudian menimbulkan masalah ketika Junus hendak menikahi Pinatua br. Pandjaitan di Gereja HKBP Tarutung. Tua-tua jemaat tentunya jadi meragukan agama yang dianut Junus Samosir. Namun, perkara nama itu akhirnya terselesaikan karena Junus Samosir yang bekas muris HIS Narumonda tercatat telah naik sidi (diterima sebagai anggota gereja penuh). Keterangan dari Pendeta Letnan Satu K. Lumbantoruan yang menjabat sebagai pendeta tentara TT I/Bukit Barisan juga turut membantu memuluskan pernikahan Junus.
“Kemudian berangsur-angsur sebutan Mohmd. pun dihilangkan sehingga akhirnya hanya Junus Samosir saja,” demikian keterangan Nyonya Pinatua Samosir br. Pandjaitan seperti dikutip Payama Simanjuntak.
Baca juga: D.I. Pandjaitan Cari Jodoh di Tengah Perang
Setelah beberapa tahun bertugas di TT I/Bukit Barisan, Junus Samosir pada 1959 diangkat sebagai atase militer di Beograd, Yugoslavia. Sepulangnya dari Yugoslavia, Junus bertugas di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) I di Jakarta sejak 1963. Junus ditunjuk menjadi wakil Asisten I/Intelijen Menpangad Mayjen S. Parman. Junus Samosir menutup karier militer di Bakin (kini BIN). Dia wafat di Jakarta pada 13 Juni 1982.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar