Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik
Detik-detik sebelum serangan kilat Belanda ala Jerman. Dilancarkan sebelum pucuk pimpinan republik lepas dari jangkauan.
BERLIKUNYA jalur politik yang ditempuh Belanda menghadapi Republik Indonesia usai Perang Dunia II membuat Panglima Tentara Belanda Letjen Simon Hendrik Spoor “gerah”. Lamanya waktu yang dibutuhkan dengan hasil tak tentu pula dari diplomasi membuat Spoor “nekat” mengambil jalan sendiri yang berbeda dari para politisi negerinya.
“Pemerintah merasa terpaksa untuk menempuh langkah terakhir. Dari Anda sekalian diminta kesediaan untuk melaksanakan tahap terakhir, mengingat bahwa setelah perundingan-perundingan tak berkesudahan, kesabaran telah terkuras habis dan tidak ada lagi jalan yang dapat ditempuh,” begitu petikan dagorder (perintah harian) Letjen Simon Hendrik Spoor tertanggal 18 Desember 1948.
Dagorder dari sang legercommandant itu diterima berbagai kesatuan tempur Belanda yang dilibatkan dalam “Operatie Kraai” (Operasi Gagak) menjelang embarkasinya dari Pangkalan Udara (Lanud) Andir dan Semarang pada dini hari, 19 Desember 1948. Operasi serangan kilat ke ibukota republik, Yogyakarta, itu ibarat penuntasan Agresi Militer I (Juli 1947) yang dianggap tak memuaskan karena pihak republik masih “bernafas”.
“Operasi militer dengan mengadopsi serangan kilat Jerman terhadap Belanda saat Perang Dunia II, Blitzkrieg –serangan kilat. Ini adalah rencana besar yang mereka sebut Operatie Kraai dengan melibatkan pasukan khusus KST (Korps Speciale Troepen), dan pasukan-pasukan organik di bawah komando Brigade T (Tijgerbrigade) dari Semarang. Serangan yang dibagi dua gelombang dengan gerakan bersamaan menuju satu titik temu, Yogyakarta,” tulis Wawan Kurniawan Joehanda dalam Djocjakarta: Mereka (Pernah) Di Sini: Des 1948-Juni 1949.
Baca juga: Riwayat Blitzkrieg, Serbuan Kilat ala Nazi
Dari dagorder itu, militer Belanda hendak mencapai tiga tujuan utama. Pertama, menangkapi para petinggi pemerintahan RI. Kedua, merebut semua kantong-kantong militer republik. Ketiga, mengepung dan menghancurkan kekuatan lawan.
Kala itu kota Yogyakarta praktis nyaris tanpa tentara republik. Selain hanya ada segelintir perwira pengamat Komisi Tiga Negara (KTN) dari Amerika Serikat dan Australia, hampir segenap Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) sedang menggelar latihan perang di luar Yogyakarta. Di Yogyakarta hanya tersisa pasukan pangkalan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di Lanud Maguwo, kepolisian, dua peleton kadet Militaire Academy (MA), dan kompi markas Brigade X pimpinan Letkol Soeharto.
“Panglima Teritorium Jawa pertengahan bulan Desember 1948, Kolonel A.H. Nasution sedang melakukan inspeksi ke Jawa Timur. Praktis Yogyakarta ‘kosong’. Pasukan Siliwangi yang ada pada waktu itu sudah mulai meninggalkan ibukota, bergerak kembali memasuki Jawa Barat sesuai perintah pimpinan. Pasukan Brigade X yang diperbantukan pada Pangkalan Udara Maguwo hanya tinggal satu kompi,” tulis Subdisjarah TNI AU dalam Peran TNI-AU pada Masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia tahun 1948-1949 keluaran.
Baca juga: Anti Klimaks Agresi Militer I
Diplomasi Ditolak, Perang Bertindak
Dalam bukunya Vom Kriege (1832), jago militer asal Prusia Jenderal Carl von Clausewitz menuliskan, “perang adalah kelanjutan dari politik (diplomasi) dengan sarana lain.” Sangat mungkin “filosofi” itu mempengaruhi langkah Louis Joseph Maria Beel ketika menggantikan Hubertus Johannes van Mook sebagai letnan gubernur jenderal Hindia Belanda merangkap Wakil Tinggi Mahkota Belanda pada 1 November 1948 dalam konteks mengatasi buntunya perundingan-perundingan dengan pihak republik pasca-Perjanjian Renville (17 Januari 1948).
“Pada 11 Desember 1948 perundingan terhenti sama sekali, ketika pihak Belanda memberitahukan kepada KTN bahwa, ‘negosiasi dengan bantuan komite (KTN, red.) pada fase ini sia-sia, di mana hanya akan berujung pada pembicaraan-pembicaraan tanpa tujuan’,” lanjut buku Subdisjarah TNI AU.
Pemerintah kerajaan di Den Haag sudah memutuskan untuk mengakhiri perundingan dengan pihak republik. Beel juga menganggap opsi yang tersisa hanyalah opsi militer.
“Menurut Beel dengan tindakan militer, Republik (Indonesia) harus dienyahkan dan dalam daerah baru yang dikuasai harus didirikan negara bagian baru atau terdiri dari negara-negara bagian, dan dalam pada itu agar secepat mungkin didirikan pemerintahan peralihan federal yang berada di bawah pengawasan Belanda. Kabinet koalisi Belanda sebenarnya khawatir akan munculnya sanksi-saksi dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan Amerika nantinya. Namun karena tidak ada jalan lain akhirnya menyetujui,” tulis PMH Groen dalam Mededelingen van de sectie militaire geschiedenis landmachtstaf.
Rencana operasi militer pun disusun lagi oleh Kepala Staf Umum Letjen Dirk Cornelis Buurman van Vreeden. Menurut Himawan Sutanto dalam Yogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor (Operasi Kraai) vs Jenderal Sudirman (Perintah Siasat No. 1), rancangan awalnya sudah disiapkan Buurman sejak Januari 1948.
“Awal Januari 1948 Buurman merampungkan pengembangan rencana militer serangan merebut Yogya oleh tiga kolone tempur: merebut Yogyakarta dengan pasukan gerak cepat (KST dari udara), gerak ofensif dari Banyumas ke Yogyakarta, dan Brigade T digerakkan dari Semarang ke Yogyakarta,” tulis Himawan.
Menteri Daerah Seberang Lautan Belanda EMJA Sassen mewakili kabinet Perdana Menteri (PM) Drees mengirim telegram ke Jakarta agar operasi militer dilakukan sebelum tanggal 21 Desember. Hal ini membuat Jenderal Spoor meradang dan mengancam akan mundur. Spoor menilai penundaan akan menghilangkan unsur dadakan.
Kabinet akhirnya “mengalah”. Terlebih setelah mengetahui Presiden Sukarno bakal mengagendakan kunjungan ke luar negeri, yang artinya pucuk pimpinan republik itu akan lepas dari bidikan Belanda.
“Sidang kabinet Belanda memutuskan untuk mempercepat sehari serangan ke Yogyakarta (yaitu dari tanggal 20 Desember menjadi tanggal 19 Desember 1948) karena mendengar bahwa Presiden Sukarno akan berangkat ke India tanggal 19 Desember,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi Indonesia: Jilid V (1948).
Di sisi lain, pada 15 Desember 1948 PM RI Mohammad Hatta kembali meminta bantuan Merle Cochran, utusan Amerika di KTN, untuk membuka kembali pintu negosiasi dengan Belanda. Cochran bersama utusan RI di KTN, Jusuf Ronodipuro, bolak-balik ikut terbang dari Yogyakarta ke Jakarta untuk meminta audiensi lagi dengan Beel. Tapi pada 16 Desember, Cochran dan Jusuf Ronodipuro justru mendapat jawaban berupa ultimatum dari Belanda: Pemerintah RI harus menerima segala usul Belanda dengan tenggat waktu 18 Desember pukul 10 pagi.
“Jusuf Ronodipuro pukul 21.00 tanggal 18 Desember menerima telepon dari Istana Rijswijk (kini Istana Merdeka Jakarta). Ia diminta datang mengambil sebuah surat yang dialamatkan kepada delegasi Indonesia. Segera surat itu dibawa ke rumah Mr. Soedjono, Sekjen Delegasi RI. Mereka sangat terkejut membaca isinya. Sebab di situ Belanda menyatakan ‘mulai pukul 00.00 tanggal 19 Desember 1948 tidak lagi terikat kepada ketentuan-ketentuan gencatan senjata’,” ungkap Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petit Histoire Indonesia: Jilid 3.
Keadaan makin runyam. Pasalnya, Jusuf –yang kembali terbang ke Yogyakarta dan kembali lagi ke Jakarta malamnya– tak bisa mengirim telegram berisi pernyataan Belanda itu lantaran semua jalur komunikasinya ke Yogya diputus Belanda. Situasi kian runyam ketika di Lanud Kemayoran pukul 10 malam Jusuf dan Cochran hendak terbang untuk kesekian kalinya ke Yogya.
“Rupanya ini adalah jebakan yang sengaja dibuat dan menimbulkan kesan bahwa pemerintah Republik Indonesia tidak serius menanggapi surat tersebut. Namun pada kenyataannya semua alat komunikasi sudah diputus dan transportasi udara pun diblokade dengan tidak memberi izin terbang menuju Yogyakarta,” sambung Wawan.
Jenderal Spoor akhirnya puas karena unsur dadakan operasinya berhasil. Meski begitu, militer republik yang tak mengendus rencana agresi kedua Belanda masih tetap eksis.
Baca juga: Langkah Gila Belanda di Yogyakarta
Panglima Markas Besar Komando Djawa Kolonel Nasution sejatinya telah menerima informasi kegiatan dan pemusatan pasukan Belanda pada awal Desember 1948. Selain itu, pasukan Belanda yang terdiri dari KST dan DST (Depot Speciale Troepen) diketahui melakukan latihan terjun payung di Lapangan Banteng, Jakarta. Meski diplomasi masih terus diperjuangkan oleh utusan republik, firasat akan datangnya agresi dari kalangan militer republik kian kuat seiring waktu. Hal itu turut disinggung Nasution dalam briefing-nya di Kediri dalam rangka persiapan peresmian pasukan Divisi I/Brawijaya pada 17 Desember 1948.
“Kita tidak tahu kapan musuh akan menyerbu kita lagi, tetapi kita yakin musuh akan menyrang kita lagi. Mungkin sekarang, mungkin besok, mungkin lusa. Ini penderitaan kita semua. Untuk itulah kita di Yogyakarta mengadakan rapat bagaimana menghadapi musuh itu nanti,” ujar Nasution dikutip Nugroho Notosusanto dalam Markas Besar Komando Djawa.
Maka, sejak sebulan sebelum agresi datang, solusi meladeni agresi sudah dipikirkan kalangan militer republik. Terutama setelah Panglima Besar Jenderal Sudirman mengeluarkan Perintah Siasat No. 1 tahun 1948 tanggal 9 November 1948. Inti perintah itu yakni setiap kekuatan militer agar bergerak fleksibel dan melancarkan perang gerilya di pedalaman.
Maka ketika Belanda berhasil dengan unsur dadakannya, militer republik setidaknya tak mengalami kepanikan. Berbeda dari kalangan politisi sipil, termasuk presiden dan wakil presiden-perdana menteri, yang banyak ditawan setelah Lanud Maguwo diserbu dan secepat kilat direbut Belanda pada 19 Desember 1948 pagi. Pun di Jakarta, sejumlah delegasi RI di KTN seperti Sekjen Delegasi Mr. Soedjono dan Jusuf Ronodipuro ditawan pula.
“Republik telah diserang tanpa pemberitahuan,” tandas Jusuf Ronodipuro.
Baca juga: Kenapa Yogyakarta Mudah Direbut Belanda?
Tambahkan komentar
Belum ada komentar