Langkah Gila Belanda di Yogyakarta
Dengan kepercayaan diri tinggi, Belanda melancarkan agresi militer kedua ke Yogyakarta.
HARI Minggu itu adalah saat kelabu bagi Yogyakarta dan penghuninya. Sejak pagi, pesawat-pesawat pembom Belanda jenis P51 dan Spitfires terus menghujani ibu kota Republik Indonesia (RI) tersebut dengan ratusan bom dan rentetan tembakan senapan otomatis.
"Kami saja yang tentara sudah merasa tegang menghadapi situasi tersebut, apalagi rakyat sipil," kenang almarhum Mayor Jenderal (Purn.) Sukotjo Tjokroatmodjo.
Sukotjo adalah anggota pasukan Corps Polisi Militer (CPM) yang mengawal Istana Negara. Pada saat militer Belanda menginvasi Yogyakarta, dia seorang letnan muda yang bersama pasukannya tengah bersiap untuk menjaga keselamatan Presiden Sukarno.
Tidak hanya bom dan tembakan, roket-roket pun diluncurkan ke berbagai gedung yang berfungsi sebagai instalasi militer milik Republik. Tak jarang, amunisi-amunisi berat itu mengenai sasaran yang salah dan jatuh di lingkungan pemukiman penduduk hingga menimbulkan korban.
Sejatinya pihak RI sudah menduga bahwa Belanda akan keluar dari kesepakatan Perjanjian Renville dan melakukan penyerbuan ke wilayah Republik. Namun pihak RI tidak mengira jika hari H-nya adalah 19 Desember 1948. Alasannya, selain di Yogyakarta saat itu sedang ada para pengawas dari Komisi Tiga Negara (KTN), para pemimpin Republik juga percaya bahwa Belanda baru berani menyerang setelah mereka mendirikan pemerintah federal sementara yang terdiri atas negara-negara bagian Indonesia yang sudah dibangun dan dikuasai Belanda. Demikian diungkapkan oleh George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia.
Baca juga: Anti Klimaks Sebuah Agresi
Wakil Presiden RI Mohammad Hatta termasuk yang kecele dengan serangan itu. Satu hari sebelum invasi tersebut terjadi, Hatta menyatakan kepada Kolonel T.B. Simatupang bahwa tak mungkin militer Belanda akan menyerang Yogyakarta pada 19 Desember 1949.
"Itu langkah gila jika Belanda berani melakukannya," ujar Hatta seperti dikisahkan Simatupang dalam Laporan dari Banaran: Kisah Pengalaman Seorang Prajurit dalam Perang Kemerdekaan.
Hatta percaya bahwa Belanda akan menyerang Yogyakarta. Tapi dia sangsi jika mereka akan melakukanya pada 19 Desember 1948. Hatta memperkirakan Belanda harus berpikir panjang, karena pagi itu Ketua KTN H. Merle Cochran, diplomat Amerika Serikat, tengah berangkat ke Jakarta, membawa surat jawaban Belanda atas pertanyaan dari pemerintah RI.
"Tidakkah akan merupakan penghinaan besar terhadap Amerika Serikat, bila Belanda melancarkan serangannya sementara surat menyurat RI-Belanda dengan perantara Amerika Serikat belum diputuskan?" kata Hatta kepada Simatupang.
Namun, ternyata Belanda memang mengambil langkah gila itu keesokan harinya.
Sementara itu, pada waktu yang sama ketika Hatta dan Simatupang bertemu, di Jakarta Merle Cochran dan Yusuf Ronodiporo, anggota delegasi RI dalam perundingan dengan Belanda, baru saja tiba di Jakarta. Mereka keesokan harinya ada rencana menyampaikan surat dari Wakil Presiden RI untuk Dr. L.J.M. Beel, Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda.
Baca juga: Berjudi di Atas Renville
Sekitar jam 21.00, Yusuf menerima telepon dari Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) untuk secepatnya mengambil surat yang ditujukan kepada delegasi Indonesia. Jam 21.15, surat tersebut sudah ada di tangan Yusuf. Ketika surat yang dialamatkan kepada The Chairman of the Delegation of the Republic (tanpa menyebut Indonesia) itu dibuka, alangkah terkejutnya Yusuf Ronodipuro. Ternyata isi surat tembusan yang sejatinya ditujukan kepada KTN itu adalah keputusan sepihak dari Belanda untuk membatalkan kesepakatan Perjanjian Renville.
"…dan mulai hari Minggu, 19 Desember 1948 jam 00.00 (kami) tidak lagi terikat oleh persetujuan tersebut," demikian salah satu bunyi surat yang saat ini ada di dokumen Kementerian Luar Negeri Belanda bertajuk Indonesie in de veligheidsraad de Verenidge Naties (November 1948-Januarie 1949).
Dikisahkan oleh Himawan Soetanto dalam Yogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor vs Jenderal Soedirman, Yusup lalu berinisiatif mengirimkan kabar penting itu ke Yogyakarta melalui Kantor Pos Umum di Jakarta, namun tidak berhasil. Operator telegram tidak dapat mengirimkan berita, karena semua kontak dengan Yogyakarta tetiba diblok.
Tidak ada cara lain, Yusuf lalu mendatangi kamar Cochran di Hotel Des Indes. Begitu selesai membaca surat tersebut, merah padamlah wajah diplomat Amerika Serikat itu, hingga keluar ucapan kasar dari mulutnya:
"Damn it! We have to go to Jogja now! (Sialan! Kita harus pergi ke Yogya sekarang juga)," teriaknya.
Namun, dalam kenyataannya kepergian ke Yogyakarta pun tidak bisa dilakukan malam itu juga. Itu terjadi karena U.S. Airforce yang digunakan untuk kepentingan KTN tidak mendapatkan izin terbang dari Belanda. Upaya Cochran untuk meminta tolong kepada Elink Schuurman, Pejabat Sementara Ketua Delegasi Belanda, ditolak.
Baca juga: Jenderal Spoor Tewas di Sumatera?
Keesokan harinya, aksi ofensif terhadap Yogyakarta pun dilakukan. Pagi sekali Panglima KNIL Jenderal S.H. Spoor sudah memimpin penyerbuan ke Yogyakarta melalui pesawat Mitchell B-25 buatan Amerika Serikat. Ketika situasi sudah sepenuhnya terkendali, dari Maguwo, Spoor ke Semarang untuk mengamati gerak maju pasukan darat ke Yogyakarta dan Solo. Sekitar jam 9 siang, dia kembali ke Jakarta untuk melaporkan kesuksesan Operasi Gagak kepada Dr. Beel.
Saat menuju rumah Dr. Bell, menurut sejarawan J.A. de Moor dalam Jenderal Spoor: Kajayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia, dia sempat bertemu dengan seorang pemantau militer dari Amerika Serikat.
"What a lovely day to start a war! (Hari yang sangat menyenangkan untuk memulai sebuah perang)," kata sang perwira itu menyindir.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar