Kisah Jenderal Gorontalo
Pejuang 1945 ini berjuang melawan Belanda hingga tanah Jawa. Kemudian Gigih melawan Permesta.
AWAL November 1945, pemuda-pemuda di Ganti, Gorontalo, dikumpulkan Omar Papeo. Tiba-tiba seseorang dari jauh datang. Dia membawa pesan penting dari Gubernur Sulawesi Sam Ratulangi di Makassar, yakni menentang kedatangan Belanda kembali ke Indonesia.
Pemuda-utusan Ratulangi itu mencapai Gorontalo setelah melalui Pare-pare, Majene, Mamuju, dan Pasangkayu. Sepanjang jalan, jika ditanya atau memperkenalkan diri, pemuda itu mengaku bernama Abdul Gani. Untuk mencapai Gorontalo dari Sulawesi Selatan, Abdul Gani harus lewat Sulawesi Tengah.
“Dari Donggala Abdul Gani terus ke Palu dan bertempat di rumah Lolon Tamene Lamakarate di Biromaru diadakan pertemuan dan membicarakan instruksi-instruksi gubernur untuk dilaksanakan,” tulis Bambang Suwondo dkk. dalam Sejarah Daerah Sulawesi Tengah.
Kekuatan Republik Indonesia pun terbentuk di Sulawesi Tengah. Begitu juga di Gorontalo. Setelahnya, Abdul Gani kembali ke Sulawesi Selatan.
Baca juga: Merah Putih Berkibar di Gorontalo Merdeka
Abdul Gani bukanlah nama asli pemuda pembawa pesan itu. Nama aslinya adalah Piola Isa. Dia orang Gorontalo juga. Menurut buku Riwayat Hidup Anggota-Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Hasil Pemilihan Umum 1971, Isa merupakan pemuda kelahiran Gorontalo, 11 Oktober 1923. Sebelum November 1945, dia bekerja di Pare-pare. Berbekal ijazah SMP kolonial Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Isa dipekerjakan pemerintah pendudukan Jepang di Jawatan Pekerjaan Umum.
Isa alias Abdul Gani kemudian aktif di ketentaraan RI. Dia termasuk pemuda dari Sulawesi Selatan yang menyeberang ke Jawa. Dia di Yogyakarta sekitar 1946 dan menjadi bagian dari Tentara Rakyat Indonesia Sulawesi (TRIS). Waktu Agresi Militer Belanda Pertama pecah pada 21 Juli 1947, Isa berada di Candiroto Parakan dan sewaktu Agresi Militer Belanda Kedua, 19 Desember 1948, Isa berada di Yogyakarta. Dia ikut terlibat dalam penumpasan Peristiwa Madiun 1948.
Baca juga: Jenderal-jenderal dari Minahasa
Setelah tentara Belanda angkat kaki dari Indonesia, Isa tetap melanjutkan jadi tentara. Saat itulah kesibukannya di medan tempur dimulai. Pada 1950, dia ikut dikirim ke Makassar untuk melawan pasukan KNIL dalam Peristiwa Andi Azis. Dari sana, Isa ikut dalam penumpasan Republik Maluku Selatan (RMS) dan selanjutnya terlibat dalam penumpasan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan. Semasa menumpas pemberontakan tersebut, Isa adalah perwira staf di Tentara & Teritorium (TT) VII/Wirabuana Sulawesi Selatan.
Ketika PRRI/Permesta bergejolak, Isa berada di sekitar kampung halamannya. Bersama Nani Wartabone, dia termasuk yang gigih melawan PRRI. Pada Mei 1958, pasukan yang dikomandani Kaptan Isa merebut daerah Telaga di timur laut Gorontalo.
Baca juga: Orang Batak Jadi Jenderal
Namun pertempuran itu tak melejitkan kariernya. Sebab, kemudian dia tak dikenal sebagai perwira tempur. Setelahnya, dia bertugas sekolah di Akademi Hukum Militer (AHM) dan Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM). Menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Isa termasuk angkatan pertama PTHM. Masa belajar angkatan pertama itu dari 1962 hingga 1966.
Setelah itu, Isa menduduki jabatan di Kehakiman Angkatan Darat lantaran bergelar Sarjana Hukum. Dengan gelar itu pula Isa kemudian bertugas di Mahkamah Agung. Pada 1981, Isa termasuk Hakim Agung merangkap Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Militer di Mahkamah Agung. Jabatan tingginya di bidang hukum militer tersebut membuatnya menyandang pangkat Brigadir Jenderal TNI.
Sementara, di bidang politik, Isa pernah menjadi anggota fraksi Golongan Karya (Golkar) hasil pemilihan Pemilu 1971 dan 1977. Namanya kemudian menjadi nama jalan di utara kota Gorontalo, Jalan Brigjen Piola Isa.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar