Merah Putih Berkibar di Gorontalo Merdeka
Setelah ditinggalkan oleh Belanda pada 1942, Gorontalo sempat menjadi kawasan yang merdeka. Bala tentara Jepang kemudian meluluhlantakan kemerdekaan itu.
Desas-desus kekacauan Perang Dunia II berhembus kencang di kalangan rakyat Gorontalo pada permulaan tahun 1942. Negeri Belanda dikabarkan tengah berada di ambang kehancuran akibat perang terus berkecamuk di Benua Biru. Kekacauan itu pun diyakini akan memberikan dampak kepada pemerintahan mereka Hindia-Belanda.
Berita perang besar itu disambut suka cita oleh rakyat Gorontalo. Mereka akhirnya bisa merasakan kebebasan setelah sekian lama hidup di bawah tekanan imperialisme Belanda. Rakyat siap menyambut kebebasan yang amat mereka idam-idamkan tersebut.
Benar saja, tidak lama setelah tersebarnya kabar itu pemerintahan Hindia Belanda di Gorontalo mulai kehilangan kendali dalam memerintah. Mereka tidak lagi mampu mengontrol gejolak yang terjadi di masyarakat. Laskar pejuang Gorontalo pun dengan mudah merebut wilayahnya. Mereka berhasil mengamankan pusat komando Belanda.
Sempat terjadi pertempuran di sejumlah tempat di Gorontalo antara laskar rakyat dengan Vernielings Corps (VC), yang tugasnya membumihanguskan segala aset Belanda andai pemerintahan mereka mengalami kejatuhan. Para anggota VC Gorontalo menyasar aset orang-orang Belanda di bidang irigasi, pelabuhan, infrastruktur, dan bahan makanan. Namun pergerakan mereka cepat diketahui, sehingga laskar rakyat dapat menjatuhkan para VC.
Di bawah komando Kusno Danupojo dan Nani Wartabone para pejuang pun berhasil menduduki bangunan-bangunan, serta fasilitas-fasilitas utama milik pemerintah Hindia Belanda, seperti kantor pos, kantor polisi, tangsi militer, asrama militer, rumah kepala residen, dan lain sebagainya. Di sana jugalah untuk pertama kalinya bendera Merah-Putih berkibar.
“Tidak banyak orang yang mengetahui suatu peristiwa penting bersejarah di Sulawesi (Gorontalo). Penting karena ketika seluruh tanah air sedang dalam kecemasan, dan kekacauan pikiran lantaran mundurnya tentara di awal tahun 1942, dan lantaran tibanya bencana perang dunia kedua disusul dengan penyerbuan tentara Jepang dari utara, maka di suatu sudut tanah air, yaitu Gorontalo, berkibarlah mula pertama kali di daerah itu bendera pusaka Sang Dwi Warna, sebagai hasil dari perebutan kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda yang dilakukan oleh patriot-patriot Indonesaia …” demikian menurut buku Republik Indonesia Propinsi Sulawesi yang diterbitkan Kementerian Penerangan RI
Peristiwa perebutan kekuasaan itu, sebagaimana disebutkan Sutrisno Kutoyo, dkk dalam Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Sulawesi Utara, terjadi pada 23 Januari 1942. Masyarakat lalu mengenalnya sebagai Peristiwa Patriotik (Merah-Putih). Meski tidak meliputi semua daerah di Pulau Sulawesi, tetapi ada banyak tempat di sekitar Sulawesi Utara yang melakukan hal serupa seperti di Gorontalo, di antaranya Manado, Tolitoli dan Luwuk.
Nani Wartabone dan Kusno Danupojo, bersama delapan orang pemuka rakyat, serta segenap rakyat Gorontalo juga menangkapi semua orang Belanda di Gorontalo dalam Peristiwa Patriotik tersebut. Mereka yang diamankan berasal dari kalangan pemerintahan, militer dan wakil-wakil kantor perdagangan Belanda. Seluruhnya dijebloskan ke dalam tahanan, dengan diberikan jaminan keselamatan dan perlindungan.
Peristiwa penangkapan orang-orang Belanda cepat menyebar ke seluruh Gorontalo. Masyarakat lalu berbondong-bondong pergi menuju halaman kota. Di sana, sebagai pemimpin pergerakan Nani Wartabone naik ke podium untuk memberikan pidato. Menurut J.P. Tooy, dkk dalam Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Utara, di hadapan seluruh rakyat yang hadir, dia menyatakan bahwa Gorontalo sudah merdeka dan di daerah itu sudah tidak ada lagi pemerintahan Belanda. Wartabone juga meyakinkan seluruh rakyat bahwa kedepannya bangsa Indonesia akan mampu menguasai negaranya sendiri.
Baca juga: Agar Sulawesi Tetap Indonesia
“… ketika sdr. Nani Wartabone memimpin lagu Indonesia Raya di alon-alon, maka suara-suara yang melagukan itu sudah lekas jadi parau, karena diselingi oleh sedu-sedan yang mengharukan. Karena sekarang orang sudah dapat melihat bendera Merah Putih berkibar dengan bebas diangkasa, Indonesia Raya dinyanyikan dengan tak ada orang yang menegornya,” tulis Kementerian Penerangan.
Kontrol atas Gorontalo, utamanya dalam urusan keamanan, selanjutnya dipegang oleh laskar pejuang. Mereka membentuk badan pemerintahan yang bertugas menjalankan administrasi dan kesejahteraan masyarakat. Khusus di bidang keamanan dibuat larangan melakukan pencurian terhadap aset-aset yang ditinggalkan Belanda. Hal itu dilakukan demi menjaga ketenteraman. Larangan pencurian itu dipampang di muka kantor pos, bunyinya: “Siapa yang mencuri, akan ditembak mati!”.
Wartabone sendiri ditunjuk sebagai kepala pemerintahan Militer, sedangkan Danupojo menjadi kepala pemerintahan sipil. Sementara untuk urusan pertahanan di Gorontalo dipegang oleh Pendang Kalengkongan sebagai panglima besarnya. Dia membawahi polisi kota, serta laskar rakyat.
Baca juga: Sejarah Bandit Sulawesi Selatan
Selama masa itu, rakyat Gorontalo bisa bebas melakukan kontrol atas dirinya sendiri. Tidak ada batasan-batasan seperti yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Mereka bebas menanam dan mengkonsumsi padi untuk dirinya. Tidak ada rakyat yang menderita kelaparan. Mereka juga bisa memasang lampu-lampu yang sebelumnya dilarang Belanda. Tidak ada batasan juga dalam mencari hiburan, sehingga di banyak rumah radio-radio dinyalakan, dan orang-orang berkumpul di sana.
“Maka hiduplah segala hasrat yang mati di waktu Belanda … Alon-alon Gorontalo penuh dengan rakyat. Barisan kehormatan dengan senjata lengkapnya berbaris di tengah alon-alon. Dan ketika Nani Wartabone dan Kusno Danupojo datang memeriksa barisan maka untuk pertama kalinya tembakan-tembakan kehormatan yang sungguh-sungguh dari negara merdeka merobek angkasa. Dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan dengan penuh khidmat. Nani Wartabone kelihatan menyucurkan air matanya. Dan orang-orang yang menyaksikan kejadian ini turut pula tersedu-sedu,” tulis buku karya Kementerian Penerangan RI itu.
Pemerintahan merdeka di Gorontalo, imbuh Sutrisno Kutoyo, berlangsung selama lima bulan lamanya (23 Januari 1942 - 5 Juni 1942). Kedamaian mereka terusik begitu tentara pendudukan Jepang mendarat di Sulawesi Utara. Dengan kekuatan tempur yang mumpuni, bala tentara Jepang berhasil menjatuhkan pertahanan laskar rakyat Gorontalo.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar