Kakek Buyut Ole Romeny Korban Perang Pasifik
Dari organisasi kepanduan, kakek buyut Ole Romeny dimobilisasi ke dalam KNIL semasa perang. Nyawanya berakhir tragis di Selat Malaka.
NAMA Ole Romeny sudah ramai disebut sebagai calon pemain naturalisasi tim nasional Indonesia dari Belanda sejak November 2024. Kini, proses naturalisasinya bersama dua pemain lain, Dion Markx dan Tim Geypens, yang diajukan PSSI bersama Kemenpora lewat rapat kerja sudah disetujui Komisi X DPR RI pada Senin (3/2/2025).
“Atas nama Komisi X (DPR), selamat dan selamat datang kepada Dion dan Ole (yang hadir via daring). Mari jalani tugas kita untuk Indonesia bersama-sama. Dengan ini kami menyatakan bahwa Anda bukan sekadar menjadi bagian dari tim nasional tapi juga bagian dari keluarga besar Indonesia. Kami percaya kalian bisa membawa nama Garuda dengan kebanggaan di tim nasional Indonesia,” tukas Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menutup rapat kerja yang disiarkan via streaming di Youtube TVR Parlemen, Senin (3/2/2025).
Pemain yang lahir pada 20 Juni 2000 dengan nama Ole Lennard ter Haar Romenij itu meniti kariernya dari akademi muda DVOL hingga menembus karier profesional pertamanya pada 2018 bersama NEC Nijmegen. Setelah tampil gemilang bersama FC Emmen dan FC Utrecht, pada 5 Januari 2025 Romeny resmi hijrah ke kasta pertama Liga Inggris, EFL Championship, bersama klub Oxford United yang notabene dimiliki Ketum PSSI Erick Thohir bersama pengusaha Anindya Bakrie.
Romeny berayahkan Petrus Gerardus Wilhelmus Burgers yang kelahiran Wijchen, 16 Mei 1959. Sementara ibunya, Catherine Frederique ter Haar Romenij, lahir di Haarlem, 24 Juni 1963. Romeny dinaturalisasi dengan latar belakang keterikatan dengan nenek dari garis ibunya, Helene Wilhelmina Degenaars, yang lahir di Medan, Sumatera Utara pada 2 April 1923.
Tidak terdapat catatan signifikan tentang silsilah dari garis ayahnya. Tetapi beberapa catatan sejarah mengenai kakek buyut dari garis ibunya, yakni Thomas Degenaars, amat menarik.
Berakhir di Selat Malaka
Thomas Degenaars lahir di Doordrecht, Belanda pada 3 Juni 1895 sebagai putra dari pasangan Leendert Degenaars dan Barbara van Zijst. Di masa mudanya, Thomas merantau ke Hindia Belanda pada 1918.
Ketika tengah berada di Singapura pada 1920, ia menemukan Trintje Wilhelmine Fortuin yang lantas dijadikan pasangan hidupnya. Trintje lantas diboyongnya ke Medan.
Pasangan Thomas-Trintje Degenaars memiliki tiga anak: Tom (lahir 30/10/1921), Helene Wilhelmina (2/4/1923), dan Robert Degenaars (2/5/1925). Namun hanya Helene Wilhelmina (nenek Ole Romeny) yang berita kelahirannya sampai diberitakan suratkabar.
“Tuan dan Nyonya Th. Degenaars-Fortuin dengan ini mengumumkan kelahiran putri mereka Helene Wilhelmina. Medan, 2 April 1923,” tulis harian De Sumatra Post edisi 4 April 1923.
Thomas Degenaars diketahui berprofesi sebagai akuntan di perusahaan perkebunan Handeslvereniging Amsterdam (HVA) cabang Medan. Ia juga menyibukkan diri jadi pengurus organisasi kepanduan. Suratkabar Deli Courant edisi 30 November 1937 turut memberitakan Thomas sebagai salah satu sekretaris-bendahara organisasi kepanduan Nederlandsch-Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) cabang Medan. Sementara Tom, putranya sulungnya, juga terlibat di kepanduan Kale Koppen Kamstam di Cimahi kala studi di Bandung.
Sebagaimana banyak anggota kepanduan, Thomas dan putranya turut dimobilisasi ke dalam Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) semasa Perang Pasifik (1941-1945).
“Di dalam KNIL sebagai prajurit garnisun kota (di Aceh), Thomas ikut ditangkap dan jadikan tawanan perang oleh Jepang,” tulis organisasi kepanduan Scouting Nederland dalam Scouting tijdens de Tweede Wereldoorlog: Een selectie van twaalf verhalen uit het verhalenproject Scouting in de Oorlog.
Thomas ditangkap pasukan Jepang di Kutacane, Aceh, medio 1942. Bersama sejumlah personel militer Belanda dan Sekutu lainnya, Thomas lalu dijebloskan ke Kamp Tawanan Perang Glugur, Medan. Tom putranya juga ditangkap dan dibawa ke Kamp Tawanan Perang Juliana di Seram Selatan. Adapun Rob, putra bungsunya yang masih usia sekolah menengah, bersama keluarga Thomas masuk salah satu kamp interniran di Belawan.
Baca juga: Pelarian Berdarah di Kamp Cowra
Pada 24 Juni 1944, tentara pendudukan Jepang berencana memindahkan para tawanan dari Kamp Glugur dan Kamp Sungai Sengkol ke Pekanbaru. Beberapa sumber menyebut, lebih dari 1.100 tapi sejumlah peneliti, salah satunya Michael Sturma dalam Hellships Down: Allied POWs and the Sinking of Rakuyo Maru and Kachidoki Maru, menyebut tawanan yang dibawa sebanyak 720 orang, meliputi tawanan asal Inggris, Australia, dan Belanda.
Para tawanan itu, termasuk Thomas, lantas dikumpulkan di Pelabuhan Belawan dengan rencana diberangkatkan ke Pekanbaru untuk dijadikan pekerja paksa membangun jalur keretaapi Pekanbaru. Mereka diangkut dengan kapal Harugiku Maru –bekas kapal kargo SS Van Waerwijck milik Koninklijke Paketvaart-Maatschappij (KPM) yang direbut Jepang.
Kapal Harugiku Maru berangkat dari Pelabuhan Belawan pada 26 Juni 1944 pagi dengan konvoi kecil. Tanpa diduga, konvoi yang melewati rute Selat Malaka itu ternyata terpergok kapal selam Inggris HMS Truculent –dinakhodain Mayor Laut R.L. Alexander– di perairan Tanjungbalai sekira pukul 10 pagi yang kemudian terus menguntit.
“Sekitar pukul 11 (pagi), kapal selam HMS Truculent mulai melepaskan torpedonya. Mereka mengira itu konvoi suplai (militer) Jepang. Sepanjang 1944, kapal-kapal selam Inggris tercatat menenggelamkan 300 kapal kecil yang diawaki para kru Tionghoa dan Melayu,” tulis Sturma.
Torpedo-torpedo Truculent telak mengenai beberapa kapal perusak dan kapal penyapu ranjau Jepang. Hariguku Maru kemudian turut jadi mangsanya. Serangan torpedo-torpedo Truculent membuat Harugiku Maru meledak dan terbelah jadi dua. Hanya dalam waktu 15 menit dari serangan torpedo pertama, kapal itu tenggelam ke dasar Selat Malaka.
“Harugiku Maru ditorpedo dengan menimbulkan banyak korban jiwa hanya untuk satu kapal kecil. Nakhoda Truculent tidak mengetahui bahwa kapal itu berisi para tawanan perang karena kapalnya tak beridentitas apapun,” ungkap Brenda M. Tranter dalam Captured! Living with the Death of the Sumatran Railway.
Tercatat hanya 540 tawanan yang bisa diselamatkan kapal-kapal Jepang yang lain. Mereka diselamatkan hanya untuk dibawa ke situs kerja paksa di Kamp River-Valley, Singapura. Adapun sekitar 180 tawanan lainnya binasa di dasar Selat Malaka. Thomas salah satunya.
Anggota keluarga Thomas diketahui baru dipulangkan ke Belanda sekitar tahun 1949. Thomas sendiri pada Mei 2019 dianugerahi Mobilisatie-Oorlogskruis secara anumerta oleh Kementerian Pertahanan Belanda.
“Kepada Tuan Ten Haar Romeny, saya dengan senang hati memberitahukan bahwa sebagai bentuk penghormatan dan apresiasi terhadap perjuangan di masa sulit dengan ini Mobilisatie-Oorlogskruis kami persembahkan secara anumerta kepada kakek Anda. Bertanda tangan di bawah ini, Kepala Departemen Penghargaan Ing. B. Keers, 13 Mei 2019,” demikian bunyi surat pernyataan resmi Afdeling Decoraties, Kemenhan Belanda di laman resmi Yayasan Oorlogsgravenstichting.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar