Pelarian Berdarah di Kamp Cowra
Kisah pelarian serdadu Jepang terbesar dan paling berdarah di Cowra. Kamp tawanan perang terbesar di Australia yang juga dihuni para tapol Indonesia.
KETENANGAN malam di Kamp Tawanan Perang Cowra, New South Wales, Australia, seketika pecah saat pukul 2 dini hari 5 Agustus 1944 terdengar teriakan lantang “Banzai!”. Kegaduhannya disusul bunyi terompet yang menggiring lebih dari 1.000 tawanan serdadu Jepang yang berusaha menembus tiga lapis kawat berduri.
Ketika itu mayoritas prajurit dan perwira Batalyon Garnisun ke-22 Angkatan Darat (AD) Australia sedang tertidur pulas. Hanya menyisakan beberapa gelintir prajurit yang piket jaga malam. Di antaranya Prajurit Dua (Prada) Benjamin Gower Hardy dan Prada Ralph Jones di salah satu pos penjagaan.
“Sekitar pukul dua dini hari, sejumlah tawanan perang Jepang berlarian menuju gerbang kamp. Lalu terdengar pula bunyi terompet militer Jepang. Massa tawanan yang meneriakkan ‘Banzai!’ merangsek ke sisi utara, barat, dan selatan menembus pagar kawat berduri dengan bantuan selimut,” tulis jurnalis perang cum sejarawan militer Gavin Long dalam The Final Campaigns.
Walau sempat diserang rasa panik, Prada Hardy kemudian di posnya tetap mampu mengendalikan diri untuk segera mengoperasikan senapan mesin Vickers dibantu Prada Jones. Ketika sadar semburan senjatanya tak mampu menahan gelombang massa tawanan Jepang itu, Hardy segera mencopot dan membuang firing bolt alias aksi-baut agar senapan mesinnya tak direbut dan digunakan para tawanan.
Prada Hardy dan Jones akhirnya gugur. Prada Charles Henry Shepherd yang juga sedang berjaga malam di pos lain, menyusul. Pun Letnan Harry Doncaster, ikut meregang nyawa usai disergap saat baru keluar dari baraknya pasca-terbangun.
Baca juga: Kerangka Serdadu Jepang dari Pertempuran Biak
Kamp Interniran Indonesia hingga Italia
Peristiwa berdarah itu terjadi di kamp tawanan perang terbesar di Australia. Menilik data Dewan Kota Cowra, kamp yang punya nama resmi Number 12 Prisoner of War Group itu terletak di 3,2 kilometer (km) sebelah timur laut kota Cowra, 314 kilometer sebelah barat Sydney.
Di atas lahan seluas tujuh hektare, Kamp Cowra yang didirikan medio 1941 itu berisi empat bangunan kamp terpisah. Mulanya setiap bangunan kamp dibuat untuk memuat 1.000 tawanan perang. Tapi kenyataannya, saat kejadian berdarah itu hampir setiap kamp melebihi kapasitasnya.
Tawanan paling banyak dari pihak Poros adalah para serdadu Italia, berkisar 2.000 tawanan. Mereka merupakan para serdadu yang menyerah dan ditawan pasukan Sekutu dari front Afrika Utara.
Menyusul kemudian sekitar 1.200 tahanan politik (tapol) asal Indonesia beserta keluarganya yang dipindahkan dari Boven Digul, Papua. Namun mulai awal 1943, mereka dibebaskan karena baru disadari otoritas Australia bahwa mereka bukan berstatus tawanan perang.
Lalu, tawanan perang Jepang (termasuk di dalamnya yang berasal dari Korea dan Taiwan) yang berkisar 1.000 serdadu, meliputi prajurit, bintara, maupun perwira. Sisanya, ratusan tawanan perang pihak Poros lain seperti serdadu-serdadu hingga pelaut kapal dagang Finlandia, Jerman, Rumania, dan Prancis Vichy.
“Sampai waktu kejadian ada 1.104 tawanan perang Jepang di Kamp Cowra. Di kamp itu terdapat empat kamp tawanan terpisah, (kamp) ‘A’ untuk tawanan Italia, ‘B’ untuk Jepang, ‘C’ untuk Korea, dan ‘D’ untuk (tapol) Indonesia. Keempat bangunan kamp itu membentuk formasi bangunan persegi delapan yang masing-masing terpisah sekitar 800 yard (731 meter). Keempat kamp itu dikelilingi pagar dan kawat berduri setinggi 8 kaki (2,4 meter) yang dijaga Batalyon Garnisun ke-22 pimpinan Letkol M.A. Brown,” sambung Long.
Namun, data Dewan Kota Cowra menyebut empat kamp terpisah itu masing-masing Kamp A dan C diisi tawanan perang Italia dan tawanan pihak Poros lain. Lalu Kamp B berisi prajurit dan bintara Jepang. Adapun Kamp D menampung tawanan dan interniran campuran perwira Jepang, serdadu asal Taiwan dan Korea, serta tapol-tapol Indonesia.
Tawanan Jepang pertama yang menghuni Kamp Cowra adalah Sersan (Pnb) Hajime Toyoshima (8 Januari 1943). Pilot Angkatan Laut (AL) Jepang yang yang berbasis dari kapal induk Hiryu ini dengan pesawat tempur Mitsubishi A6M “Zero” ikut operasi Pengeboman Darwin pada 19 Februari 1942. Ia bahkan sempat jadi pemimpin para tawanan perang Jepang karena kemampuan berbahasa Inggrisnya, sebelum akhirnya digantikan Sersan Mayor (Serma) AD Jepang Ryo Kanazawa pada medio 1943 lantaran adu gengsi AD-AL Jepang.
Insiden berdarah itu bermula dari rencana garnisun Cowra untuk memindahkan semua tawanan Jepang dari barisan prajurit. Menurut Konvensi Jenewa, otoritas penjaga kamp wajib memberitahukan setiap pemindahan tawanan H-1 atau 24 jam sebelumnya.
Baca juga: Kamp Orang Indonesia di Texas
Menurut Mat McLachlan dalam The Cowra Breakout, Mayor Bob Ramsay yang berwenang atas Kamp B pun memanggil Serma Kanazawa selaku pemimpin tawanan Jepang dan dua wakilnya: Serma Masao Kojima dan Sersan Toyoshima. Mereka diminta mengumumkan pemindahan itu di kantor Mayor Ramsay pada pukul 2 siang 4 Agustus.
“Sudah sejak awal Agustus saya menerima beberapa berkas (pemindahan) tapi sengaja tidak memberitahukan pimpinan kamp (Jepang) dan stafnya hingga pukul 14.00 pada 4 Agustus. Saya lalu memanggil pimpinan kamp (Kanazawa) dan asisten pimpinan kamp (Kojima dan Toyoshima) yang fasih berbahasa Inggris untuk menengok daftar (berkas) itu. Pimpinan kamp Serma Kanazawa tidak memberikan tanggapan tapi perilakunya langsung berubah,” kenang Ramsay, dikutip McLachlan.
Para tawanan Jepang itu direncanakan akan dipindahkan pada pukul 2 siang 5 Agustus 1944 ke kamp tawanan lain di Hye. Alasannya, Kamp Cowra akan kedatangan barisan tawanan perang baru sehingga butuh mengosongkan tempat di Kamp B.
Sementara, menurut Kanazawa saat diwawancara jurnalis Harry Gordon pada 1977, pihak Australia sengaja ingin memisahkan para prajurit dari para bintara dan perwira. Padahal, bagi militer Jepang para bintara adalah tulang punggung kedisiplinan dan moral prajurit, terutama dalam menjalani kehidupan sebagai tawanan perang di negeri musuh.
“Sementara dalam pertemuan dengan Ramsay itu, Toyoshima sempat memprotes, ‘kenapa bukan semua yang pergi (dipindahkan, red.)?’ Tapi karena tidak ada penjelasan lebih lanjut dari Ramsay, maka insiden itupun terjadi,” lanjut McLachlan.
Tak bisa menerima keputusan itu, para pimpinan tawanan Jepang memilih melawan dan merencanakan pelarian serentak. Diam-diam mereka mengumpulkan selimut untuk bisa melompati pagar kawat berduri. Lalu mengumpulkan sejumlah pisau, tongkat bisbol, tongkat kayu dengan paku dan kait besi, serta tali tambang.
Baca juga: Teror Banzai di Saipan
Sekira pukul 2 dini hari 5 Agustus 1944, teriakan “Banzai” jadi sinyal untuk keluar dan menyerang para penjaga. Tak lupa Sersan Toyoshima membunyikan terompet militernya.
“Massa terkuat sekitar 400 tawanan menembus pagar kawat besi di sisi timur laut. Di sinilah Prada Hardy dan Jones memberi perlawanan dengan tembakan hingga mereka sendiri gugur ditusuk dan dipukuli tongkat sampai tewas,” sambung Long.
Tiga personel Batalyon Garnisun ke-22 itu terluka dan tewas seiring para tawanan itu meloloskan diri dari kamp. Sementara, sebanyak 108 tawanan Jepang terluka dan 234 lainnya tewas, termasuk Sersan Toyoshima, sang tawanan perang Jepang pertama di Kamp Cowra yang tutup usia karena tertembak bagian dada dan lehernya.
Dari 234 yang tewas, 16 di antaranya memilih hara-kiri alias bunuh diri demi kehormatan saat para personel garnisun dibantu aparat Kepolisian Woodstock dan Kepolisian Mandurama mengepung para pelarian itu. Sedangkan 359 tawanan lainnya yang sudah kabur akhirnya semua terangkap 10 hari berselang.
Parlemen Australia langsung mengadakan investigasi walau dalam temuan-temuannya mengklaim bahwa tidak ada tindakan kekerasan dari pihak penjaga dan kondisi kamp sesuai dengan Konvensi Jenewa. Kamp Cowra tetap beroperasi sebagai kamp tawanan perang hingga 1947 seiring para tawanan perang Jepang dan Italia terakhir dipulangkan ke negeri masing-masing. Salah satunya Teruo Murakami, penyintas Kamp Cowra terakhir yang wafat pada 14 September 2023.
“Saya tidak ingin anak muda manapun melakukan hal yang sama dengan kami karena itu hal yang menyedihkan. Katakan tidak pada perang. Jangan pernah ada lagi (perang),” ujar Murakami saat mengunjungi lagi situs Kamp Cowra medio 2019, dikutip laman resmi Dewan Kota Cowra, 29 September 2023.
Baca juga: Lika-liku Kisah Pelarian Tawanan Sekutu dari Kamp Jerman
Tambahkan komentar
Belum ada komentar