Jenderal "Jago Perang" Belanda Meregang Nyawa di Pulau Dewata
Kematiannya dikenang hingga 100 tahun, jenderal veteran Belanda di Perang Diponegoro dan Bonjol ini terbunuh di Bali.
SEDARI remaja, pria kelahiran Maastricht, Belanda, 30 April 1797 ini sudah jadi tentara. Dia masih 17 tahun ketika terlibat dalam Perang Napoleon sebagai letnan dua di resimen ke-22 militer Prancis. Dia ada di sana sewaktu Napoleon kalah di Waterloo.
Andreas Victor Michiels, nama pria itu, akhirnya memilih melanglang buana ribuan kilometer dari tanah kelahirannya. Pada 3 Juli 1817, dia sudah berada di Batavia. Dia menjadi letnan satu pada batalyon perintis tentara kolonial Hindia Belanda.
Di perantauan, mula-mula Michiels terlibat dalam pertempuran di Palimanan dan Cirebon. Kiprahnya yang bagus membuatnya tak lama kemudian naik pangkat menjadi kapten dalam usia yang sangat muda.
Bintangnya makin bersinar setelah Perang Jawa (1825-1830). Pangkatnya naik jadi mayor pada 1827 sehingga pasukannya makin besar. Kepercayaan atasan kepadanya pun makin besar.
“Mayor (yang di kemudian hari menjadi Mayor Jenderal) Andreas Victor Michiels (1797-1849), komandan gabungan yang lainnya, pada saat itu bersama-sama dengan pasukannya di barak-barak mereka dan kemudian mendapat tugas untuk menyerbu perkemahan Dipanegara di Metesih, guna melucuti para pengikutnya,” tulis Peter Carey dalam Asal Usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh.
Sepak-terjang Michiels dalam Perang Jawa memuaskan komandan, Jenderal De Kock. Sang jenderal bahkan sampai memujinya.
“De Kock lebih menyukai Mayor Infanteri (pasca-1843, Mayor Jenderal) Andreas Victor Michiels (1797-1849) yang cergas dan sangat berpengalaman dalam berperang, ‘[seorang pria] yang tampaknya dilahirkan untuk berperang’,” kata De Kock, dikutip Peter Carey dalam bukunya yang lain, Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda.
Baca juga:
Kendati jago perang, tentu Michiels sadar betul risiko perang. Koran Dagblad van S’Gravenhage tanggal 22 Agustus 1849 menyebut dia terluka kena tembak dalam sebuah pertempuran pada 2 November 1827. Aksinya dalam perang ini membuatnya diangkat menjadi Ridder Militaire Willemsorde kelas empat dan tiga.
Setelah Perang Jawa, pada 1831 Michiels dikirim ke Sumatra menghadapi Perang Padri. Di tengah perang yang panjang itu, pangkatnya naik menjadi letnan kolonel pada 17 Mei 1832.
Usai berkeliling Karawang lalu Jambi pada 1833 dan kemudian menjadi Djajang-sekar dan Pradjoerit (inspektur milisi pribumi) dalam rangka tour of duty, Michiels kembali dikirim ke Sumatra Barat untuk melawan pasukan Tuanku Imam Bonjol pada 1834. Dia dianggap gemilang.
Sebuah insiden di Bali lalu “membawa” Michiels tugas ke sana. Insiden terjadi pada 1843 ketika sebuah kapal milik pedagang Belanda dirampas oleh raja Klungkung. Negosiasi antara pihak Kerajaan Klungkung dan pemerintah Hindia Belanda tak menemui titik temu. Pemerintah Hindia Belanda yang memusuhi raja Klungkung pun mengirim beberapa ekspedisi militer ke sana.
Setelah dua ekspedisi awal gagal, Belanda pada 1849 mengirim lagi ekspedisi pasukan Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL ke sana. Jenderal Mayor Michiels yang diperintahkan memimpin ekspedisi untuk menghadapi Kerajaan Klungkung dan Buleleng itu.
Buleleng dan Singaraja berhasil dimasuki tentara KNIL. Semua berjalan lancar pada hari-hari pertama hingga akhir Maret 1849. Namun situasi berubah pada akhir April. Pertempuran pecah antara pasukan kerajaan setempat melawan pasukan KNIL.
“Pada malam tanggal 23 pasukan akan maju ke Kasumba keesokan harinya. Dua kompi dari batalyon infanteri ke-7 harus tetap tinggal di Padang untuk menjaga gudang corak, sementara satu batalion prajurit angkatan laut yang berjumlah 600 orang akan menemani perjalanan di bawah perintah kapten angkatan laut Bouricius,” kata Letnan Kolonel Van Swieten dalam laporannya ketika hendak bergerak.
Baca juga:
Di dekat Sungai Lawas, pasukan Belanda bertemu orang Bali yang mempertahankan sebuah kuil suci. Sekelompok orang Bali di bawah Dewa Agung Istri Kanya berhasil menggempur rombongan Jenderal Mayor Michiels. Dalam pertempuran di Kasumba itu kaki kanan Michiels tertembak. Michiels akhirnya terluka parah hingga, menurut Koran Gazet van Limburg tanggal 25 Mei 1949, dokter militer berusaha menolongnya di Kapal Etna.
Peluru yang digunakan untuk menembak Michiels konon adalah batu berlian. Orang Bali percaya Michiels adalah orang sakti kebal peluru.
Michels merasa ajal makin dekat sehingga segera berwasiat kepada bawahannya terkait komando pasukan. Benar saja, dirinya tak tertolong lagi pada 24 Mei 1849. Letkol Van Swieten kemudian menggantikannya memegang pasukan Belanda di Bali untuk sementara waktu.
Jenazah Michiels lalu dibawa ke Batavia. Dia dimakamkan layaknya pahlawan oleh pihak Belanda.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar