Pembantaian dan Penjarahan di Bali Selatan
Tak hanya berasal dari Puri Denpasar pasca-Puputan Badung, koleksi benda rampasan yang direpatriasi tahun ini juga berasal dari sejumlah puri di Tabanan.
SEBANYAK 288 benda cagar budaya Nusantara yang berada di Belanda resmi dikembalikan ke Indonesia. Lebih dari 200 di antaranya merupakan benda jarahan semasa Puputan Badung dan Tabanan seiring ekspedisi militer Belanda di Bali Selatan pada 1906.
Ke-288 benda yang masuk daftar repatriasi tersebut meliputi empat arca: Ganesha, Brahma, Bhairawa, dan Nandi, serta 284 benda bersejarah yang dijarah usai pembantaian di Badung dan Tabanan. Peresmian serah terimanya diteken oleh Dirjen Kebudayaan RI Hilmar Farid dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda Eppo Egbert Willem Bruins di Wereldmuseum, Amsterdam, Jumat (20/9/2024).
“Ini kali kedua kami mengembalikan benda-benda yang tak semestinya berada di Belanda, berdasarkan rekomendasi-rekomendasi Komite Koleksi Kolonial. Pada periode kolonial, benda-benda cagar budaya (Indonesia) seringkali dijarah atau berpindah-tangan dalam berbagai cara,” ujar Menteri Bruins di laman resmi pemerintah Belanda, Jumat (20/9/2024).
Sebagaimana upaya repatriasi 2023 lalu yang berhasil memulangkan 472 benda bersejarah, pada agenda repatriasi 2024 kali ini juga terlebih dulu melalui provenance research (penelitian asal-usul) Commissie Koloniale Collecties. Khusus ratusan koleksi “Rampasan Perang Bali Selatan 1906”, benda-bendanya diriset tim pimpinan pakar sejarah Wereldmuseum, Caroline Drieënhuizen, sejak medio September 2023.
“Rampasan perang di Bali Selatan pada 1906 (benda-benda dari Badung, koin-koin dari Badung dan Tabanan, tombak-tombak dan keris-keris dari Wongaya Gede Tabanan) bisa dilacak sebelumnya sebagai benda pamer di Rijks Ethographic Museum di Leiden (kini Wereldmuseum). Koleksi yang dikumpulkan (seniman cum pakar litografi) Wijnand Otto Jan Nieuwenkamp pada 1906 di Bali mulanya tidak diberi keterangan sebagai jarahan Belanda karena beberapa bendanya berkaitan dengan cara-cara perampasan lain dan menjadi koleksi pribadi sebagai dampak perang,” kata laporan penelitian Commissie Koloniale Collecties dengan nomor advies ID-2023-7, “Collectie Puputan Badung/oorlogsbuit uit Zuid-Bali”.
Ekspedisi Berdarah
Pulau Dewata nan indah dan strategis bagi aneka komoditas perdagangan selalu jadi wilayah yang dilirik Belanda untuk dikuasai. Sejarawan dan pakar studi Asia Tenggara asal Amerika Serikat Willard Anderson Hanna dalam Bali Chronicles: Fascinating People and Events in Balinese History menyatakan, sejak pertengahan abad ke-19, wilayah-wilayah di Bali Utara memang sudah tunduk tapi tidak bagi kerajaan-kerajaan di Bali Selatan.
Kerajaan-kerajaan di Bali Utara baik Jembrana, Buleleng, maupun Karangasem pada permulaan abad ke-20 sudah berada di bawah kendali Belanda. Sementara, Kerajaan Klungkung, Tabanan, dan Badung yang berpusat di Denpasar masih “merdeka”. Kenyataan itu dijadikan alasan pemerintah Hindia Belanda untuk menggelar ekspedisi militer yang baru terjadi pada 27 Mei 1904, usai sebuah kapal dagang Cina berbendera Belanda, Sri Kumala, dijadikan objek hak tawan karang.
“Pada 27 Mei 1904 (kapal) Sri Kumala yang berlayar dari Banjarmasin karam setelah menabrak terumbu karang di pesisir perbatasan Badung-Gianyar dan dijarah oleh penduduk sekitar berdasarkan hak tawan karang yang diizinkan para penguasa (Bali),” tulis Hanna.
Pemerintah pusat Hindia Belanda lantas meminta ganti kerugian sebesar 7.500 gulden. Namun, lanjut Hanna, Raja Badung I Gusti Ngurah Made Agung, Raja Klungkung Dewa Agung Jambe II, dan Raja Tabanan Cokorda Ngurah Rai menolak tuntutan Belanda. Penolakan itu membuat Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz terdorong untuk menunjukkan superioritas militernya.
“Alhasil, pada Juni 1906 Belanda memblokade pesisir-pesisir pantai Badung dan Tabanan sementara mereka mengumpulkan pasukan ekspedisi. Pada Ekspedisi Militer ke-6 itu pasukan Belanda dipimpin Jenderal Ross van Tonningen dengan kekuatan tiga batalyon infanteri (KNIL/Tentara Kerajaan Hindia Belanda), satu detasemen kavaleri, dua baterai artileri, serta sokongan angkatan laut yang kuat,” tambah Hanna.
Pasukan ekspedisi itu mendarat di Pantai Sanur pada 14 September 1906 atau dua hari pasca-Raja Badung menampik ultimatum Jenderal Tonningen. Lima hari berselang, pasukan ekspedisi menggelar operasinya ke Puri Agung Kesiman, salah satu puri Kerajaan Badung di Desa Kesiman, dekat Denpasar yang lebih dulu diserang dengan bombardir dari meriam-meriam angkatan laut Belanda.
“Tembakan meriam sebanyak 200 kali dilepaskan ke arah kota Denpasar dan bersamaan dengan itu (pasukan Belanda) menduduki Puri Kesiman, sebelum melanjutkan serangannya dan menduduki Denpasar,” ungkap Anak Agung Gde Putra Agung dkk., dalam Puputan Badung 20 September 1906: Perjuangan Raja dan Rakyat Badung Melawan Kolonialisme Belanda.
Puri Kesiman ketika itu dikuasai Pangeran Gusti Ngurah Gede Kesiman. Tetapi saat pasukan Belanda tiba pada 19 September, purinya sudah ditinggalkan sebab sang pangeran sudah dibunuh salah satu pejabat lokal karena menolak memberi perlawanan terhadap Belanda.
“Karena terburu-buru ditinggalkan, banyak harta benda yang tertinggal di Puri Kesiman. Fotografer H.M. van Weede yang ikut serta turut mendeskripskan bagaimana ia berjalan melewati pura-pura yang indah dan pasukan Belanda merampas beberapa benda seperti meriam-meriam kapal peninggalan VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur), hingga sejumlah pedang yang cantik dengan dekorasi-dekorasi Portugis-Arab,” sambung laporan Commissie Koloniale Collecties.
Adapun Nieuwenkamp yang turut mencatat penjarahan itu dan dimuat dalam artikel suratkabar Algemeen Handelsblad edisi 24 Desember 1906, “Brieven uit Bali, Gitgit 1906”, mengungkapkan, harta benda lain yang juga dijarah berupa prasasti-prasasti dan dekorasi-dekorasi di pura, arca-arca 13 dewa-dewi beserta koin-koin emas yang terdapat di dalam arca-arca tersebut. Parahnya, sejumlah serdadu Belanda tidak hanya menjarah tapi juga merusak banyak pagoda hingga dekorasi-dekorasi pura lainnya.
Baca juga: Banjir Darah di Puri Smarapura
Pada 20 September 1906 pagi, pasukan Jenderal Tonningen tiba di Puri Agung Denpasar, pusat pemerintahan Kerajaan Badung. Di puri itulah Raja I Gusti Ngurah Made Agung dan para pengikutnya melancarkan Puputan Badung nan berdarah.
“Pasukan Belanda sempat mendapati keadaan yang aneh dan sunyi saat mendekati gerbang puri. Tetapi kemudian dalam seketika barisan Laskar Badung yang dipimpin sang raja sendiri muncul dari balik gerbang dengan berpakaian serba putih karena siap mati,” sambung Hanna.
Selain laskar, sebanyak 18 anggota keluarga raja, para istri, anak-anak dan kerabat kerajaan yang juga berpakaian serba putih ikut tempur bersenjatakan keris dan tombak. Perlawanan mereka direspon pasukan Belanda dengan rentetan tembakan senapan dan meriam. Nieuwenkamp mencatat, lebih dari 1.800 orang dari pihak Kerajaan Badung tewas.
“Setelah berakhirnya puputan, I Gusti Putu Djelantik dari Buleleng dan asisten residen Badung HJEF Schwartz ikut mengidentifikasi keris-keris dari sejumlah jenazah. Beberapa serdadu kolonial merampas pucuk-pucuk tombak, arca-arca, dan sejumlah ukiran kayu sebagai cenderamata dan Nieuwenkamp mencatatnya bukan sebagai rampasan perang resmi,” kata laporan penelitian tersebut.
Masih di hari yang sama, 20 September, pasukan Belanda bergerak lagi menuju Puri Agung Pemecutan. Tapi saat itu penguasanya, I Gusti Ngurah Gede Pamecutan, memerintahkan membumihanguskan purinya sebelum melakukan puputan kedua, di mana Gusti Ngurah Pemecutan dan ratusan pengikutnya juga gugur.
Kapten AAG Feullietau de Bruijn dalam laporannya pasca-puputan di Puri Pemecutan menyatakan, pasukannya ikut merampas sejumlah meriam era VOC, aneka senjata tajam, beberapa peti berisi “kepeng” atau koin Cina, dan sejumlah perhiasan. Pasukan Belanda rehat selama sepekan sebelum akhirnya bergerak lagi untuk mengepung Puri Tabanan pada 27 September 1906.
Penguasa Puri Tabanan I Gusti Ngurah Agung bersama sejumlah anggota keluarga dan ratusan laskar terpaksa menyerah. Tetapi pada 28 September dini hari, I Gusti Ngurah memilih bunuh diri. Para anggota kerajaan yang tersisa diasingkan ke Lombok. Sementara sejumlah keris pusaka, daun pintu gerbang puri, serta benda-benda lain berbahan perak dan emas dirampas Belanda.
Baca juga: Pembantaian di Puri Cakranegara
Namun, ternyata tidak semua anggota keluarga kerajaan di Puri Tabanan menyerah. Sagung Wah, adik perempuan mendiang I Gusti Ngurah Agung, sempat melarikan diri ke Wongaya Gede dan mencoba memberi serangan balik terhadap pasukan Belanda di Desa Tuakilang, medio November 1906.
Namun Sagung Wah beserta 33 pengikutnya gugur karena kalah persenjataan. Sejumlah keris dan tombak pusakanya lantas disita pasukan Belanda dan masuk dalam koleksi jarahan ekspedisi Bali Selatan.
Ratusan benda rampasan perang itu lantas dikirim ke Batavia pada 5 November 1906 untuk diserahkan ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Pada musim panas 1907, berangsur-angsur ratusan barang rampasan itu diangkut ke Belanda untuk disimpan di Rijks Ethnographic Museum, Leiden dan sempat dipamerkan dalam sebuah pameran pada Hari Paskah 1907.
Baca juga: Meminta Kembali Harta Karun Lombok Jarahan Belanda
Tambahkan komentar
Belum ada komentar