Dinas Sejarah Angkatan Laut Dulu dan Kini
Pasang-surut badan kesejarahan angkatan laut. Dibuat, dilikuidasi, dihidupkan kembali untuk menanamkan jiwa bahari.
BANGUNAN bertembok putih di Jalan Raden Saleh Raya Nomor 11, Jakarta Pusat itu bertopang pilar-pilar megah. Setelah melewati pintu besar model lawas, kita disuguhi beragam miniatur dan memorabilia kemiliteran maritim dari era Majapahit hingga masa modern. Galeri Museum Jalesveva Jayamahe itulah yang jadi etalase Dinas Sejarah Angkatan Laut (Disjarhal) untuk mengenalkan historiografi TNI AL kepada publik.
Di sebelah patung Laksamana Muda Mas Pardi, sebuah patung pria sedang menyandang pedang dan menyarungi keris tegap berdiri.
“Ini (patung) Jaladhimantri Nala. Jaladhimantri itu seperti laksamana,” tutur Kepala Dinas Sejarah AL (Disjarhal) Laksamana Pertama TNI Supardi kepada Historia.
Baca juga: Majapahit Menguasai Daratan dan Lautan
Laksamana Nala adalah salah satu panglima laut Kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Hayam Wuruk (memerintah tahun 1350-1389). Nala merupakan pengganti Gadjah Mada.
Tak jauh dari patung Pardi dan Nala, yang juga diabadikan TNI AL lewat sebuah kapal perusak KRI Nala (363), terpampang sebuah peluru kendali (rudal) berdimensi panjang 38 meter dan diameter 340 sentimeter.
“Ini (rudal) anti-kapal Harpoon yang baru datang. Dari arsenal (stok gudang) kita, kita bawa ke sini,” timpal Kasubdit Penulisan dan Produksi Disjarhal Kolonel Heri Sutrisno.
Baca juga: Kisah Garda Bahari di Awal Revolusi
Total ada 113 benda –patung, miniatur, foto lawas, dan memorabilia asli kapal-kapal TNI AL–dikoleksi Disjarhal yang dipajang di museum tersebut. Museum Jalesveva Jayamahe, yang dibentuk lewat Peraturan Kepala Staf Angkatan Laut Nomor 14 tahun 2020, didirikan untuk untuk memperkenalkan sejarah TNI AL kepada publik lewat edutainment di galeri Disjarhal. Museum tersebut diresmikan KSAL Laksamana TNI Yudo Margono pada 10 Agustus 2021.
Namun, saat ini museum tersebut masih belum dibuka. Pasalnya, galerinya masih dalam proses pembenahan.
“Makanya belum kita buka untuk umum karena masih pembenahan. Tentu kalau sudah rampung masyarakat umum bisa mengunjungi,” sambung Laksma Supardi.
Baca juga: Museum Bahari Ditelan Api
Disjarhal “Reborn”
Kursi-kursi putih itu berjajar rapi. Di salah satu bidang temboknya terpampang 19 foto tokoh TNI AL yang punya perhatian pada bidang sejarah, termasuk Laksma Supardi. Di sisi belakang latar kursi besar sang kadisjarhal, terpampang gambar buku, pena, dan Kepulauan Nusantara di dalam perisai berbentuk lingkaran dan jangkar disertai moto berbahasa Sanskerta: Katha Adhyapaka Amrtatwa (Indonesia: Sejarah Guru kehidupan.
Di ruangan itulah Laksma Supardi berkisah tentang asal-usul tentang seksi sejarah di lingkungan TNI AL. Institusi kecil yang pernah menjelma jadi lembaga berskala dinas pada era 1960-an dan 1970-an itu lantas dilikuidasi.
“Sebenarnya badan kesejarahan TNI AL pernah dibentuk 10 November 1961 (diresmikan 1962) dengan nama Seksi Sejarah atau Seksi ‘S’. Berkantornya di rumah dinas Deputi I KASAL Komodor Yos Sudarso (Jl. Diponegoro No. 51, Jakarta),” ujar Laksma Supardi.
Baca juga: Yos Sudarso Sebelum Pertempuran di Laut Aru
Pendirian Seksi S merupakan satu upaya serius ALRI (nama lama TNI AL) dalam mengembangkan sejarah insitusinya dan maritim pada umumnya. Keseriusan itu juga dibuktikan dengan pengangkatan AB Lapian, guru besar sejarah maritim Universitas Indonesia, menjadi kepada Seksi S periode 1962-1965.
“Tujuannya untuk pengembangan taktik dan strategi dengan mendatangkan para sejarawan dari universitas,” sambungnya.
Pendirian Seksi S sejalan dengan upaya yang dilakukan matra-matra lain dengan pendirian beberapa badan kesejarahan. Menurut Nugroho Notosusanto dalam Sejarah dan Hankam, sejarah pertahanan dan keamanan (Hankam) di lingkup TNI kala itu belum populer. Adalah Jenderal Abdul Haris Nasution dan beberapa tokoh senior lain yang mendorong dibentuknya badan-badan khusus kesejarahan.
“Hingga sekarangpun masih terdapat salah-anggapan, bahwa sejarah itu soal sepele (remeh) yang dapat digarap oleh siapapun dan karena itu tidak perlu diberi perhatian khusus. Syarat-syarat profesionalisme yang dianggap perlu bagi Zeni, Peralatan, Perhubungan, Kehakiman, Kesehatan, dan lain-lain tidak dianggap perlu bagi sejarah. Karena itulah jarang perwira yang mau mencari keahlian di bidang sejarah karena dianggap tidak membantu kariernya,” tulis Nugroho.
Baca juga: Warisan Nakhoda Sejarah Maritim Pertama
Oleh karenanya, pada 1971 TNI AL memperluas tugas pokok dan fungsi badan kesejarahannya menjadi Direktorat Sejarah Angkatan Laut dan Maritim. Direktorat itu selevel dengan Dinas.
“TNI-AD mendahului mempunyai badan sejarah yang khusus, yakni Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat (Pussemad) yang dibentuk tahun 1954. Angkatan Laut telah mempunyai Direktorat Sejarah Angkatan Laut dan Maritim tahun 1962, di mana Korps Komando (KKo/kini Korps Marinir) mempunyai seksi sejarahnya sendiri. Di Angkatan Udara kegiatan sejarah sudah dilakukan di lingkungan Direktorat Penerangan. Sedangkan di Angkatan Kepolisian, pekerjaan sejarah dilakukan di lingkungan Asisten Karya,” lanjut Nugroho.
Namun, Direktorat Sejarah Angkatan Laut dan Maritim tak berumur panjang. Pada 1984, Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani melikuidasi Direktorat Sejarah Angkatan Laut dan Maritim sehubungan dengan kebijakan Rencana Strategis (Renstra) III soal penataan postur di tiga matra. Urusan kesejarahan di TNI AL kemudian dilebur ke dalam Direktorat Perawatan Personil Angkatan Laut (Diswatpersal).
Baca juga: Petaka Menimpa Marinir di Perairan Nongsa
Pada 1991, badan kesejarahan di AL “dilahirkan” kembali dengan nama Sub Dinas Sejarah Angkatan Laut (Subdisjarhal). Ia bernaung di bawah Dinas Penerangan Angkatan Laut (Dispenal) hingga hampir tiga dekade ke depan. Hal itu dianggap sejumlah petinggi AL kurang efektif.
“Setelah 26 tahun ternyata dirasakan pembinaan sejarah tidak optimal karena pengembangan sejarah hanya dilakukan parsial untuk kepentingan kedinasan yang menaunginya. Ditandai dengan sejumlah indikator seperti semakin tidak dikenalnya tokoh-tokoh pejuang Angkatan Laut, semakin sulitnya mengembangkan doktrin karena minim data sejarah, susahnya mengembangkan taktik dan strategi karena terbatasnya data-data operasi di masa lalu sebagai perbandingan ke depan,” sambung Laksma Supardi.
Baca juga: Peran Pelaut Jerman dalam Angkatan Laut Republik Indonesia
KSAL Laksamana TNI Siwi Sukma Aji amat menyadari bahayanya ketiadaan sejarah pada matra yang dipimpinnya. Menurutnya, fondasi TNI AL lama-kelamaan bakal rapuh jika kehilangan sejarahnya sendiri. Keprihatinan itu mendorongnya menggulirkan kebijakan validasi organisasi TNI AL, yang salah satu poinnya menggagas pembentukan kembali Disjarhal, pada 2017.
“Visinya membangun kekuatan pertahanan matra laut dan menanamkan jiwa bahari bangsa. Untuk merealisasikannya kita punya tugas pokok dan fungsi riset; penulisan, produksi, dan publikasi; manajemen dokumen dan arsip sejarah Angkatan Laut; serta pengembangan museum dan monumen di lingkungan TNI AL,” terang Supardi.
Ketika Laksamana Siwi kemudian pensiun, gagasannya dilanjutkan suksesornya, Laksamana Yudo Margono, yang merealisasikan lewat Peraturan KASAL Nomor 14 tahun 2020. Disjarhal yang terdiri dari 64 personil resmi bertugas pada 26 Juni 2020. Sambil menunggu selesainya renovasi Gedung Disjarhal di Jalan Radel Saleh Raya, yang baru rampung pada Agustus 2021, para awaknya berkantor di mess personil TNI AL di Jakarta Timur.
“Sejak 1970 memang sudah milik TNI AL. Sebelumnya gedung ini belum seperti ini (berpilar megah). Dulu sekadar digunakan sebagai Balai Kesehatan Lantamal III Jakarta. Kemudian direnovasi pada Januari 2021, sementara kita berkantornya waktu itu sempat di Mess Bintara Tamtama Kampung Rambutan sampai Agustus 2021,” jelas Laksma Supardi.
Baca juga: Sepak Terjang Madmuin Hasibuan
Pembenahan arsip dan dokumentasi yang dilakukan Galeri Museum Jalesveva Jayamahe merupakan langkah awal program jangka panjang Disjarhal dalam riset untuk mendukung validitas historiografi sejarah TNI AL guna edukasi publik. Serangkaian program dibuat untuk mendukungnya. Salah satunya, diadakannya riset data sejarah sebagai penyokong konten monumen Pangkalan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) IV/Tegal pada medio 2021. Selain itu, kerjasama dengan komunitas museum nasional dan lokal dalam pembangunan Monumen Yos Sudarso di Salatiga, Monumen KRI Nanggala (402) di Markas Koarmada II Surabaya, dan kerjasama dengan Pemerintah Kota Bekasi memugar makam pahlawan Mayor M. Hasibuan.
“Khusus Monumen (KRI) Nanggala ini kasuistik ya. Gagasannya dari bapak KASAL (Yudo Margono) yang kita tindaklanjuti desain, penyusunan konten, perencanaan, pembangunan, hingga peresmian (15 Januari 2022). Tujuannya untuk mengenang dedikasi para awak KRI Nanggala yang saat ini sedang melaksanakan pelayaran abadi atau on eternal patrol, sebagai bangunan memorial untuk ziarah, dan mengenalkan sejarah kapal selam TNI AL kepada publik,” lanjutnya.
Disjarhal juga berencana membangun Museum Pusat TNI AL Surabaya. Bertempat di lahan seluas 32 hektare, museum rencananya mulai dibangun pada pertengahan tahun ini.
“Kalau rencana Museum Pusat TNI AL yang tujuannya mensosialisasikan konstruksi perjalanan sejarah TNI AL yang lebih lengkap dan ditampilkan secara representatif dengan desain tata pamer modern, kita memilih memang di Surabaya karena berdasarkan fakta ibukota Jawa Timur itu punya sejarah panjang jadi pusat perkembangan maritim sejak era Majapahit sampai penjajahan Belanda. Rencananya kita akan mulai Juni 2022 dan diagendakan dibuka untuk umum mulai akhir tahun ini juga atau awal 2023,” tandasnya.
Baca juga: Nanggala dalam Armada Indonesia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar