Warisan Nakhoda Pertama
Sebagai nakhoda sejarah maritim, dia tahu pentingnya laut bagi negara kepulauan Indonesia.
DULU Inggris dikenal sebagai “Raja Laut”. Armadanya begitu superior. Saking luas wilayah kekuasaannya, tak heran bila muncul semboyan “Inggris, negara di mana matahari tidak pernah terbit dan tenggelam.” Mereka sadar bahwa hanya dengan memanfaatkan kondisi geografis (laut) semaksimal mungkin plus kerja keras, kejayaan bisa diraih.
Berabad-abad silam kerajaan-kerajaan di Nusantara juga menyadari pentingnya laut sebagai penghubung dengan wilayah-wilayah lain. Laut juga membuka cakrawala pemikiran mereka. Informasi dan ilmu pengetahuan dari dunia luar, atau sebaliknya, masuk melalui laut. Kejayaan Sriwijaya, Majapahit, Malaka, Makassar, Ternate, Tidore, Samudera Pasai, atau Demak, misalnya, tak lepas dari pemahaman mereka akan laut.
Namun, seiring tenggelamnya kerajaan-kerajaan maritim, budaya maritim seakan sirna. Fokus perhatian beralih ke daratan, hingga kini. Laut terabaikan. Padahal, “jika berbicara tentang sejarah Nusantara, mau tak mau aspek kelautan patut diperhatikan,” tulis AB Lapian dalam naskah pidato pengukuhan guru besar luar biasanya, “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”, di Universitas Indonesia pada 4 Maret 1992.
Baca juga: Kesalahan Memahami Sejarah Maritim
Tanpa memperhatikan aspek maritim, lanjutnya, sejarah Nusantara hanya berkisar pada pulau yang terpisah-pisah. “Dengan demikian ada bagian yang besar dari pengalaman dan kegiatan penduduk Nusantara di masa lampau yang lolos dari pengamatan dan penelitian sejarawan bangsa kita,” tulis Lapian dalam Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX.
Adrian Bernard Lapian lahir di Tegal, 1 September 1929. Dia putra sulung di antara enam anak dari pasangan Bernard Wilhelm (BW) Lapian dan Maria Adriana Pangkey. Ayahnya, BW Lapian, adalah anggota Minahasaraad (Dewan Minahasa), mewakili distrik kelahirannya, Kawangkoan. Pada 1938 dewan ini mengangkatnya sebagai anggota Volksraad. Ayahnya pernah menjadi kepala Pemerintahan Sipil Sulawesi Utara/Tengah hingga pejabat (acting) gubernur Provinsi Sulawesi yang berkedudukan di Makassar. BW Lapian dikenal sebagai pejuang Minahasa, sehingga mendapat pengakuan pemerintah sebagai pahlawan nasional.
Lapian kecil punya mimpi untuk pergi berlayar ke Jawa. Ketika sekolah dasar, di Tomohon, dia digigit anjing. Jika anjing rabies, pasien harus dibawa ke Institut Pasteur di Bandung, satu-satunya yang memiliki serum antirabies. Lapian berharap anjingnya rabies. Tapi dia kecewa. Anjing itu dinyatakan sehat. Mimpi berlayar pun sirna. Ketika bersekolah di Louwerierschool, setingkat Hollands Indische School (HIS) atau sekolah berbahasa Belanda (tujuh tahun) untuk penduduk bumiputera, mimpi itu mengembang kembali, jika lulus dengan baik. Tapi Jepang keburu datang.
Baca juga: Mengembalikan Tradisi Bahari yang Hilang
Pada akhirnya, Lapian berlayar juga. Pernah menjadi wartawan Indonesian Observer, antara lain meliput Konferensi Asia-Afrika di Bandung, Lapian akhirnya menghabiskan hidupnya di dunia akademik. Lulus dari Universitas Indonesia, Lapian menjadi dosen tidak tetap di Universtitas Gadjah Mada, IKIP Yogyakarta, dan Universitas Sam Ratulangi. Dia juga bekerja di Seksi Sejarah Angkatan Laut dan Maritim Markas Besar Angkatan Laut –pada 1965 dia menjadi kepalanya. Selama bekerja di sini dia ikut dalam beberapa operasi pelayaran. Di sinilah, “…setapak demi setapak berkembang keyakinan, bahwa sebuah negara yang terdiri dari pulau-pulau dengan sebidang laut di sekelilingnya, harus memiliki segala syarat yang diperlukan untuk menjadi negara maritim yang bermartabat,” tulis Lapian, “Berlayar dan Bermimpi” dalam antologi Guru-Guru Keluhuran karya St. Sularto.
Saat itu sejarah maritim merupakan bidang baru yang kurang populer. Beberapa teman menyarankannya agar mengalihkan ke bidang lain. Tapi, sekali layar terkembang, pantang surut berpulang. Lapian tetap pada pilihannya. Bahkan dia kian aktif mengarungi samudera ilmu sejarah maritim Nusantara. Karya pertamanya berjudul “Beberapa Tjatatan Mengenai Djalan Dagang Maritim ke Maluku Sebelum Abad XVI” dimuat Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia (MISI) tahun 1965.
Magnum opus Lapian berjudul Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, lahir pada 1987. Karya ini merupakan disertasinya untuk memperoleh gelar doktor di Universitas Gadjah Mada. Promotornya, begawan sejarah Sartono Kartodirdjo, memuji disertasi itu.
“Dengan disertasinya tersebut… AB Lapian sekaligus membuka dua lembaran baru, yaitu sejarah maritim dan sejarah kawasan,” tulis Susanto Zuhdi dan Edy Sedyawati dalam pengantar Arung Samudera: Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian.
Dalam disertasi itu, Lapian memaparkan peran penting orang laut, bajak laut, dan raja laut di perairan Sulawesi dalam kaitannya dengan sistem perairan yang lebih luas (Nusantara). Bukan hanya aspek politik dan ekonomi. Aspek budaya dan psikologis turut membentuk dan dibentuk satuan bahari tersebut. Sampai batas tertentu Laut Sulawesi juga menjadi pemain dalam jaringan global; terpengaruh dan mempengaruhi fenomena di luar dirinya.
“Studi ini kiranya dapat merupakan usaha awal untuk mendekati dan mempelajari kawasan ini secara menyeluruh,” tulis Lapian dalam disertasinya.
Baca juga: Menumbuhkan Budaya Bahari di Indonesia
Dalam koridor sistem bahari, fenomena bajak laut jelas tak bisa dikesampingkan. Konsep bajak laut di Nusantara, menurut Lapian, tak selalu bisa disepadankan dengan konsep pirate (Inggris dan Prancis), piraat atau zeerover (Belanda), atau pirata (Italia, Spanyol, dan Portugis). Di Nusantara, seringkali bajak laut mendapat dukungan dari masyarakat pesisir. Mereka dianggap pahlawan yang menyelamatkan masyarakat dari gangguan luar. Dan dalam praktiknya, batasan antara bajak laut, orang laut, dan raja laut sangatlah tipis. Seringkali, orang laut sekaligus berperan sebagai bajak laut, atau bajak laut naik jadi raja laut atau sebaliknya. Yang pasti, ketiganya memainkan peranan penting di perairan di Sulawesi, bahkan Asia Tenggara.
Disertasi itu, juga karya-karya Lapian lainnya, mengukuhkan reputasinya sebagai begawan sejarah maritim. Tak berlebihan bila sejarawan Malaysia Shaharil Talib, dalam konferensi International Association of Historians of Asia (IAHA) ke-15 di Jakarta pada 1998, menjulukinya “Nakhoda Pertama Sejarawan Maritim di Asia Tenggara”.
Karena keahlian dan dedikasinya, dia memperoleh predikat Ahli Peneliti Utama LIPI dan Sejarawan Utama.
Tak ada nakhoda yang tak singgah. Pun demikian dengan Lapian. Usia jualah yang menghentikan pelayarannya. Tumor otak membuat kemampuannya berkomunikasi dan berbicara terganggu. Meski sempat mendapat perawatan di rumah sakit, jiwanya tak tertolong lagi. AB Lapian menghembuskan nafas terakhir pada 19 Juli lalu.
Selain dikenal sebagai pribadi yang rendah hati, AB Lapian juga pendidik yang sabar. Di mata Susanto Zuhdi, Lapian “selalu membantu memberikan ide-ide, menunjukkan sumber-sumber, dan tidak pernah mengeluarkan kata-kata celaan yang membikin gentar peserta didik.”
Baca juga: Museum Bahari Ditelan Api
Lapian meninggalkan warisan berharga tentang betapa pentingnya orientasi kelautan. “Sejak 1957 kita telah menyatakan diri sebagai negara kepulauan, suatu archipelagic state. Kata asal archipelago secara harfiah berarti ‘laut utama’, jadi paradigma harus dibalik. Bukan pulau-pulau yang dikelilingi laut, melainkan laut utama yang bertaburan dengan banyak pulau –lebih dari 13.000,” tulisnya dalam “Bermimpi dan Berlayar”.
Lapian kemudian mengutip Alfred Thayer Mahan –perwira angkatan laut Amerika Serikat, geostrategist, dan pendidik, yang ide-idenya tentang pentingnya laut mempengaruhi kekuatan angkatan laut di seluruh dunia– bahwa negara yang berpotensi menjadi sebuah kekuatan maritim harus berpenduduk banyak, tapi yang lebih penting lagi adalah jumlah penduduk yang berorientasi ke laut (soft power). Selain itu memiliki hard power dalam bentuk angkatan laut yang tangguh dan armada niaga yang besar –dua hal yang butuh biaya besar sehingga belum bisa direalisasikan Indonesia. “Sebaliknya, untuk mengembangkan soft power, kita secara relatif tidak usah mengeluarkan dana yang besar, bisa mulai dengan mengubah kurikulum sekolah yang mendekatkan generasi mendatang dengan hal ikhwal kemaritiman,” tulis Lapian.
Jika masih meyakini nenek moyang kita orang pelaut, warisan Lapian semestinya mendapat perhatian. Selamat berlayar, Adrian Bernard Lapian.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar