Yos Sudarso Sebelum Pertempuran di Laut Aru
Moersjid dan Yos Sudarso sepakat untuk mendarat bersama di Tanah Papua. Hadangan Belanda di Laut Arafuru memisahkan mereka.
Kolonel Moersjid bergegas menuju Indonesia kawasan timur. Dia yang menjabat Asisten II/Operasi KSAD ditugaskan untuk mempersiapkan infiltrasi sekompi pasukan ke Kaimana, Papua. Tingkat kerahasiaan operasi bersandi “Silent Raid” ini sangat tinggi. Tiada seorang pun anggota keluarga yang tahu kemana Moersjid akan pergi, termasuk sang istri Siti Rachmah yang sedang mengandung.
“Yang sangat khawatir justru Ibu saya, karena dia enggak tahu ayah pergi ke mana, hanya mendengar berita setelah kejadian,” ujar Sidharta Moersjid, putra ke-4 Moersjid kepada Historia.
Sebelum berangkat Moersjid menghadap kepada atasannya Mayjen Ahmad Yani. Selain menjabat Deputi I/Operasi KSAD, Yani juga berkedudukan sebagai Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi Pembebasan Irian Barat(KOTI Pemirbar). Moersjid melaporkan bahwa Deputi I/Operasi KSAL Komodor Josaphat Soedarso (selanjutnya disebut Yos Sudarso) akan menyertai rombongan sukarelawan Angkatan Darat.
Kesempatan itu juga dipakai Moersjid untuk permisi kepada Yani. Dia bermaksud memperkuat moril anak buahnya yang akan didaratkan ke pantai selatan Papua itu. Selaku Asisten II/Operasi, Moersjid ingin ikut mengantarkan mereka sampai garis depan. Sebagaimana tersua dalam Tri Komando Rakyat Pembebasan Irian Barat yang disusun tim Pusat Sejarah ABRI, antara Moersjid dan Yani kemudian terjadi pembicaraan.
“Pak Yani mau ikut?" ajak Moersjid.
“Untuk apa?” Yani malah balik bertanya.
“Moril dong,” kata Moersjid, “Hidup mereka tinggal sebulan!”
“Aku sibuk ...Banyak pekerjaan. Kau saja!” ujar Yani.
Maka pada 12 Januari 1962 berangkatlah Moersjid ke Pangkalan Udara Leftuan di Kepulai Kei, Ambon. Turut bersama Moersjid Mayor Roedjito, komandan operasi pendaratan. Mereka bersama sekompi pasukan menumpang pesawat C-130 Hercules. Sementara empat kapal jenis Motor Torpedo Boat (MTB) yang akan digunakan untuk pendaratan telah diberangkatkan beberapa hari lebih dahulu.
Keesokan sore harinya, pasukan diangkut dengan kapal induk KRI Multatuli menuju Pulau Ujir di sebelah barat Kepulauan Aru. Mereka tiba di Pulau Ujir pada pagi hari 14 Januari. Semua pasukan kemudian disebar masing-masing satu peleton ke dalam tiga kapal MTB: KRI Harimau, KRI Matjan Kumbang, dan KRI Matjan Tutul. Adapun satu kapal lagi, yakni KRI Singa harus tertinggal di pangkalan karena kehabisan bahan bakar.
Baca juga:
Moersjid dan Yos Sudarso tetap berdiam di KRI Multatuli mematangkan persiapan pendaratan. Diatas kapal, Moersjid dan Yos terlibat perbincangan serius. Kedua perwira ini sebenarnya tidak direncanakan ikut menyusup dalam pendaratan. Namun rupanya mereka bersepakat untuk sama-sama ikut mendarat bersama pasukan untuk melecut semangat para prajurit.
Menurut Moersjid sebagaimana ditulis Julius Pour dalam Konspirasi Dibalik Tenggelamnya Matjan Tutul, setelah makan malam dia berbicara dari hati ke hati dengan Yos Sudarso. Mereka berembug di kamar sampai tengah malam merencanakan teknis infiltrasi. Hal lain yang juga dibicarakan adalah keinginan mendesak Kolonel Soedomo – perwira pelaksana operasi dari AL – agar mengizinkan Moersjid dan Yos Sudarso mendarat. Pukul 02.00 dinihari, pembicaraan antara Moersjid dan Yos Sudarso pungkas.
Sebelum beristirahat, Moersjid mendapati Sersan Mayor Muhammad Iding duduk sendirian mendengarkan radio transistor. Iding berasal dari kesatuan RPKAD dan menjadi komandan peleton di KRI Matjan Tutul. Iding tampak gelisah. Moersjid pun menghampirinya.
“He...Kau kenapa belum tidur?” tegur Moersjid
“Bagaimana besok, Kolonel?” Si Sersan bertanya kebingungan.
“Mana Bapak tahu!” kata Moersjid.
“Saya….” kata Iding tergagap-gagap karna gugup.
“Sudah, jangan bingung! Soal adanya korban sudah ada yang mengurus. Siapa namanya, Bapak tidak tahu. Tetapi itu ada!” demikian Moersjid meyakinkan anak buahnya itu sebagaimana dituturkannya kembali kepada tim Pusat Sejarah ABRI pada 25 Januari 1990.
Baca juga:
Pada 15 Januari 1962 pukul 09.00 pagi, Soedomo memberikan pengarahan terakhir. Soedomo didampingi komandan masing-masing kapal MTB. Mereka antara lain Mayor (Laut) Samuel Moeda (KRI Harimau), Kapten (Laut) Wiratno (KRI Matjan Tutul), dan Letnan (Laut) Sugardjito (KRI Matjan Kumbang). Sebelum menentukan kapal yang dipilihnya, Yos Sudarso menanyakan sesuatu kepada perwira AL peserta pengarahan. Cara Yos Sudarso memilih kapalnya dituturkan Samuel Moeda (Laksama Purn.) kepada Tim Pusat Sejarah ABRI pada 15 November 1990.
“Kapal mana yang komandannya termuda?” ujar Yos Sudarso.
“Kapten Wiratno, Komodor,” jawab Wiratno, Komandan Matjan Tutul.
“Bapak ikut kapalmu, Kapten,” kata Yos Soedarso sambil memalingkan pandangannya kepada Wiratno.
Sebelumnya untuk alasan keamanan, Soedomo telah menawarkan agar Yos Sudarso menaiki KRI Harimau. Namun, Yos Sudarso sudah kadung menetapkan pilihannya. Moersjid yang tadinya ditempatkan di KRI Matjan Tutul lantas mengajukan protes. Menurutnya kurang lazim menempatkan dua pimpinan angkatan selama operasi di wilayah perbatasan dalam satu kapal. Soedomo akhirnya memindahkan Moersjid ke KRI Harimau bersamanya.
Pukul 16.00, ketiga kapal MTB dalam keadaan siap tempur. Tepat pukul 17.00. kapal-kapal tersebut mulai bergerak dari Pulau Ujir menuju Kaimana. Dalam formasi berbanjar, KRI Harimau berada di depan sebagai kapal komando, KRI Matjan Tutul di tengah, sedangkan KRI Matjan Kumbang di belakang untuk menjaga radar.
Baca juga:
Di tengah lautan Arafuru, iring-iringan kapal MTB dipergoki pesawat Neptune Belanda yang sudah mengintai sejak bertolak dari Pulau Ujir. Pesawat itu kemudian melaporkan kepada kapal fregat AL Belanda Eversteen dan Kortaener. Atas instruksi Yos Sudarso, KRI Matjan Tutul terus melaju dan memberikan perlawanan. Dengan demikian, KRI Harimau dan KRI Matjan Kumbang punya kesempatan putar haluan untuk mundur. Tidak ayal lagi pertempuran tidak seimbang pun berkobar. KRI Matjan Tutul digempur dua pesawat tempur dan dua kapal perusak Belanda.
Komodor Laut Yos Sudarso gugur bersama Kapten Wiratno berkalang samudra di dasar lautan Arafuru. Sementara Moersjid berhasil menyelamatkan diri bersama rombongan di dua kapal MTB yang tersisa. Kabar pertempuran di Laut Arafuru mengejutkan publik di Indonesia. Meski Moersjid luput dari maut, sang istri yang menanti di Jakarta cemas luar biasa. Keadaan batin istri Moerjid berpengaruh terhadap kondisi si jabang bayi.
“Dan akhirnya adik yang sedang dikandung meninggal dan diberikan nama Irianto,” kenang Sidharta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar