Prasasti Damalung yang Hilang Ditemukan di Negeri Seberang
Prasasti dari lereng Gunung Damalung (Merbabu) ini sempat hilang dua abad. Penanda peralihan bahasa Jawa Kuna ke Jawa Baru.
DI sebuah gudang museum di kota kecil ‘s-Gravenzande, Provinsi Zuid-Holland, Belanda, teronggok Prasasti Ngadoman atau kondang disebut Batu Damalung. Prasasti ini ditengarai jadi salah satu saksi bisu peralihan aksara Kawi atau Jawa Kuna ke Jawa Baru di akhir era Kerajaan Majapahit.
Prasasti Ngadoman ditemukan kembali seiring kunjungan sejarawan Bonnie Triyana ke ‘s-Gravenzande pada 7 Agustus 2024. Ia sebelumnya mendengar tentang Prasasti Ngadoman itu dalam sebuah diskusi di Salatiga, Jawa Tengah, awal 2023. Lantas, ia dibantu sejarawan dan kurator Museum Volkenkunde Leiden, Pim Westerkamp, melacak prasasti itu hingga akhirnya ditemukan setelah sekira dua abad berdiam di Belanda.
Disebut Prasasti Ngadoman karena benda tersebut ditemukan di Ngadoman (kini wilayah Kabupaten Semarang) oleh Residen Semarang Hendrik Jacob Domis, medio 1824. Sedangkan nama alias “Batu Damalung” merujuk pada lokasi Ngadoman di lereng Gunung Merbabu, yang dalam bahasa Jawa Kuno disebut Damalung.
Setelah ditemukan pada 1824, Domis menempatkannya di halaman kediamannya di Salatiga. Menurut arkeolog Prof. Edi Sedyawati dalam Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum, prasasti itu diperkirakan berasal dari tahun 1450 menjelang keruntuhan Majapahit (1293-1468).
“Secara politis, masa antara keruntuhan Majapahit (prasasti yang terakhir Prasasti Jiu 1468 M) sampai dengan abad ke-17 M. Peralihan dari kebiasaan menggunakan aksara Jawa Kuna (seperti pada prasasti) ke aksara Jawa Baru (pada naskah sastra) pun telah terjadi,” tulisnya.
Menurut Edi Sedyawati, memang terjadi perbedaan perubahan aksara di antara sejumlah prasasti era Singhasari dan Majapahit di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pembaruan lebih sering terlihat di beberapa prasasti yang terdapat di Jawa Timur.
“Di lain pihak perkembangan aksara Jawa Kuna Jawa Tengah (abad ke-10 M) tidak terdeteksi karena kurangnya data yang ada. Berabad-abad kemudian, munculnya prasasti Ngadoman pada 1450 M ternyata menunjukkan cukup banyak persamaan di samping sejumlah perbedaan sehingga patut dianggap sebagai perkembangan dari aksara Jawa Kuna di Jawa Tengah (abad ke-10),” imbuhnya.
Baca juga: Puncak Seni Arca dari Candi Singhasari
Prasasti Ngadoman di Belanda
Prasasti Ngadoman atau Batu Damalung ditemukan Residen HJ Domis saat berkunjung ke lereng Gunung Mebabu, medio 1824. Sebagaimana yang ia tuangkan dalam Salatiga, Merbaboe en de Zeven Tempels (1825), ia membawanya ke kediamannya di Salatiga dan memperlihatkannya kepada Demang Salatiga, Ngabehi Ronodipuro.
“Saya menemukan benda itu di sisi timur (lereng) Gunung Merbabu, di mana bendanya terdapat aksara tertentu (kuno) dan saya merasa bendanya begitu penting untuk jadi perhatian. Saya bawa ke Salatiga dan Demang Salatiga Ronodipuro memastikan bahwa itu aksara Jawa Kuna,” tulis Domis.
Baca juga: Menggali Isi Prasasti
Akan tetapi Ronodipuro tak mengerti bahasanya. Oleh karenanya, salinan aksara itu dikirim Domis ke Panembahan Sumenep yang dianggap lebih mengerti bahasa Kawi. Dari sang Panembahan Sumeneplah aksara di prasasti itu mendapat terjemahan pertama bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Bunyinya:
“Ini pengajaran kalau siapa yang mau dapat tempat besar yang tentu dengan selamat, mauannya mesti pakai apa yang jadi kebaikan dengan betul terus terang dalam hatinya, dengan yang keras pegang agama, bicara jangan dapat ingatan yang jadi busuk, supaya di belakang kali biar dapat yang terlebih kebesaran, di atas itu dapat jalanan ingatan terlalu terang seperti mentari dan bulan. Semoga orang yang mesti tahu orang yang dapat kebesaran itu, orang yang turut perintahnya Batara, tandanya yang menunjukkan siapa yang tiada turut itu perintah, dapat bagian hukuman neraka.
Apa bekas pakirjan yang sudah dijalani itu menjadi pembelinya pekerjaan baru, lagi siapa yang kasih nama busuk sama orang, tentu dapat kendiri, dari itu jangan lupa pujinya supaya jangan sampai melanggar, apa yang jadi larangan, sungguh-sungguh, ini pengajaran yang betul, siapa yang bisa jalani, segala yang melihat sama dia terlalu cinta dingin hormatnya.
Di atas muji tidak ada lebih dari tujuh buku, baiknya, sungguh itu yang taun temponya dia kerja 427”.
Prasasti Ngadoman lantas diserahkan ke Bataviaasch Genootschap atau Lembaga Kebudayaan di Batavia (kini Museum Nasional Jakarta). Sedangkan terjemahannya dalam bahasa Melayu dan Belanda diterbitkan dalam risalah Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Vol. 10, tahun 1825.
Kendati begitu, masih samar bagaimana Prasasti Ngadoman atau Batu Damalung bisa sampai ke Belanda. Catatan lain, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indi, Vol. 91 bertahun 1873, menyatakan ada terjemahan lain prasasti itu di Museum Leiden yang artinya pada tahun tersebut Batu Damalung sudah berada di negeri Belanda.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar