Gaya Hidup Orang Aceh Abad ke-17
Bagaimana para penjelajah Barat memberikan penilaian mereka terhadap keseharian orang-orang Aceh.
Aceh menjadi salah satu persinggahan para pelaut dunia yang datang ke Nusantara. Sejak era pelayaran, wilayah itu telah membuka diri dengan dunia luar. Posisinya yang strategis (ada di sekitar Malaka dan penghubung dataran Asia), menjadi sebab banyak bangsa singgah ke negeri paling ujung di pulau Sumatera tersebut.
Terbukanya pelayaran mengantarkan bangsa-bangsa dalam interaksi yang lebih dalam dengan penduduk Aceh. Aktifitasnya tidak hanya tercatat oleh bangsa pendahulu (Tiongkok dan Arab) saja, tetapi juga oleh masyarakat Eropa yang datang belakangan. Para pelaut Barat menggambarkan kehidupan penduduk lokal dalam catatannya, termasuk cara hidup yang terasa asing di mata mereka.
Cara Berpakaian
Catatan yang menyebutkan nama Aceh muncul pada pertengahan abad ke-16. Tome Pires, penjelajah Portugis, menyebutnya sebagai Achin. Pires menjadi penjelajah Eropa pertama yang menulis daerah itu pada catatan penjelajahannya, Suma Oriental. Berdasarkan peta bertahun 1540, wilayah kuasa Aceh membentang hingga ke pedalaman. Aceh, kata Pires, adalah negeri pertama yang dapat ditemukan setelah menelusuri terusan Pulau Sumatera.
Baca juga: Penampilan Orang Aceh di Masa Lalu
Gambaran lebih jelas tentang penduduk Aceh datang dari penjelajah Prancis Francois de Vitre. Ia tiba di Aceh pada 26 Juli 1602 ketika kekuasaan dipegang oleh Sultan Ali Riayat Syah. Berdasar penggambaran Vitre diketahui bahwa kebanyakan orang Aceh pada waktu itu hanya mengenakan pakaian berupa ikat pinggang yang dililitkan pada tubuh untuk menutupi bagian kemaluan. Sedang bagian lain dibiarkan terbuka. Pakaian yang digunakan penduduk biasanya dari belacu biru, bahan paling bagus yang bisa ditemui di sana, dengan warna merah lembayung.
Menurutnya, kebiasaan orang Aceh yang suka memakai sorban juga sungguh aneh. Sorban itu diikat seperti gulungan sedemikian rupa hingga ujung kepalanya tak tertutup. Sementara seorang pedagang Inggris bernama Peter Mundy menyebut jika semua laki-laki mencukur rambut di bibir atas dan dagungnya. Semua orang Aceh berjalan tanpa alas kaki, baik raja maupun penduduk biasa.
Menjelang akhir abad ke-17, cara berpakaian sebagian besar penduduk Aceh mulai berubah. Dikisahkan Guillaume Dampier, dikutip Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), di Aceh sudah banyak perempuan yang mulai menggunakan perhiasan di telinganya.
“Yang paling terkemuka dari mereka memakai kupiah yang pas di kepala, terbuat dari kain wol yang diwarnai merah atau warna lain dan yang bentuknya seperti topi tanpa tepi … mereka memakai celana pendek dan orang bangsawan memakai sepotong kain sutera yang longgar di atas pundak … mereka tetap telanjang kaki, hanyalah yang kaya-kaya yang memakai semacam sandal,” tulis Dampier.
Perihal Makan
Penduduk Aceh digambarkan tidak terlalu banyak makan. Para pelaut Barat menganggap kebiasaan itu aneh. Karena mereka dapat menghabiskan banyak makanan dalam satu waktu. Sehingga orang Aceh disebut terlalu sederhana soal makanan. Penduduk di negeri itu hampir selalu makan nasi dengan sedikit ikan dan sedikit sayur. Hanya orang kaya dan terpandang yang makan dengan ayam yang dibakar atau direbus untuk persediaan satu hari penuh.
Baca juga: Hubungan Aneh Belanda-Aceh
“Seandainya ada dua ribu orang Kristen di negeri mereka, maka segera mereka akan kehabisan sapi dan unggas,” ungkap Dampier.
Namun Lombard sendiri menyebut pandangan para penjelajah terhadap kebiasaan makan orang-orang Aceh terlalu dangkal. Mereka tidak memperhitungkan adanya “waktu makan”, yang berlaku di kalangan masyarakat Aceh. Karena para penduduk biasanya menyiapkan makanan untuk sehari penuh, sehingga tidak dihabiskan dalam satu waktu.
Sistem Pernikahan
Mengenai sistem perkawinan di Aceh, peneliti Belanda Snouck Hurgronje telah membahasnya lengkap dalam Orang Aceh: Budaya, Masyarakat, dan Politik Kolonial. Namun penelitiannya itu baru dilakukan pada abad ke-19. Kajian terdahulu tentang permasalahan tersebut datang dari penjelajah Prancis Augustin de Beaulieu abad ke-17.
Dalam De Rampspoedige Scheepvaart der Franschen naar Oostindien, onder’t beleit van de Heer Generaal Augustyn van Beaulieu, met drie Schepen uit Normandyen, Beaulieu mengungkapkan sejumlah kebiasaan di dalam praktek pernikahan orang Aceh yang tidak ia pahami. Malah orang Prancis ini menyebutnya sebagai hal yang menarik. Ia mengatakan bahwa sistem itu dijalankan sesuai hukum agama yang berlaku di negeri itu.
Baca juga: Uang Aceh Tak Pernah Lemah
“Mereka memperistri perempuan sebanyak yang mereka inginkan atau dapat mereka hidupi, tetapi salah satu di antara perempuan itu adalah istri utama dan anak-anaknyalah yang menjadi pewaris sah. Mereka tidak memperlihatkan istri mereka atau mengizinkannya ke luar rumah. Si suami biasanya memperoleh dara muda dan ia harus membayar untuk memperolehnya dari orang tuanya, dan harus memberinya sebagian dari harta bendanya sebagai warisan,” ucap Beaulieu seperti dikutip Lombard.
Mengenai harta dalam keluarga, perempuan harus memberikan seluruhnya kepada sang suami. Namun ia tetap menerima sebuah surat yang dapat digunakan untuk mengklaim hartanya itu jika suatu saat mereka bercerai. Sementara jika perpisahan terjadi karena si suami meninggal, istri menerima harta bawaan di luar mas kawin ketika suami menyuntingnya, dan harta itu tidak dapat diklaim oleh pihak manapun.
Sedangkan perihal perceraian, Lombard mengatakan jika di Aceh perempuan mendapat beberapa keuntungan yang tidak dikenal di daerah-daerah Islam lain yang lebih ke barat. Suami tidak bisa mencampakkan istrinya begitu saja. Perceraian dapat terjadi apabila keduanya menginginkan hal tersebut.
“Jika si suami mempunyai keinginan sedemikian dan si istri tidak, si suami mempunyai piutang berupa maharnya dan harus membayar bunga baru. Demikian juga si istri tidak dapat kawin lagi. Dan mereka terpaksa tinggal bersama, sekalipun mereka tidak bercampur,” ungkap Lombard.
Baca juga: Para Sultanah di Kesultanan Aceh
Tambahkan komentar
Belum ada komentar