Dayo, Pusat Kerajaan Sunda Terakhir
Pusat pemerintahan terakhir kerajaan Sunda berada di sebuah wilayah bernama Dayo. Keberadaannya tercatat dalam berita orang-orang Eropa dan informasi tertulis orang-orang Sunda sendiri.
Keberadaan Sunda Empire mulai meresahkan. Sejak kemunculannya di awal 2020, banyak pernyataan mereka yang dianggap oleh sejumlah pihak tidak selaras dengan realita. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pun angkat bicara soal kelompok yang menggegerkan publik dari daerahnya tersebut. Dilansir KompasTV, pria yang akrab disapa Kang Emil ini menyebut kalau masih ada saja orang-orang yang menjual romantisme sejarah demi eksistensinya. Ia juga merasa prihatin karena banyak yang mempercayainya.
"Banyak orang stres ya di Republik ini, menciptakan ilusi-ilusi. Jangan percaya terhadap hal-hal yang tidak masuk ke dalam logika akal sehat," ucap Kang Emil.
Para akademisi pun secara tegas membantah berbagai klaim petinggi Sunda Empire, Rangga Sasana. Dalam program televisi Indonesia Lawyers Club, 20 Januari 2020, Sunda Empire semakin berani angkat bicara. Dengan percaya diri, mereka menyebut bahwa pusat pemerintahan dunia ada di Bandung. Bahkan organisasi dunia, seperti PBB dan NATO, lahir di Kota Kembang itu.
Secara historis, belum ada data yang menyebutkan Bandung pernah menjadi pusat dunia. Bahkan bagi urang Sunda sendiri, Bandung bukanlah tempat satu-satunya yang menjadi pusat terakhir segala aktifitas kehidupan mereka. Berdasarkan data-data sejarah, justru sebuah kota bernama Dayo-lah yang menjadi pusat pemerintahan terakhir penguasa wilayah barat Jawa ini, sebelum benar-benar hancur akibat serangan pasukan Muslim dari Demak dan Banten. Keberadaannya tercatat baik di dalam naskah tradisional maupun catatan perjalanan orang-orang Eropa. Tempat itu eksis hingga akhir kekuasaan kerajaan Sunda di tanah Jawa. Kini kota itu menjadi Kabupaten Bogor dan Kota Bogor dan masuk dalam wilayah provinsi Jawa Barat.
Kesaksian Penjelajah Eropa
Keberadaan pusat pemerintahan kerajaan Sunda berdasar kesaksian bangsa Eropa mula-mula diceritakan oleh penjelajah Portugis Tome Pires pada permulaan abad ke-16. Sejak pendaratan pertamanya di Jawa, nama Sunda sudah santer terdengar. Namun negeri itu masih terlalu asing baginya. Ia lalu mencari sebanyak-banyaknya informasi tentang negeri yang mungkin akan disinggahinya itu.
“Kerajaan Sunda menguasai setengah Pulau Jawa.” Keyakinan itu tertanam di benak sebagian besar orang di pelabuhan tempat Tome Pires singgah. Sementara mereka yang memiliki kedudukan di pemerintahan meyakini bahwa kerajaan Sunda menduduki sepertiga atau seperdelapan bagian pulau.
Dari kabar yang diterima Pires, luas kekuasaan kerajaan Sunda mencapai 300 league atau sekitar 1776 kilometer. Mencakup Pelabuhan Banten, Pelabuhan Sunda Kalapa, Pelabuhan Cimanuk, hingga ke Sungai Cimanuk yang merupakan batas antara kerajaan Sunda dan para penguasa dari Jawa (merujuk pada kerajaan-kerajaan di Jawa bagian tengah dan timur).
“Diceritakan bahwa pada zaman dahulu, Tuhan telah menciptakan sungai untuk memisahkan Pulau Jawa dari kerajaan Sunda dan begitu pula sebaliknya. Sungai ini ditumbuhi pohon di sepanjang aliran dan kabarnya, pohon-pohon di masing-masing sisi memiliki cabang yang menyentuh tanah dan condong ke arah masing-masing negeri. Pohon-pohon ini berukuran besar dan menjulang tinggi dengan cantik,” kata Pires.
Ketika sampai di wilayah kerajaan Sunda, Pires sempat mengunjungi kota Dayo. Dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental, Pires menjelaskan kalau Dayo menjadi tempat yang paling sering ditinggali raja Sunda dibanding daerah lainnya. Di kota besar ini rumah-rumah dibangun dengan sangat baik menggunakan daun kelapa dan kayu. Manajemen kota juga ditata secara teratur agar raja merasa nyaman tinggal berlama-lama di sana. Untuk mencapai kota Dayo, jika perjalanan dilakukan melalui pelabuhan utama (Sunda Kalapa), dibutuhkan waktu sekitar dua hari, melewati daerah perbukitan.
Baca juga: Kondisi Perbatasan Sunda dan Jawa
“Orang-orang berkata bahwa sang raja memiliki rumah yang sangat bagus, dibangun menggunakan 330 pilar kayu setelah tong anggur, setinggi 5 depa dan dihiasi ukiran yang sangat indah di bagian atasnya,” tulis Pires.
Namun keberadaan kota itu sendiri sempat diperdebatkan. Banyak penjelajah di abad ke-19, setelah era Pires, yang mengaku tidak menemukan kota yang disebut Dayo ini. “Daio, jika tempat ini memang nyata, adalah tempat yang keberadaannya sulit diduga, mengingat tidak ada satupun tempat yang menyerupai ciri-cirinya dalam topografi Jawa,” kata administrator Inggris John Crawfurd.
Barulah pada 1856, Crawfurd berhasil memecahkan misteri kota ini. Dalam catatan penelitiannya selama memangku jabatan di Jawa, A Descriptve Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries, Crawfurd menjelaskan jika di wilayah yang jaraknya sekitar 40 mil ke arah timur dari Batavia (Jakarta), terdapat bekas fondasi istana. Di daerah yang merujuk pada Buitenzorg (Bogor) ini juga ditemukan banyak sekali bebatuan dan sejumlah prasasti.
“Kota yang dimaksud, tidak lain tidak bukan, adalah Pajajaran. Pajajaran ialah nama sebuah kerajaan kuno di Jawa, ibu kotanya terletak di Bogor, yang berada di wilayah Sunda,” ucapnya.
Rupanya keberadaan kerajaan Sunda pernah juga diceritakan Scipio pada 1 September 1687. Artinya komandan pasukan Belanda itu menemukan bukti keberadaan Sunda jauh sebelum Crawfurd. Dalam Priangan, De Haan menyebut jika Scipio berhasil menemukan dua batu yang menurut keterangan penduduk adalah bekas singgasana raja Pajajaran. Kedua batu itu terletak di sebuah tempat berbentuk bujur sangkar sebesar bangsal sebuah kerajaan.
Diperkirakan bukti penting tentang Sunda itu berpindah tempat sehingga pada masa Crawfurd banyak peneliti yang kesulitan membuktikan beradaan Kerajaan Pajajaran. “Itulah sebabnya, kiranya bangunan kraton ini atau bekasnya tidak dapat disaksikan lagi oleh kita sekarang, bahkan oleh orang-orang Belanda yang mengunjunginya pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 Masehi,” tulis De Haan.
Berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh para peneliti Barat, sejarawan Edi S. Ekadjati, dalam Asal-Usul, Lokasi, Perkembangan Pakuan Pajajaran, merasa jika rekonstruksi kerajaan Sunda sudah terlaksana dengan cukup baik. Ditambah informasi yang ada pada sumber-sumber lokal, keberadaan penguasa Jawa bagian barat ini sudah dapat disaksikan oleh masyarakat luas.
“Menurut hemat saya, keseluruhan hasil studi mereka (para peneliti Belanda) sudah cukup memadai, dalam arti lokasi ibukota Pakuan Pajajaran telah berhasil ditemukan dan direkonstruksi dengan benar. Walaupun demikian, guna mendapat gambaran yang lebih jelas dan mendetail perlu dilakukan penelitian lebih jauh, terutama dengan melakukan penggalian di sekitar lokasi yang diperkirakan bekas kompleks keraton,” ucap Ekadjati.
Baca juga: Sirnanya Kerajaan Pajajaran
Catatan Tradisional
Tidak jauh berbeda dengan keterangan orang-orang Eropa, informasi yang ada pada naskah dan prasasti juga turut memperkuat keberadaan kerajaan Sunda di wilayah Bogor sekarang. Seperti informasi pada prasasti Batutulis yang dikutip Nugroho Notosusanto,dkk dalam Sejarah Nasional Indonesia III, diketahui bahwa kerajaan ini awalnya berpusat di Kawali namun karena keadaan tertentu akhirnya dipindahkan ke Pakuan.
“Pusat kerajaan Sunda yang berpindah-pindah itu pernah berlokasi secara kronologis sebagai berikut: Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan. Jadi kerajaan Sunda itu berakhir pada waktu pusat kerajaannya berkedudukan di Pakuan Pajajaran,” terang Saleh Danansasmita dalam “Latar Belakang Sosial Sejarah Kuno Jawa Barat dan Hubungan antara Galuh dengan Pajajaran” dimuat Sejarah Jawa Barat.
Sementara naskah Carita Parahyangan (dibuat akhir abad ke-16), cukup banyak membahas keadaan di Pakuan, meski tidak lengkap. Di sana dijelaskan bangunan kerajaan di wilayah pakuan tidak hanya satu, melainkan ada lima buah. Jumlah tersebut merujuk pada kosep Panca Persada (lima keraton). Bangunan utama digunakan sebagai tempat tinggal raja, sementara di sampingnya berdiri bangunan-bangunan lain yang tidak kalah megah sebagai tempat bersemayam para kerabat kerajaan.
Baca juga: Taktik Banten Taklukkan Pakuan Pajajaran
Wilayah ibukota Pakuan Pajajaran, kata Ekadjati, dibagi ke dalam dua wilayah, yakni Kota Dalam dan Kota Luar. Kedua bagian kota itu dibatasi oleh benteng alam, berupa bukit kecil memanjang di sebelah timur. Di sana juga terdapat parit kecil yang membentang melewati bagian barat keraton. Sementara sebuah benteng buatan berdiri kokoh di sebelah selatan.
“Dari gambaran di atas tampak bahwa ibukota Pakuan Pajajaran diperkuat oleh benteng berlapis-lapis (sungai alam, tanggul buatan, parit buatan). Hal itu kiranya disebabkan oleh karena kerajaan Sunda menghadapi kemungkinan serangan dari luar (Demak, Cirebon, dan Banteng),” tulis Ekadjati.
Rupanya kekhawatiran raja atas serangan yang akan menghancurkan kerajaannya menjadi kenyataan. Pada 1579, setelah melalui berbagai konflik dan perang dengan pasukan Muslim, kerajaan Sunda berakhir. Pusat pemerintahan terakhirnya berada di Pakuan, wilayah Bogor sekarang.
Baca juga: Jejak Kuasa Raja Sunda
Tambahkan komentar
Belum ada komentar