Babi Guling Bali
Babi guling Bali bukan sekadar makanan tapi juga sesaji. Warisan budaya tak benda Indonesia.
Babi guling atau be guling Bali tercatat sebagai warisan budaya tak benda Indonesia sejak 2011. Makanan khas Pulau Dewata ini dibuat dari babi muda. Perutnya yang sudah bersih dijejali base genep, yaitu bumbu yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, kencur, jahe, kunyit, cabai rawit, gula aren, garam, terasi, daun salam, dan sedikit asam.
Perut babi dijahit agar bumbu tidak tumpah. Setelah itu, babi dipanggang sambil diputar-putar sampai matang: kulitnya kuning kemerahan dan kayu penusuknya longgar.
Sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450–1680: Tanah di Bawah Angin, menyebutkan bahwa babi sudah sejak lama menjadi salah satu sumber protein hewani bagi masyarakat Nusantara.
“Babi, pengalih yang paling efisien dari padi-padian ke daging, merupakan sumber utama daging di daerah-daerah di mana Islam belum masuk,” tulis Reid.
Baca juga: Babi dalam Masyarakat Nusantara
Beberapa jenis babi purba hidup di kepulauan Nusantara sejak ratusan ribu tahun lalu. Misalnya, di Sangiran ditemukan fosil babi jenis Sus macrognathus, Sus brachynathus, Sus terhaari, dan Sus stremmi pada lapisan kabuh yang berusia sekira 780.000 tahun. Hewan ini sudah diternakkan paling tidak sejak 3.500–4.000 tahun lalu.
Prasasti-prasasti masa Hindu-Buddha mencatat babi termasuk daging yang sering dikonsumsi. Babi ternak disebut celeng, sedangkan babi hutan disebut wok. Babi juga menjadi salah satu daging yang dihidangkan di keraton Majapahit.
Begitu pula di Bali, daging babi atau beyangna culung termasuk daging yang dihidangkan kepada petinggi kerajaan dan keperluan upacara. Prasasti Sembiran AII menyebutkan penduduk Desa Julah memberikan daging babi, nasi beralaskan talam, arak, dan kacang hijau kepada panghurwan.
Persembahan
Reid menyebutkan bahwa di Asia Tenggara, makan daging selalu bermakna ritus, terkait dengan upacara pengorbanan hewan. Penyembelihan, pembagian, dan makan daging hewan merupakan pesta yang diikuti orang banyak.
“Orang kaya menyembelih kerbau, kambing, atau babi, sedangkan orang miskin setidak-tidaknya berusaha menyajikan ayam,” tulis Reid.
Menurut Luh Suwita Utami, peneliti Balai Arkeologi Denpasar, dalam “Jenis Makanan dalam Prasasti Bali Kuna”, terbit di Forum Arkeologi Vol. 24, No. 2, Agustus 2011, naskah lontar Dharma Caruban yang membahas resep masakan Bali dengan racikan bumbu tradisional, menyebutkan bahwa babi guling bisa digunakan sebagai sesaji upacara.
“Jenis daging yang bisa digunakan sebagai syarat upacara disebut ulam. Ada tiga jenis, yakni ulam suci yaitu itik dan penyu, ulam bebangkit yakni babi guling, dan ulam caru yakni ayam dan kambing,” tulis Suwita.
I Made Purna, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, dalam “Nilai Kesuburan Tradisi Bukakak di Desa Pakraman Sangsit Dangin Yeh, Sawan, Buleleng”, terbit di Forum Arkeologi Vol. 32, No. 1, April 2019, menjelaskan bahwa persembahan babi guling berkaitan dengan tradisi Bukakak yang dijalankan masyarakat di Desa Pakraman Sangsit, Kecamatan Sawan, Buleleng. Tradisi ini adalah wujud syukur kepada Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewi Kesuburan.
Warna babi guling dalam prosesi Bukakak terdiri dari tiga warna. Hitam pada punggung kiri dan kanan, putih karena telah bersih bulunya, dan merah bagian dadanya karena dipanggang.
“Perlambang dewa dalam babi guling Bukakak adalah warna hitam perlambang Dewa Wisnu, putih perlambang Dewa Siwa, sedangkan Dewa Sambu sekaligus dilambangkan oleh babi guling,” tulis Purna.
Baca juga: B2: Batak dan Babi
Tradisi Bukakak lahir dari penyatuan dua sekte di Bali. Para bagawanta (pendeta istana) Wisnu ketika menyebarkan ajarannya menyatukan diri dengan ajaran yang telah berkembang di Bali, salah satunya sekte Siwa-Sambu. Simbol pemujaan mereka menjadi Nandi-Garuda.
“Dalam bahasa Bali Kuno, Nandi-Garuda disebut Lembu-Gagak, kemudian menjadi Bukakak,” tulis Purna.
Ajaran ini berkembang di wilayah Taman Gunung Sekar. Adanya pelinggih Celeng Kekehan di Pura Gunung Sekar, Desa Sangsit, menjadi bukti pemujaan Dewa Sambu di semenanjung Bali utara.
Baca juga: Mengungkap Sejarah Babi Ngepet
Pura Gunung Sekar diperkirakan berdiri pada abad ke-12. Pembangunan pura ini dikaitkan dengan kisah pembuatan pemujaan kepada Dewa Sambu oleh Raja Sri Jaya Sakti.
“Tak mengherankan sebelum penyatuan sekte-sekte di Bali, di sekitar Pura Gunung Sekar dihuni umat Hindu yang mayoritas beraliran Sekte Sambu,” tulis Pura.
Mereka memuja Dewa Sambu dengan hewan kurban babi. Pemujaannya pada hari raya Tumpak Celeng.
“Babi adalah kendaraan Dewa Sambu yang disebut wahara, dalam bahasa Balinya disebut celeng,” tulis Pura.
Permohonan
Antropolog Francine Brinkgreve dalam “Offerings to Durga and Pretiwi in Bali”, terbit di Asian Folklore Studies, Vol. 56, No. 2, 1997, babi guling juga kerap dijadikan persembahan bagi Rangda atau Calon Arang, murid Dewi Durga. Misalnya, topeng suci Rangda di Banjar Tengah, Kerambitan, yang disimpan di Pura Bale Gong, sering dikunjungi siswa yang memohon restu agar lulus ujian.
“Setelah keinginan ini terpenuhi, babi guling sering dipersembahkan kepadanya sebagai imbalan,” tulis Brinkgreve.
Selain itu, menurut Komang Budaarsa dan Ketut Mangku Budiasa, dosen di Fakultas Peternakan Universitas Udayana, babi guling juga menjadi persembahan dalam prosesi mapiton.
“Setiap orang tua mempersembahkan babi guling guna memohon keselamatan untuk anak-anaknya,” tulis Budaarsa dan Budiasa dalam “Jenis Hewan Upakara dan Upaya Pelestariannya” yang disampaikan dalam seminar di Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, 29 Oktober 2013.
Baca juga: Selain Jadi Babi Ngepet
Prosesi ini diadakan setiap tahun dalam acara Usaba Gumang yang diselenggarakan oleh masyarakat pangempon Pura Bukit Gumang. Mereka terdiri dari empat desa adat, yakni Bugbug, Babandem, Jasri, dan Ngis di Karangasem.
Dalam prosesi itu jika anaknya laki-laki, maka babi gulingnya jantan. Begitu pula sebaliknya.
“Saat upacara mapinton ada sekira 1000 ekor babi guling dipersembahkan kehadapan Ida Sesuhunan di Pura Bukit Gumang, karena rata-rata setiap keluarga mempersembahkan satu ekor babi guling,” tulis Budaarsa dan Budiasa.
Babi guling yang menjadi sesaji kini semakin diminati wisatawan yang berkunjung ke Bali.
Baca juga: Babi Ngepet, Mitos, dan Krisis
Tambahkan komentar
Belum ada komentar