Mengungkap Sejarah Babi Ngepet
Babi ngepet tak hanya berkaitan dengan keadaan ekonomi. Tapi juga pandangan masyarakat terhadap kekayaan, kekotoran, dan perempuan.
Babi hutan berwarna hitam muncul di permukiman di Depok, Jawa Barat. Warga menangkap dan melabelinya sebagai babi ngepet. Tapi polisi membongkar drama di balik kemunculan babi ini.
Seorang ustaz menjadi tersangka penyebaran hoaks babi ngepet. Menurut polisi, dia membeli babi itu, menaruhnya di permukiman, dan menyebarkan isu. Motif ustaz menyebar hoaks babi ngepet itu ingin terkenal. Isu babi ngepet sempat muncul beberapa kali di sejumlah wilayah Indonesia.
Peter Boomgaard, pakar sejarah ekonomi Indonesia, menyebut bahwa isu babi ngepet kadangkala tak melulu berkaitan dengan perubahan ekonomi seperti munculnya uang.
Menurut Boomgaard, uang sudah digunakan di Hindia Belanda sejak masa kerajaan Hindu-Buddha dan Kesultanan Islam. Tapi cerita tentang babi ngepet sulit ditemukan dalam rentang ini. Cerita ini justru populer setelah tahun 1900-an.
“Cerita yang tercatat pada suatu saat tertentu semacam itu, tidak mencerminkan tingkat atau langkah perkembangan ekonomi sebagaimana dirasakan oleh banyak orang,” ungkap Boomgaard dalam “Kekayaan-Kekayaan Haram: Perkembangan Ekonomi dan Perubahan Sikap Terhadap Uang dan Kekayaan Seperti Tercermin dalam Kepercayaan Jawa Populer”, termuat dalam Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru.
Baca juga: Sejarah Tuyul, Makhluk Halus Pencuri Fulus
Boomgaard menggolongkan cerita babi ngepet sebagai cerita likantropi. “Orang yang secara temporal dapat berubah menjadi binatang,” terang Boomgaard. Istilah ini berasal dari pengalaman orang Eropa dengan mitos manusia serigala jadi-jadian (werewolf). Bedanya, likantropi di sana memangsa manusia, sedangkan di Hindia Belanda mencuri kekayaan orang lain.
Boomgaard menambahkan, ada dua pengertian lain tentang likantropi. Ini termasuk cerita orang yang jiwanya masuk sebentar ke tubuh seekor binatang dan jiwa atau roh orang mati yang berubah atau masuk ke tubuh binatang.
G.W.J. Drewes, indolog dari Belanda, memaparkan likantropi di Hindia Belanda dapat berjenis nyegik, ngetek, dan ngipri. Semuanya istilah dalam bahasa Sunda. “Pada nyegik, orang berubah jadi babi. Pada ngetek, orang berubah jadi kera. Pada ngipri, orang berubah jadi ular,” tulis Drewes dalam “Verboden Rijkdom Een Bijdrage tot de Kennis van het Volksgeloof op Java en Madoera” termuat dalam Djawa, Agustus 1929.
Menurut Drewes, nyegik berbeda dengan ngopet. Meski sama-sama “cara magis untuk menjadi kaya”, ngopet tak harus membuat seseorang jadi babi. “Orang yang memiliki elmu ini memakan kotorannya dan percaya bahwa mereka akan menjadi kaya,” terang Drewes dalam “Elmoe Ngopet” di Djawa, Agustus 1929.
Baca juga: Alkisah Celeng, Celengan dan Babi Ngepet dari Zaman Majapahit
Berkaitan dengan nyegik, Drewes melampirkan dua cerita yang tersebar luas di sekitar Kaliwatubumi, Kutoarjo (sekarang masuk bagian Jawa Tengah). Di lereng itu terdapat sebuah gua. Di sanalah putri babi bersemayam.
Drewes menyebut putri babi itu bisa memberikan kekayaan pada orang yang memintanya. “Tapi syaratnya orang itu harus menjadi budaknya,” terang Drewes.
Alkisah seorang jelata bernama Soetakarja muak dengan hidup susahnya. Dia ingin memperbaiki nasibnya, istri, dan anak-anaknya. Dia pergi ke dukun untuk mengadukan nasibnya.
Dukun itu lalu menyuruh Soetakarja ke Gunung Kaliwatu untuk bertemu Kiai Djamenggala. Soetakarja pergi dengan pakaian seadanya. Sampai di sana dia disambut hangat. Kiai itu memintanya menikahi salah satu putrinya dan tinggal di sana.
Baca juga: Masa Lalu Orang Kaya Baru
Soetakarja memenuhi permintaan itu. Dia hidup dengan harta berlimpah, pakaian bagus, dan makanan serba enak. Tapi dia merindukan istri lama dan anak-anaknya. Hingga akhirnya dia pulang ke rumah. Ketika tiba di rumah, dia melihat istri dan anak-anaknya ketakutan.
“Karena yang mereka lihat hanyalah seekor babi hutan yang sedang mengendus di rumah,” terang Drewes.
Soetarkarja kembali ke gua. Istrinya yang di gua menyarankan agar dia memakai pakaian lamanya. Dengan itu dia terlihat kembali seperti manusia. Dia pun kembali ke rumah istri lama dan anaknya. Kali ini mereka melihatnya sebagai manusia.
Pada suatu malam di rumahnya, Soetakarja terbangun dari tidurnya karena mendengar suara istrinya yang di gua. Dia keluar untuk menemuinya. Esok paginya, istri lama menemukan Soetakarja sudah mati. Di samping jenazahnya ada sekantung uang.
“Hanya satu kesimpulan yang mungkin: putri babi telah mengambilnya sebagai budak,” kata Drewes.
Baca juga: Akar Sejarah Dongeng Nyi Blorong
Cerita serupa juga terjadi pada Soemaredja. “Dia tak terlalu miskin, tapi serakah dan ingin kaya,” terang Drewes. Dia meninggalkan istri dan anaknya untuk pergi ke gua. Tapi dia tak ditahan di gua. Dia menikahi putri babi di rumahnya sendiri. Dia mengatakan kepada istrinya agar jangan kaget ketika dia menerima tamu perempuan setiap selasa Kliwon.
Tiap kali tamu perempuan itu pulang, Soemaredja memperoleh sekantung uang. Soemaredja menggunakannya untuk memenuhi hasratnya. Suatu ketika penduduk sekitar melihat seekor babi masuk rumah Soemaredja pada selasa Kliwon. Mereka menangkap dan memukulinya hingga mati. Soemaredja kemudian mendatangi ayah mertuanya di gua dan menyatakan dia tak bersalah atas pembunuhan itu.
Dalam penglihatan Soemaredja, yang datang kepadanya adalah seorang perempuan. Tapi penduduk melihatnya sebagai seekor babi. Soemaredja kemudian menikahi putri babi lainnya. Penduduk memergoki seekor babi kembali masuk ke rumah Soemaredja. Babi itu mati dipukuli.
Soemaredja menemui ayah mertuanya lagi. Kali ini ayah mertua justru memberinya hadiah pakaian yang bagus. Dia memakai pemberian itu. Ketika keluar dari gua, Soemaredja telah berubah jadi babi.
Baca juga: Kiai NU dan Daging Babi
R. Tresna, seorang penulis di Djawa, Agustus 1929, juga mengisahkan mitos babi ngepet di Cimacan, Sukaraja, Sumedang (sekarang masuk bagian Jawa Barat). Dalam artikelnya, “Bijgeloof Inzake Njegik”, Tresna mendapatkan sumber cerita dari tuturan masyarakat setempat.
“Seorang lelaki miskin dikatakan telah membuat perjanjian dengan setan untuk menjadi kaya,” kisah Tresna. Lelaki itu berinisial Bapa A. Dia lama menghilang dari kampungnya. Tak seorang pun tahu kemana dia pergi. Pada suatu hari, dia kembali. Penampilannya terlihat gelisah.
Semenjak kedatangan Bapa A, warga kampung sering melihat babi berkeliaran di pekarangan rumah dan kebun ubi mereka. Babi ini membuat warga kampung ketakutan karena bentuknya berbeda dari babi biasa. “Pantatnya jauh lebih tinggi daripada babi biasa,” sebut Tresna. Tapi tak ada seorang pun yang menghubungkan kehadiran babi dengan Bapa A. “Bapa A tidak nyegik!” kata warga.
Babi itu berkali-kali datang. Warga lalu memburunya dan mendapati babi itu berjalan seperti manusia di rumah Bapa A pada subuh hari. Mulailah warga mengarahkan kecurigaannya ke Bapa A. Rumahnya diawasi saban malam. Tapi babi itu justru muncul di tempat lain. Warga berhasil menombaknya. Babi itu terluka, tapi berhasil kabur.
Baca juga: Janda Terkaya dan Makhluk Tak Kasat Mata
Esok harinya warga menemui Bapa A terbaring di bale-bale karena demam. “Orang-orang tentu saja memikirkan hal itu dan muncul keyakinan Bapa A berkeliaran sebagai babi pada malam hari.” Setelah itu, babi tak pernah kelihatan lagi.
Menurut Tresna, informannya mengatakan bahwa kejadian itu merupakan ujian dari seseorang yang ingin menjadi kaya dengan menjadi babi. “Sebelum kekayaan yang dijanjikan kepadanya menjadi miliknya, seseorang yang mempraktikan nyegik harus lulus ujian ini,” kata si informan.
Setiap malam dia harus berubah jadi babi dan mencari makanan layaknya babi. Dia harus menjaga dirinya dari serangan manusia dan pulang ke rumah sebelum fajar menyingsing. “Jika berhasil melaluinya, kekayaan melimpah akan datang ke pangkuannya,” lanjut si informan.
Tresna kemudian bertanya kepada informannya bagaimana caranya orang tersebut berubah jadi babi. Informannya tak bisa menjelaskan. Tapi kemudian dia mengatakan, “Menurut Islam, babi adalah hewan najis, oleh karena itu jiwa manusia terkutuk berubah menjadi babi.”
Baca juga: Babi dan Masyarakat Islam Nusantara
Terhadap fenomena babi ngepet, Boomgaard menyatakan cerita ini menggambarkan sejumlah pandangan penduduk setempat terhadap kekayaan, perempuan, dan kekotoran.
“Dalam cerita-cerita Jawa, kita temukan kekayaan haram yang dihubungkan dengan bau busuk, toilet dan kotoran, ingus, penyakit kulit dan kutu. Beberapa dari keharaman tersebut dihubungkan dengan kenyataan bahwa orang-orang kaya tersebut akan berubah menjadi binatang,” terang Boomgaard.
Boomgaard juga menambahkan ada hubungan erat antara pikiran orang muslim Jawa dengan representasi babi sebagai hewan pencuri kekayaan. Mengingat babi diharamkan dalam Islam.
Adanya sosok perempuan sebagai putri babi merupakan sambungan legenda-legenda kuno. “Kawin dengan seorang perempuan kotor dan bau (atau roh yang menjelma sebagai seorang wanita) merupakan cara untuk menjadi kaya,” sebut Boomgaard.
Pada akhirnya, Drewes, Boomgaard, dan Tresna melihat cerita ini sebagai kepercayaan masyarakat setempat yang berkaitan dengan latar belakang masyarakatnya sendiri.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar