Selain Jadi Babi Ngepet
Catatan masa kolonial merekam mitos pencarian kekayaan haram selain menjadi babi ngepet. Dari menjadi ular sampai makan kotoran sendiri.
Kasus hoaks babi ngepet di Bedahan, Depok, Jawa Barat, menyedot perhatian orang. Bumbu mistis cerita babi ngepet ternyata masih punya daya tarik cukup kuat pada banyak lapisan masyarakat. Kasus itu berakhir antiklimaks. Polisi menemukan bahwa babi itu sengaja dibeli oleh seorang ustaz agar dirinya terkenal.
Mitos babi ngepet telah tersebar lama di kalangan masyarakat Indonesia. Beberapa penulis Belanda dan anak negeri mencatatnya sejak 1920-an. Babi ngepet merupakan cara orang memperoleh kekayaan dengan bersekutu bersama makhluk gaib. Selain babi ngepet, mitos lain yang serupa juga berkembang di masyarakat kolonial.
Dalam sebuah terbitannya pada Agustus 1929, redaksi majalah Djawa menurunkan sejumlah cerita tentang mitos-mitos perilaku untuk memperoleh kekayaan terlarang. Tiga orang penulis, C. Hooykas, R. Tresna, dan G.W.J. Drewes, memaparkan temuan mereka tentang hal itu.
Tulisan mereka lebih menekankan pada penceritaan ketimbang analisis mengapa dan bagaimana mitos itu muncul. Tapi pada masa itu, cerita seperti ini sudah cukup untuk menggambarkan keadaan sosial ekonomi masyarakat. Apalagi tulisan tersebut terbit dalam majalah ternama dan penulisnya pun dikenal sebagai peminat kebudayaan.
Dalam artikel itu, beberapa praktik pencarian kekayaan haram selain babi ngepet antara lain ngipri, ngetek, djrangkong, pencuri kecil (setan goendoel), dan ngopet.
Baca juga: Mengungkap Sejarah Babi Ngepet
Ngipri adalah praktik perubahan wujud manusia menjadi ular. Sering juga disebut variasi mitos Nyai Blorong versi orang Sunda. Ngipri kali pertama disebut dalam karya Hadji Hasan Moestapa, Over de gewoonten en gebruiken der Soendaneezen, sekitar tahun 1910.
Biasanya ular dalam praktik ngipri berjenis betina. Menurut Drewes dalam “Verboden Rijkdom”, pengambilan bentuk ular dalam ngipri kemungkinan besar karena pengaruh India Kuno.
Drewes mengisahkan seorang di Plered (sekarang bagian Jawa Barat) yang diduga melakukan ngipri. Orang itu seorang haji. Semula tak ada yang tahu dia ngipri. Praktik itu terbongkar ketika haji itu meninggal. Seorang saudara yang menguburkannya tak sengaja menjatuhkan dompet ke liang kubur itu. Dia baru sadar ketika selesai menguburkan jenazah haji itu.
Baca juga: Akar Sejarah Dongeng Nyi Blorong
Saudara haji itu pun kembali ke kuburan. Sesampainya di sana, dia berteriak dan berlari secepat mungkin. “Di tempat mayat itu, dia melihat sejumlah ular berkerumun bersama di lubang kuburan. Haji yang mati ternyata pernah melakukan ngipri semasa hidupnya karena menjadi ular setelah kematiannya,” sebut Drewes.
Di wilayah Gunung Kromong, Cirebon, praktiknya beda lagi. Drewes menangkap informasi bahwa di sana tempat orang pergi ngetek, praktik berubah wujud dari manusia menjadi kera. Tempat ngetek lainnya ialah Desa Palalangon di Mandirancang, Cirebon.
Selama menjadi kera, pelaku ngetek disebut harus menahan diri dari melompat dan memanjat. “Agar tidak terlihat ekornya yang harus dikenakan sebagai tanda kelak seorang ngetek.” Pengambilan bentuk kera sebagai pencari kekayaan haram diduga berasal dari alam pikiran orang Jawa tentang kera.
Kera bukanlah binatang kotor atau najis dalam pandangan Jawa. Tapi ia tetap mempunyai cela. “Kera oleh orang Jawa sering dianggap sebagai reinkarnasi dari manusia yang pada masa hidupnya pernah melakukan kesalahan,” terang Boomgaard dalam “Kekayaan-Kekayaan Haram”, termuat dalam Sejarah Ekonomi Modern Indonesia suntingan J. Thomas Lindblad.
Baca juga: Alkisah Celeng, Celengan dan Babi Ngepet dari Zaman Majapahit
Praktik haram berikutnya mitos jrangkong. Praktik jrangkong biasanya berhubungan dengan cerita orang kaya yang berpenampilan kotor, tidak merawat diri dan rumah mereka, dan bertingkah laku kasar. Jrangkong dapat berarti kerangka tulang atau bisa juga roh dalam bentuk anjing yang semasa hidupnya merupakan pemakan riba, kikir, bersekutu dengan setan, dan jahat. Bentuk kedua ini muncul lebih dulu daripada bentuk pertama.
Praktik seseorang mempekerjakan pencuri kecil (setan goendoel) menjadi praktik paling jamak di banyak wilayah Jawa sampai Madura. Makhluk ini digambarkan dapat mencuri uang orang lain tanpa diketahui oleh korbannya. “Bentuknya berkepala botak seusia anak satu atau dua tahun,” sebut Drewes.
Setan goendoel dapat dibeli dari dukun dan ditempatkan pada ruang khusus yang hanya boleh dimasuki oleh majikannya atau pembelinya. Menurut Drewes, persebaran cerita setan goendoel antara lain terdapat di Banyuwangi, Gresik, dan Madura.
Baca juga: Sejarah Tuyul, Makhluk Halus Pencuri Fulus
Praktik terakhir pencarian kekayaan dalam Djawa adalah ngopet. Berbeda dari praktik lainnya, ngopet tidaklah melibatkan makhluk halus apapun. Ngopet berarti cebok atau menyeka kotoran di bokong.
Dalam “Elmoe Ngopet”, Drewes menjelaskan kata ngopet tersua dalam kamus Sunda-Belanda karya S. Coolsma terbitan 1913. “Ngopet adalah cara magis untuk mencapai kekayaan. Orang yang memiliki elmu ini memakan kotorannya dan percaya bahwa mereka akan menjadi kaya,” terang Drewes.
Kisah praktik ngopet muncul di beberapa wilayah Jawa bagian barat. Seseorang yang ngopet harus menerima konsekuensi saat kematiannya sebagai ganti kekayaannya selama di dunia. “Bumi tidak akan menerima mayat orang seperti itu,” terang Drewes, mengutip kepercayaan setempat.
Agar diterima bumi, mayat orang ngopet harus dibasuh air hujan sampai hanyut di sungai. Tak jarang selama penghanyutan mayat itu, orang juga berteriak, “bagong, bagong, bagong.” Tapi baik Drewes maupun Coolsma tak menjelaskan mengapa timbul teriakan itu.
Boomgaard menduga semua cerita tersebut tak melulu terkait dengan perkembangan ekonomi masyarakat. Tapi tetap memberikan petunjuk tentang gambaran masyarakat terhadap kekayaan dan uang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar