Yang Kaya yang Madu Tiga
Pada masa kolonial Belanda, poligami banyak ditemukan di kalangan bangsawan dan kelas berada.
SUATU hari, Maria Ullfah kedatangan seorang perempuan di Biro Konsultasi. Dengan berlinang airmata perempuan itu bercerita tentang suaminya yang tiba-tiba kawin lagi. Ia meminta Maria Ullfah untuk mengurus perceraian ke Raad Agama.
Perempuan itu jelas bukan satu-satunya istri yang mendapati suaminya kawin lagi. Biro Konsultasi, yang dibentuk Kongres Perempuan Indonesia pada 1935, memang dibentuk untuk menangani banyaknya masalah perempuan dalam perkawinan. Kala itu, permaduan menjadi masalah yang kerap menimpa perempuan.
Menurut missionaris A. Kruijt dalam penelitiannya tahun 1903 yang dikutip Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia, poligami kebanyakan dilakukan orang-orang dari kalangan bangsawan dan menengah ke atas. Di kalangan rakyat bawah, poligami jarang terjadi.
“Terdapat strata yang besar… Di kalangan kaum buruh dan mereka yang kondisinya lebih baik, poligami jarang ditemui,” tulis Kruijt.
Pernyataan Kruijt didukung sebuah laporan mengenai ekonomi desa yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda pada 1912. Laporan tersebut menyebut angka poligami di desa dan kalangan masyarakat bawah cenderung tidak ada alih-alih banyak dari kaum bangsawan dan kelas berada.
Baca juga: Keributan di Kongres Perempuan
Tingginya angka poligami di kalangan bangsawan disebabkan kurangnya bekal para perempuan bangsawan untuk bertahan hidup sendiri. Mereka tak pernah dilatih untuk menghidupi diri sendiri karena terbiasa dilayani dan sejak kecil dididik untuk menjadi nyonya rumah. Melepaskan perkawinan lantaran dipoligami berarti menyengsarakan diri dan anak-anak. Mereka akhirnya terpaksa menerima permaduan karena dianggap lebih aman dibanding menggugat cerai.
“Pada umumnya wanita dari lapisan masyarakat rendah jauh lebih tegas dalam menuntut perceraian sebab mereka sudah biasa mencari nafkah sendiri,” kata Maria Ullfah dalam rekaman Arsip Sejarah Lisan Arsip Nasional Republik Indonesia.
Poligami dalam Angka
Poligami menjadi isu hangat yang diperbincangkan sejak akhir abad ke-19. Data sensus pemerintah kolonial tahun 1930 menunjukkan: persentase poligami di Jawa dan Madura mencapai 1,9%, di pulau-pulau luar 4%, dan di kalangan orang Minangkabau sebesar 8,7%. Dalam laporan Indisch Verslag terbitan 1939, angka poligami di Jawa mencapai 163.362. Dari angka tersebut, 1.024 poligami mengambil empat istri, sebanyak 7.696 mengambil tiga istri, dan yang terbanyak 154.642 mengambil dua istri.
Angka poligami di Jawa pada 1939 tersebut menjadi yang tertinggi di antara wilayah lain. Di Sumatra, total angka poligami mencapai 69.790, di Sulawesi mencapai 22.378, serta di Bali dan Lombok sebesar 14.061. Sementara, Maluku menempati angka terkecil, yakni 5.150 praktik poligami. Namun, angka-angka tersebut hanya merujuk pada praktik poligami yang terdaftar. Faktanya, tidak semua orang melakukan pencatatan perkawinan di era kolonial dan banyak poligami dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak diketahui istri pertama.
Achmad Djajadiningrat, bupati Batavia (1924-1929) sekaligus paman Maria Ullfah, yang meneliti jumlah poligami di Bojonegoro pada 1936, menemunkan bahwa di kalangan pegawai sipil, santri, dan pedagang, poligami banyak dilakukan hanya untuk kebutuhan seksual saja. Poligami, sebut Djajadiningrat, juga menjadi faktor terbesar terjadinya perceraian.
Baca juga: Nani, Teman Para Perempuan yang Terluka
Ramainya isu poligami mendorong pemerintah kolonial untuk mengeluarkan rancangan undang-undang tentang perkawinan tercatat (Ordonansi Perkawinan) untuk orang bumiputra dan timur asing bukan Tionghoa. Ordonansi itu menyebutkan bahwa semua perkawinan secara agama apapun bisa dicatatkan di kantor bupati. Dengan mandaftarkan perkawinan secara sukarela, orang tunduk pada Ordonansi Perkawinan yang berazas monogami.
Ordonansi Perkawinan sendiri menurut gerakan perempuan nonagamis tidak terlalu buruk. Aturan tersebut setidaknya bisa melindungi perempuan dari permaduan sepihak. Pencatatannya pun tidak bersifat wajib. Bagi mereka yang mau mencatatkan, akan dilayani. Tapi bagi yang tidak ingin perkawinannya dicatat, diperbolehkan untuk mengabaikan.
Maria Ullfah dalam bukunya Perjuangan untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan menyatakan sepakat dengan Ordonansi Perkawinan. Alasannya, tidak ada paksaan bagi seseoang untuk mendaftarkan perkawinannya. Namun, ketika pemerintah Hindia Belanda menanyakan pendapat KPI tetentang Ordonansi ini, Maria mengusulkan untuk tidak memberi jawaban. Sebab kalau kongres menyatakan tak setuju, akan menjadi suatu kejanggalan mengingat selama ini kongres memperjuangkan pernikahan yang adil, aman bagi perempuan, dan monogami. Namun kalau kongres menyatakan setuju, golongan Islam akan marah dan keluar dari kongres.
Baca juga: Soendari Gigih Lawan Poligami
Golongan Islam menolak keras Ordonansi Perkawinan lantaran produk Barat. Menurut mereka, Ordonansi Perkawinan bukti terlalu ikut campurnya Belanda dalam masalah ibadah orang Islam.
Penentangan keras dari golongan Islam dan diamnya kaum perempuan Indonesia akhirnya membuat pemeritah kolonial mencabut rancangan ini. “Kalau Belanda betul-betul berniat baik seharusnya mereka mengumumkan langsung pemberlakuan Ordonansi Perkawinan tanpa perlu konsultasi ke KPI. Apa mungkin Belanda sengaja memancing simpati untuk membuat perpecahan dalam gerakan perempuan Indonesia?” kata Maria Ullfah.
Dalam pidato panjangnya di Kongres ketiga yang dilaksankan di Bandung, 1938, Maria memberikan jalan tengah bagi kaum perempuan pro-ordonansi perkawinan dan mereka yang kontra. Menurutnya, undang-undang perkawinan harus dibuat beriringan dengan agama, bukan meninggalkannya.
Baca juga: Kala Ulama Perempuan Melawan
Maria meyakini agama Islam yang dipeluknya hadir tidak untuk menyakiti perempuan. Oleh karenanya lelaki muslim tak punya hak untuk menyakiti perempuan. “Poligami merupakan institusi yang merendahkan keberadaan kami,” kata Maria. Untuk itulah, negara bertanggung jawab untuk melindungi posisi perempuan dalam hubungan perkawinan yang tidak setara melalui hukum yang diterima baik golongan muslim maupun nasionalis.
Dalam praktiknya, upaya tersebut sulit diwujudkan. Usaha-usaha menghapuskan poligami selalu mendapat sanggahan dari kaum lelaki. Argumen bahwa poligami hadir untuk menyelamatkan perempuan karena jumlahnya jauh lebih banyak dibanding lelaki benar-benar membuat para perempuan gondok.
“Kami tidak ingin menikah karena belas kasihan... Lebih baik bekerja keras daripada menikah karena belas kasihan,” kata Maria.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar