Soendari Gigih Lawan Poligami
Gagal dalam pernikahan tak membuat Soendari menyerah pada kehidupan. Bekal pendidikan tingginya membuat Soendari mampu bertahan hidup.
MENGETAHUI suaminya punya kekasih gelap, Siti Soendari marah besar. Adik dr. Soetomo, salah satu pendiri Budi Utomo, itu minta suaminya, Koesoebjono, meninggalkan kekasihnya yang orang Belanda itu.
Soendari lahir di Nganjuk, 9 April 1909. Ia anak ketujuh dari pasangan Raden Soewadji dan Raden Ayu Sudarmi, anak Kepala Desa Ngepeh Raden Ngabehi Singowidjojo. Pada awal pernikahan, Soewadji masih bekerja sebagai guru. Namun kerja kerasnya membuat dia akhirnya naik menjadi wedana Maospati, Madiun.
Soewadji meninggal ketika Soendari berusia satu tahun. Bayi Soendari lantas dibawa sang ibu ke rumah kakeknya di Ngepeh. Kakeknya yang sudah sepuh itu kemudian meninggal ketika Soendari berusia 4 tahun.
Lantaran kehilangan ayah dan kakek, dr. Soetomolah yang menjadi sosok “ayah” baginya. Menurut anak sulung Soendari yang menyusun biografi Siti Soendari: Adik Bungsu dr. Soetomo, Santo Koesoebjono (dan istrinya, Solita Sarwono), didikan Soewadji diteruskan Soetomo pada adik-adiknya. Soetomo ingin agar adik-adik perempuannya juga mendapat pendidikan tinggi sama seperti lelaki. Sri Oemiyati, kakak perempuan yang paling akrab dengan Soendari, misalnya, melanjutkan studi guru di Belanda. Oemiyati di kemudian hari dikenal sebagai kepala Sekolah Kartini di Cirebon dan anggota Dewan Kota Semarang pada akhir 1930-an.
Soendari sendiri mulai kuliah di jurusan hukum Universitas Leiden pada 1927. Ia kakak tingkat sekaligus teman dekat Maria Ullfah yang kuliah hukum di Leiden mulai 1929. Mereka satu indekos dan patungan uang makan untuk bertahan hidup. Lantaran Soendari tak begitu pandai mengelola keuangan, Marialah yang mengatur uang belanja.
Seperti dikisahkan Gadis Rasyid dalam Maria Ullfah Subadio, Pembela Kaumnya, Soendari kerap sarapan bersama di kamar Maria. Makan siang dan makan malam mereka lakukan di kantin yang disediakan untuk mahasiswa. Di hari libur, jika kampus dan kantin tutup, Soendari dan Maria memilih untuk masak sendiri agar lebih hemat.
Semasa mahasiswa itulah Soendari bersama Artinah Samsoedin menghadiri Kongres Wanita Internasional Melawan Perang Imperialis dan Fasisme, Agustus 1934 di Paris. Harry A Poeze dalam Di Negeri Penjajah menulis kongres itu diselenggarakan atas prakarsa kaum komunis. Keikutsertaan Soendari dan Artinah atas ajakan Setiadjit dan Roesbandi.
Setelah lulus dari Leiden, Soendari kembali berkumpul dengan Maria. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil di Struiswijkstraat (kini Salemba Tengah). Maria bertanggung jawab pada urusan uang belanja, sementara Soendari mengurus kebersihan rumah.
“Setelah lulus, bekerja sejak 1934 sampai menikah tahun 1939. Setelah menikah, ibu tidak lagi bekerja. Pada 1952 kemudian sekeluarga pindah ke Belanda,” kata Solita Sarwono dan suaminya Santo Koesoebjono (anak Soendari) pada Historia.
Soendari menikah dengan Koesoebjono. Menurut Solita, ayah mertuanya tersebut mulanya bekerja sebagai mantri polisi (jabatan di bawah asisten wedana), kemudian ia mendapat promosi menjadi asisten wedana dan terakhir menjadi walikota Semarang. Selama di Semarang, sambung Solita, Soendari bergabung dengan Perwari, organisasi penentang poligami yang jauh lebih lantang dari Gerwani.
Kala suaminya diam-diam menjalin kasih dengan perempuan Belanda dan tak bisa meninggalkannya, Soendari memilih pergi membubarkan perkawinannya. Ia kembali ke Jakarta bersama kedua anaknya, Habimono dan Indriya yang masih SD dan SMP. Soendari juga harus bekerja untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Ia pun bekerja di Bank Rakyat Indonesia di Jakarta dan mendirikan perpustakaan di bank tersebut. Bekal pendidikan tingginya membuat Soendari mampu melanjutkan hidup setelah perceraian.
“Setelah kembali ke Jakarta, Bu Soendari bekerja untuk men-support anak-anaknya,” kata Solita.
* Tulisan ini diralat pada 14 Januari 2020 dengan tulisan berjudul Empat Siti Soendari dalam Sejarah Kaum Putri*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar