The Batman dan Sisi Kelam Kehidupan Nyata
Adaptasi karakter manusia kelelawar dengan versi berbeda. Mengajak penontonnya bercermin pada realita.
KOTA Gotham di malam Halloween. Gelapnya langit makin pekat, dinginnya cuaca sampai menusuk tulang. Vandalisme dan tingkat kejahatan di sudut-sudut kota yang tak terjamah penegak hukum melonjak hingga meresahkan warganya. Jangankan Kepolisian Gotham, Batman (diperankan Robert Pattinson) pun tak bisa menyelamatkan setiap jiwa dari bahaya.
Kepolisian Gotham hanya bisa menakuti para kriminal kelas teri itu lewat rekayasa dengan memanfaatkan sosok Batman. Yakni dengan menembakkan lampu sorot dari helikopter ke setiap kriminal yang terdeteksi, lantas mengarahkannya ke sebuah lampu sinyal bersiluet lambang kelelawar.
“Rasa takut adalah alat. Lampu sorot itu menembakkan sinarnya ke langit, itu bukan hanya panggilan. Itu sebuah peringatan,” tutur Batman lewat narasinya di preambul film superhero garapan sutradara Matt Reeves bertajuk The Batman.
Baca juga: Aquaman Sang Penguasa Tujuh Lautan
Batman dihadapkan pada kriminalitas lain yang lingkupnya lebih besar dan mendalam. Pasalnya di malam itu juga terjadi pembunuhan keji terhadap Walikota Gotham Don Mitchell Jr. (Rupert Penry-Jones). Atas izin Letnan (polisi) James Gordon (Jeffrey Wright), Batman mendatangi langsung ruang kerja korban sebagai tempat kejadian perkara.
Di sanalah pintu masuk Batman dengan alter ego “sultan” kota Gotham Bruce Wayne terlibat secara intens menginvestigasinya ala detektif. Batman bersedia karena diminta Gordon yang dipercayai Batman sebagai satu-satunya polisi yang belum terjamah korupsi dan jaringan mafia.
Satu misteri di balik pembunuhan itu muncul dengan ditemukannya surat dari si dalang pembunuhannya, Edward Nashton alias Riddler (Paul Dano), yang berisi teka-teki. Teka-teki kembali muncul ketika kemudian terjadi pembunuhan sadis jaksa distrik Gil Colson (Peter Saarsgard), di mana Riddler kembali menyisipkan surat berisi teka-teki khusus untuk Batman seorang.
Baca juga: Lika-liku Harley Quinn dalam Birds of Prey
Sehebat-hebatnya dan setajir-tajirnya Bruce Wayne “Batman”, ia tetap tak bisa memecahkannya sendirian. Maka ia memerlukan bantuan kepala rumah tangga yang eks-intelijen militer, Alfred Pennyworth (Andy Serkis), dan si seksi Selina Kyle alias Catwoman (Zoë Kravitz). Alfred bertugas memecahkan sandi-sandi tersembunyi dari teka-teki Riddler, sedangkan Catwoman mengulik informasi dengan memanfaatkan pekerjaan sambilannya sebagai pelayan klub malam Iceberg Lounge yang dimiliki mafia Oswald Cobblepot alias Penguin (Colin Farrell).
Hasil temuannya bikin syok. Dua aksi Riddler dan antek-antek bawah tanahnya berkelindan dengan situasi kusut kota Gotham yang terjerat korupsi dan bisnis dunia hitam bos mafia Carmine Falcone (John Turturro). Investigasi Batman juga menyibak topeng di balik bisnis dunia hitam itu yang bercumbu mesra dengan aparat penegak hukum dan tokoh politik, seperti mendiang walikota Gotham.
Batman tambah dibuat depresi lantaran jika benang merahnya direntangkan lebih jauh, antara pembunuhan dan perselingkuhan mafia-pejabat politik itu berhubungan dengan mendiang kedua orangtuanya, Thomas dan Martha Wayne. Seperti apa kekusutan teka-teki si psikopat Riddler dan bagaimana Batman memecahkannya? Ungkaplah sendiri tabirnya di film yang tayang di bioskop-bioskop tanah air sejak 2 Maret 2022 ini.
Baca juga: Wonder Woman 1984 dan Nilai Kejujuran
Versi Detektif Perdana
The Batman digarap Matt Reeves sebagai film reboot, bukan sekuel atau bagian franchise film-film Batman dari rumah produksi lain, apalagi DC Extended Universe (DCEU). Dari aspek artistik, efek visual The Batman tak kalah memukau dari garapan DCEU atau Marvel Cinematic Universe (MCU).
Khusus visualnya, tone temaram sangat dominan. Hampir tiada tone terang kala Reeves menyuguhkan gambaran mencekam sudut-sudut kota kota Gotham, klub malam mafia, hingga mansion mewah Bruce Wayne beserta Batcave-nya.
Hal itu justru menambah greget sisi kelam serta super-noir (drama kriminal sadis), baik Batman sendiri maupun plot cerita yang disajikan Reeves. Maka itulah Reeves menyertakan rating PG-13 alias film hanya boleh dinikmati penonton 13 tahun ke atas.
Baca juga: Para Pemeran di Balik Topeng Batman
Sisi artistik visual itu makin terasa kelamnya dengan music scoring garapan komposer Michael Giacchino. Kendati racikannya cukup variatif, mulai dari orkestra-orkestra macam “Piano Concerto No.5” hingga tembang rock “Something in the Way” karya band grunge legendaris Nirvana, semua tetap menghasilkan impresi muram dan mencekam.
Plot cerita yang disajikan Reeves menyempurnakannya. Kendati disematkan genre superhero, plot cerita sejatinya perpaduan antara kisah detektif, super-noir, horor, dan psychological thriller. Hasilnya, sebuah live-action yang ramai apresiasi, termasuk di tanah air, karena sama sekali berbeda dari film-film Batman sebelumnya atau film-film superhero pada umumnya.
“Kalo dari kita, teman-teman (fans) rata-rata bilangnya puas dan pendekatannya memang beda. Pada dasarnya kita senang karena film ini berhasil mengangkat sisi Batman yang belum pernah dieksplor secara masif di layar lebar, yaitu (versi) detektifnya, jadi dia solving case,” tutur Galih Aristo, founder komunitas Gotham Citizen Club (GCC), kepada Historia.
Baca juga: Wajah Joker dalam Lima Aktor
Batman sebagai detektif memang belum populer. Hanya segelintir fans berat seperti Galih atau rekan-rekan sekomunitasnya yang mengetahuinya karena sejak lama mengoleksi komik-komik DC Comics.
“Film ini memang mengambil banyak elemen dari komik juga. Kalau di komik malah sudah tidak aneh. Karena salah satu nickname-nya Batman kan ‘The World’s Greatest Detective’, selain (julukan) ‘The Dark Knight’, atau ‘The Caped Crusader’. Juga tokoh Alfred yang memang di beberapa versi komik disebutkan background-nya ex-military. Dia bisa melawan balik si penjahat yang masuk ke Batcave. Kita sih suka-suka saja asal chemistry-nya tetap ada,” lanjutnya.
Kolektor action figure DC Comics itu merujuk pada antologi Detective Comics edisi ke-27 terbitan 30 Maret 1939. Di sana, karakter pahlawan ciptaan duet penulis-ilustrator Bob Kane dan Bill Finger itu mulai diperkenalkan sebagai karakter berinsting investigatif tajam kala terlibat dalam penyelidikan sindikat senjata kimia.
“Karakter (detektif) ini terbukti menjadi hit dan kemudian diperluas dengan judul solonya sendiri pada 1940, seiring tetap eksis di terbitan-terbitan Detective Comics berikutnya. Saat itu DC Comics jadi top-seller dan penerbit paling berpengaruh di industri komik,” ungkap Bradford W. Wright dalam Comic Book Nation.
Makin Kelam dan Mendekati Realita
Sebagaimana di komik, karakter Batman dan plot cerita di circle-nya berkembang dari yang cenderung berwarna, komikal, hingga konyol. Belakangan, semakin kelam (dark). Pun saat dialihwahanakan ke layar lebar juga lebih luwes menyesuaikan zaman.
“Ya, sekarang lebih gelap,” tutur Galih.
Film seri hitam-putih The Batman yang bergulir 15 episode pada 1939 yang jadi versi live-action perdana, misalnya. Jalan ceritanya tak luput dari isu-isu Perang Dunia II lantaran sesuai masanya. Batman saat itu dimainkan aktor Lewis Wilson, ditemani Douglas Croft yang memerankan Robin.
“Wilson memainkan peran Batman secara lugas dengan sikap seorang pahlawan. Wilson juga luar biasa dalam menangkap karakter ganda Bruce Wayne di film berbau propaganda perang untuk menaikkan moril, walau akhirnya mengabaikan plot klasik dalam komiknya,” tulis Mark S. Reinhart dalam The Batman Filmography.
Baca juga: Pesona Wonder Woman dalam Empat Wajah
Versi klasik seperti dalam komik baru kembali dimunculkan dalam film seri Batman (1966), sekaligus jadi versi live-action berwarna pertama. Versi itu lalu digantikan film-film yang lebih ringan jalan cerita dan penggambaran karakternya sehingga bisa dinikmati penonton usia dini sebagaimana versi kartun, seperti Batman (1989), Batman Returns (1992), Batman Forever (1995), dan Batman & Robin (1997).
“Sebenarnya Batman kan pernah mengalami era-era yang berwarna-warni. Misal di Batman (1966) yang diperankan Adam West, yang kalau ditonjok ada (after effects) ‘Kapow!’, ‘Pow!’ begitu yang zamannya klasik. Jadi saya melihat memang ini pengembangan sih, termasuk karakteristik Batman yang terus berkembang,” sambung Galih.
Perubahan drastis versi live action dengan nuansa gelap muncul seiring trilogi Dark Knight garapan Christopher Nolan: Batman Begins (2005), The Dark Knight (2008), dan The Dark Knight Rises (2012). Sedikit-banyak trilogi itu mengadaptasi versi tetralogi komik Batman: The Dark Knight Returns terbitan Februari-Juni 1986.
“Sejarahnya itu awalnya (Batman) tidak se-dark itu tapi along the way dikemas di komiknya juga berkembang lebih gelap karena juga punya trauma di plot origin-nya, di mana orangtuanya ditembak. Gotham-nya juga jadi kota yang penuh dengan kejahatan,” tambahnya.
Baca juga: Menertawakan Kepedihan Hidup Bersama Joker
Dalam The Batman (2022), Reeves mengarang ceritanya dari nol dengan bertolak dari banyak referensi. Ia tak hanya menggunakan komik-komik bernuansa cerita gelap tapi juga beberapa film thriller dan tokoh nyata. Sosok Bruce Wayne, misalnya, penokohannya terinspirasi dari vokalis Nirvana, Kurt Cobain. Lalu penggambaran tokoh Riddler, secara visual dan metode kejahatannya “11-12” dengan pembunuh berantai misterius di era 1960-an berjuluk “Zodiac Killer”. Alhasil, apa yang disajikan film-film Batman belakangan, terutama The Batman (2022), menyerupai situasi di dunia nyata.
“Batman takkan pernah lagi menyenangkan atau bersenang-senang. Dia menjadi superhero pemurung, dihantui masa lalu traumatik, gelisah di sekitar Gotham yang sarat kejahatan. The Batman garapan Matt Reeves menjadi metafora nyata akan Amerika di era 2020-an. Kondisi di mana orang-orang bersenjata bisa menembak calon walikota perempuan berkulit hitam hanya karena mereka tak suka arah kebijakan negara. Film berdasarkan komik ini akan mengajak kita menghadapi sisi gelap kita sendiri,” tulis kritikus Stephanie Zacharek di kolom TIME, 28 Februari 2022.
The Batman, menurut Galih, cerminan kondisi dunia saat ini. Meski digambarkan lewat karakter maupun latarbelakang ruang dan waktu yang fiktif, pesan yang disuguhkan Batman begitu erat dengan keadaan di dunia nyata yang marak dengan ketimpangan sosial hingga membuat yang miskin semakin edan, yang berharta makin kaya, yang berbisnis gelap makin leluasa, dan pejabat-aparat makin korup.
“Batman sendiri salah satu superhero yang paling enak diolah dengan pendekatan realistis karena dia enggak punya superpower. Dia hanya orang kaya yang punya teknologi macam-macam. Musuh-musuhya pun bukan supervillains tapi ya psikopat, sosiopat. Dan kita semua menyukai Batman karena sebenarnya itu refleksi dan sangat dekat dengan kehidupan nyata,” tandas Galih.
Deskripsi Film:
Judul: The Batman | Sutradara: Matt Reeves | Produser: Matt Reeves, Dylan Clark | Pemain: Robert Pattinson, Andy Serkis, Zoë Kravitz, Paul Dano, Jeffrey Wright, Colin Farrell, John Turturro, Peter Sarsgaard | Produksi: DC Films, 6th Idaho, Dylan Clark Productions | Distributor: Warner Bros. Pictures | Genre: Superhero | Durasi: 176 Menit | Rilis: 1 Maret 2022 (Bioskop), 19 April 2022 (HBO Max).
Tambahkan komentar
Belum ada komentar