Pesona Wonder Woman dalam Empat Wajah
Sejak 2016 aktris Gal Gadot diidentikkan dengan superhero Wonder Woman meski dia bukan yang pertama.
SECANTIK Aphrodite, sebijak Athena, segesit Hermes, dan sekuat Hercules. Begitulah William Moulton Marston menciptakan karakter perempuan dahsyat Wonder Woman. Lama tak beraksi di versi live action, superhero ber-alter ego Diana Princes yang muncul sejak 1941 itu comeback di bawah naungan waralaba DC Extended Universe (DCEU) dalam Wonder Woman 1984.
Jagat maya sontak heboh selepas pihak distributor Warner Bros merilis trailer terbarunya, Senin (7/12/2020). Wonder Woman 1984 yang tertunda penayangannya akibat pandemi COVID-19, baru akan tayang di bioskop-bioskop terbatas di Inggris mulai 16 Desember 2020 dan 25 Desember 2020 di Amerika Serikat. Pemutaran secara global akan dilakukan via streaming di HBO Max, juga pada 25 Desember 2020.
Aktris cantik Gal Gadot untuk ketiga kalinya memerankan Diana Princes alias Wonder Woman. Gal nongol pertama kali dalam Batman v Superman: Dawn of Justice (2016), dilanjutkan di Wonder Woman (2017) dan Justice League (2017).
“Di film pertama (Wonder Woman, 2017) menjadi awal kelahiran Wonder Woman dan untuk pertama kali dia mengenali kekuatannya sendiri. Dari sosok Diana, dia menjadi Wonder Woman. Di film pertama dia melihat kemanusiaan dari sisi luar dan vokal saat melihat kejahatan, dan menegaskan tentang bagaimana cara melawannya,” ujar Gal kepada The Beat, Sabtu (5/12/2020).
Baca juga: Wajah Joker dalam Lima Aktor
Bedanya, dalam Wonder Woman 1984 karakter Diana Prince mulai memahami kerumitan kehidupan manusia di beragam aspek yang ia selami. Diana Prince berbagi penderitaan dan guncangan kehidupan hingga merasakan yang namanya kesepian, sebagaimana manusia biasa lain.
Peran pertama sebagai Wonder Woman (2016) terjadi dalam versi live action setelah hampir empat dekade karakter itu menghilang. Dari sekian aktris yang di-casting Zack Snyder, sutradara Batman v Superman, Gal jadi pilihan utama setelah menyisihkan sejumlah nama seperti Élodie Yung dan Olga Kurylenko.
“Seperti yang dibayangkan publik, kami sudah mencoba sekumpulan aktris. Namun yang saya lihat dari Gal adalah, dia kuat, cantik dan sosok yang ramah, di mana hal itu menjadi menarik karena di saat yang sama dia juga sosok yang garang. Kombinasi antara garang dan ramah itulah yang kami cari,” papar Snyder dalam wawancaranya dengan FilmInk, 5 Januari 2016.
Sebagaimana Ban Affleck yang banyak diprotes fans DC Comics, pemilihan Gal sebagai Wonder Woman pun awalnya setali tiga uang. Namun seiring produksi selesai dan Batman v Superman dirilis, kritik-kritik dan protes itu berbalik jadi pujian. Termasuk dari sineas Patty Jenkins yang menggarap Wonder Woman (2017).
Wonder Woman sendiri merupakan proyek yang mangkrak sejak 1996. Setelah silih berganti dipegang sineas mulai dari Ivan Reitman, Jon Cohen, hingga Joss Wheldon, akhirnya rumah produksi Warner Bros menjatuhkan pilihan pada Jenkins dan masuk produksi pada 2015.
Baca juga: Sembilan Aktor di Balik Topeng Batman
Pun dengan para aktris yang akan memerankannya. Sejak 1996, bermunculan nama-nama kondang mulai dari Sandra Bullock, Mariah Carey, Catherine Zeta-Jones, Lucy Lawless, Kate Beckinsale, Angelina Jolie, Jessica Biel, Élodie Yung, Olga Kurylenko. Akhirnya pilihan jatuh kepada Gal.
Aktris kelahiran Petah Tikva, Israel, 30 April 1985 itu tergolong junior di Hollywood. Debutnya baru dijalaninya pada 2009. Kepopuleran Gal melonjak setelah membintangi empat film waralaba Fast & Furious: Fast & Furious (2009), Fast Five (2011), Fast & Furious 6 (2013), dan Furious 7 (2015).
“Mereka mencari hal yang sama seperti yang saya inginkan – semua nilai-nilai yang dimiliki Wonder Woman. Dia (Gal) berbagi setiap kualitas yang dipunyai Wonder Woman. Hal seperti itu jarang ditemukan. Dalam casting biasanya semua akan terkuak apakah orang itu akan sangat otentik dengan karakternya, hingga karakter itu sendiri diidentikkan dengan mereka, seperti Christopher Reeve (pemeran Superman era 1980-an) dan Lynda Carter (pemeran Wonder Woman 1975-1979),” kata Jenkins, sineas yang kembali menyutradarai sekuel Wonder Woman 1984, kepada majalah Playboy, 1 Juni 2017.
Lynda Carter
Empat dasawarsa sebelumnya, karakter Wonder Woman dipopulerkan Lynda Carter hingga menjadi identik dengannya selama empat tahun. Aktris kelahiran Phoenix, Arizona, Amerika Serikat pada 24 Juni 1951 itu terjun ke dunia hiburan pasca-memenangi kontes kecantikan Miss World USA 1972.
Warner Bros berada di balik pengorbitan karakter Wonder Woman yang sebelumnya hanya eksis di media komik-komik terbitan DC Comics. Warner memulainya dengan pilot project bertajuk The New Original Wonder Woman yang penyutradaraannya dipercayakan pada Leonard Horn.
Kepopuleran Lynda sebagai ratu kecantikan se-Amerika pada 1972 jadi salah satu faktor utama pemilihannya oleh produser Douglas S. Cramer lewat beberapa kali casting. Proyek pilot itu sukses kala diputar pertama kali oleh stasiun TV ABC pada 7 November 1975 yang berujung pada kelanjutan proyeknya sebagai film seri.
Dalam tiga season serial Wonder Woman periode 1975-1979, reputasi Lynda Carter turut melonjak. Terlebih karakternya muncul seiring derasnya arus gerakan feminisme gelombang kedua (1960-an hingga 1980-an), di mana dua isu paling penting yang disuarakan adalah diskriminasi gender dan persamaan hak. Lynda adalah salah satu simpatisannya dari golongan selebriti.
“Menurut saya Wonder Woman adalah juara sejatinya kaum feminis. Saya pikir dia memberi citra diri yang lebih baik bagi para perempuan,” tutur Lynda dikutip Carney Maley dalam artikelnya, “Bonding in the Air” yang dihimpun dalam Bound by Love: Familial Bonding in Film and Television since 1950.
Namun, kepopuleran film seri Wonder Woman tak hanya mengidentikkan Lynda dengan perempuan super itu tapi juga membuatnya perlahan dijadikan simbol seks oleh kaum Adam. Penyebabnya ada pada kostum vulgar Wonder Woman yang dipakai Lynda. Kostumnya berupa korset merah dengan belahan dada terbuka dan underpant ketat bercorak bintang-bintang. Kostum itu dibuat hampir sama dengan yang ada dalam komik.
Kostum Wonder Woman dalam komik sejatinya berubah-ubah dari masa ke masa. Di era “Golden Era” 1940-an, wujud kostum berupa korset dan rok selutut. Pada masa “Bronze Age” di awal 1970-an, kostum bertransformasi menjadi korset dan celana ketat, seperti yang digambarkan Lynda Carter dalam film serinya. Adapun di masa modern di bawah DCEU, sejak era “The New 52” (2011), kostum yang dipakai Gal Gadot seperti gladiator, berupa korset pelindung dada dan rok mini.
“Saya tak pernah bermaksud menjadi objek seks siapapun kecuali suami saya. Saya tak pernah berpikir sebuah poster tubuh saya terpajang di toilet pria. Saya benci pria memandangi saya dan memikirkan apa yang mereka pikirkan. Dan saya tahu apa yang mereka pikirkan tentang saya,” tutur Lynda dikutip Herbie J. Pilato dalam Glamour, Gidgets, and the Girl Next Door: Television’s Iconic Women from the 50s, 60’s, and 70’s.
Cathy Lee Crosby
Walau Lynda Carter paling diidentikkan dengan Wonder Woman, toh dia bukan yang pertama. Figur pertama yang memerankan Wonder Woman di versi live action tak adalah Cathy Lee Crosby.
Aktris kelahiran Los Angeles, 2 Desember 1944 itu merupakan atlet tenis profesional pada 1960-an. Dia gantung raket setelah terjun ke dunia hiburan lewat drama seri It Takes a Thief (1968). Cathy dipilih Douglas S. Cramer, salah satu bos Warner Bros, memerankan Wonder Woman sebagai film percontohan Wonder Woman (1974). Pemilihan tersebut ditentang penulis skenario Stanley Ross hingga akhirnya memutuskan keluar dan posisinya digantikan John D.F. Black.
“Cathy Lee Crosby adalah (pilihan) keliru! Wonder Woman rambutnya gelap. Cathy perempuan baik. Tetapi dia orang yang salah untuk peran itu. Saya takkan mau melakukannya,” kata Ross dikutip Mark Phillips dan Frank Garcia dalam Science Fiction Television Series: Episode Guides, Histories, and Casts.
Baca juga: Enam Wajah di Balik Topeng Spider-Man
Sebagai Wonder Woman, Cathy tampil dengan deskripsi berbeda dari komik. Selain rambutnya pirang, kostumnya pun serba tertutup. Maka saat dirilis lewat pemutaran perdananya di stasiun TV ABC, 12 Maret 1974, Wonder Woman berdurasi 75 menit itu rating-nya tak meledak. Padahal, akting Cathy terbilang menawan. Terutama pada adegan-adegan action, di mana Cathy juga belajar beladiri untuk peran itu.
“Itu kisah fantasi. Jika Anda ingin melihat sesuatu yang mencerminkan kehidupan nyata, Anda salah. Karena semua orang pun tahu itu hanya fantasi. Namun ini adalah waktunya di mana perempuan harus berada di atas pria. Saya juga tak melihat diri saya sebagai simbol seks potensial. Akan sangat konyol berpikir bahwa saya hanya mengandalkan wajah cantik namun tak bisa berakting,” kata Cathy kepada Suratkabar The Ledger, 17 Maret 1974.
Dalam wawancaranya dengan Inside Edition, 1 April 2016, Cathy minim berkomentar soal perbandingan kostumnya dengan yang dipakai Lynda maupun Gal.
“Oh…kostum saya lebih ‘menarik’ dan ‘berwarna’” katanya merujuk cuplikan Wonder Woman dalam seri yang dimainkan Lynda dan Gal dalam Batman v Superman. “Tapi adalah hal yang besar bahwa saya adalah (pemeran Wonder Woman) yang pertama,” tandasnya.
Ellie Wood Walker
Cathy boleh saja mengklaim sebagai pemeran Wonder Woman pertama. Namun, dia pemeran Wonder Woman pertama yang naik tayang. Sejatinya, aktris pertama pemeran Wonder Woman adalah Ellie Wood Walker.
Menukil Michael Eury dalam Hero-A-Go-Go: Campy Comic Books, Crimefighters & Culture of the Swinging Sixties, Ellie dilibatkan produser William Dozier, bos rumah produksi Greenway Productions, dalam film percontohan Who’s Afraid of Diana Prince? (1967). Film parodi berdurasi lima menit itu disutradarai Leslie H. Martinson. Dozier ingin mengangkat karakter DC Comic lain ke versi live action terinspirasi dari kesuksesan film seri Batman (1966-1968).
Baca juga: Kisah Andromache of Scythia dalam The Old Guard
Namun, setelah pilot project itu rampung, filmnya justru ditolak pihak distributor 20th Century Fox sehingga gagal ditayangkan di manapun. Alasan penolakannya antara lain, pihak distributor tak tertarik dengan sosok Ellie. Pun dengan jalan cerita yang tak identik dengan edisi komik manapun.
“Kegagalannya terletak pada pundak produsernya. Dozier seperti tak punya pemahaman yang jelas tentang nilai-nilai yang diperjuangkan karakternya,” tandas Eury.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar