Menertawakan Kepedihan Hidup Bersama Joker
Psikopat yang lahir dari himpitan hidup khas kelas sosial bawah. Anti-hero yang dipuja golongan akar rumput.
DI tepi jalan tengah Kota Gotham, Arthur Fleck (diperankan Joaquin Phoenix) tak henti menyunggingkan senyum sesuai dengan job-nya sebagai badut. Dengan papan iklan ia berakrobat mempromosikan sebuah toko yang tengah obral barang. Nahas, keceriaannya dirusak oleh gangguan sekelompok geng anak muda. Hari itu, nasib Arthur berakhir dengan tergolek di atas aspal akibat dipukuli.
Gambaran pedihnya hidup Arthur yang terhimpit kondisi ekonomi itu jadi pilihan sutradara Todd Phillips untuk membuka tirai film Joker. Karakter ini familiar di masyarakat sebagai penjahat yang acap jadi musuhnya superhero Batman beralter ego Bruce Wayne.
Namun film ini bukan tentang Batman yang berkelahi melawan kejahatan Joker. Film berdurasi 122 menit ini justru disajikan Phillips untuk mengisahkan kepedihan-kepedihan Arthur, hingga ia menjelma jadi sosok Joker. Peringatan buat Anda yang tak ingin kesal akibat spoiler, mungkin bisa stop baca sampai sini!
Phillips yang juga bertindak sebagai penulis naskah bersama Scott Silver memang mengambil latarbelakang filmnya di awal 1980-an. Namun suguhannya masih sangat relevan dengan situasi Amerika Serikat maupun Indonesia saat ini, bahwa kehidupan jelata masih tetap dalam genggaman kaum kaya.
Arthur digambarkan sebagai seorang dengan penyakit syaraf otak. Jika ia melihat hal menyedihkan, reaksi pada otaknya bukan memunculkan kesedihan, melainkan tawa. Ia tinggal di apartemen kelas bawah bersama ibunya, Penny Fleck (Frances Conroy). Wanita tengah baya itu mengaku pernah 30 tahun bekerja di perusahaan raksasa milik Thomas Wayne (Brett Cullen), namun kondisi kesehatannya memprihatinkan.
Jika di siang hari Arthur berprofesi sebagai badut, malamnya ia menjajaki karier sebagai stand-up comedian atau komika dalam bahasa beken di Indonesia. Suatu hari, ia dipecat dari kantor penyalur jasa badut tempatnya bekerja. Upayanya merintis karier sebagai komika pun gagal total.
Depresi, ia pun hanya bisa berkhayal punya karier bagus demi bisa diundang ke program tv “Murray Franklin Live Show”, acara tv favorit sang ibunda yang dipandu Murray Franklin (Robert De Niro). Bagi Arthur, Murray figur ayah yang diidamkan tapi tak pernah ia miliki. Arthur juga berkhayal bisa memacari tetangganya yang seorang janda satu anak, Sophie Dumond (Zazie Beetz).
Sayang disayang, semua itu hanya ilusi buatnya sampai pada suatu ketika sebuah kejadian mengubah jalan hidupnya. Di sebuah keretaapi, ia membunuh tiga bankir muda yang bekerja untuk Thomas Wayne gegara mem-bully dia. Momen yang tak disadarinya itu melahirkan sebuah gerakan massa, “Kill the Rich”.
Ah, untuk menikmati lebih dalam detailnya, baiknya Anda tonton sendiri Joker yang meski di Amerika baru diputar pada 4 Oktober 2019, namun di Tanah Air sudah tayang sejak 1 Oktober 2019. Selain sajian sinematografi yang apik lantaran pengambilan gambarnya tak monoton dan sangat kental suasana retro-nya, Anda juga akan dimanjakan potongan-potongan lagu klasik dan modern macam “Send in the Clowns” (Frank Sinatra), “Rock and Roll Part 2” (Gary Glitter).
Kontroversi Kekerasan
Film ini menjadi film pertama raksasa Warner Bros yang berbasis serial DC Comics yang bukan tentang DC Extended Universe (Man of Steel, Batman v Superman: Dawn of Justice, Suicide Squad, Wonder Woman, Justice League, Aquaman, Shazam!). Anda takkan disuguhkan aksi-aksi superhero di sini, yang nyatanya belakangan sudah mulai membosankan.
Baca juga: Aquaman Sang Penguasa Tujuh Lautan
Joker menghadirkan pemahaman lain pada para penikmatnya atau bahkan kita. Sosok Joker bisa jadi adalah kita semua, masyarakat umum yang hanya bisa menertawakan kepahitan hidup akibat beragam himpitan ekonomi. Tidak selamanya kebaikan bisa mengalahkan kejahatan, yang dibuktikan dengan sosok Thomas Wayne. Di balik sosok konglomerat yang dermawan itu ternyata terdapat sifat munafik.
Pesan lain yang disampaikan adalah, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa, entah politik maupun ekonomi, serta “perselingkuhan” mereka dengan aparat penegak hukum turut memupuk keradikalan seseorang. Pada gilirannya, keradikalan itu menular ke masyarakat luas yang punya nasib serupa. Alhasil, situasi yang tercipta adalah anarki, sebagaimana satu adegan yang diselipkan Phillips di bagian akhir film.
Maka meski kemudian memetik banyak pujian, Joker juga menuai kontroversi. Adegan-adegannya, seperti adegan penembakan massal di Aurora, Colorado, oleh beberapa pihak dianggap bisa memicu kekerasan bersenjata. Adegan itu diyakini terinspirasi dari film yang bertema dark, The Dark Knight Rises (2012).
Joker yang Orisinil
Setuju atau tidak, salah satu kelebihan film ini adalah sosok Joker-nya. Tak lain karena penampilan Phoenix yang menghipnotis. Banyak kritikus film menyatakan ia pantas dapat Oscar di edisi mendatang atas peran itu. Fans DC Comics mungkin takkan lagi membicarakan Heath Ledger sebagai pemeran Joker terbaik di salah satu seri garapan Christopher Nolan: The Dark Knight (2008). Phoenix dipuji sudah bisa menyandingi Ledger.
Baca juga: Para Pemeran di Balik Topeng Batman
Phillips menghadirkan Joker yang orisinil. Terlepas dari ciri-ciri fisik yang tak jauh beda, Phillips menghadirkan Arthur Fleck alias Joker yang bukan copy-paste dari versi komik DC.
Sosok Joker sendiri sejak kemunculan pertamanya pada 1940 hingga detik ini masih menimbulkan perdebatan. Berbeda dari karakternya yang jelas dikreasikan penulis Bill Finger, sosok visual Joker masih mengundang perdebatan tentang siapa ilustrator penciptanya.
Dua pendapat masih bersilang pendapat tentang siapa ilustrator pencipta Joker. Kubu pertama menyatakan Bob Kane, kubu lainnya Jerry Robinson. Kubu pendukung Kane berargumen, Kane lebih dulu menciptakan Joker yang terinspirasi dari gambar Joker di kartu remi. Sementara, Robinson mengklaim bahwa dia yang pertamakali mengkreasikan tokoh Joker, terinspirasi dari aktor Conrad Veidt dalam film The Man Who Laughs (1928).
Bill Finger sendiri, sebagaimana dimuat Jurnal Con-Tinued: Batmania, dalam diskusi panel di New York Acedemy pada 14 Agustus 1966 mengaku tidak ingat betul siapa di antara keduanya yang menciptakan Joker.
“Mulanya saya ditelefon Bob. Dia punya ide tokoh penjahat baru. Dia memegang kartu permainan. Rupanya Jerry Robinson atau Bob, saya tidak ingat siapa, melihat kartu itu dan mereka (Jerry atau Bob) membuat sketsanya. Awalnya tak seperti Joker, lebih seperti badut. Tapi kemudian saya perlihatkan gambar aktor di The Man Who Laughs kepada Bob yang kemudian menggambarnya untuk memberi aspek yang lebih sinis. Lalu dia menggambar sosoknya dengan wajah putih, bibir merah, rambut hijau. Dan itulah Joker,” tutur Finger.
Baca juga: Goodbye Stan Lee!
Untuk latarbelakang, Finger membuat karakter Arthur menjelma menjadi Joker karena cairan kimia yang menjadikan kulitnya seputih susu, rambutnya sehijau rumput, dan bibir semerah delima. Cairan itu juga yang membuatnya jadi psikopat gila namun cerdik.
Sosok Joker pertamakali dimunculkan DC Comic di komik Batman edisi 25 April 1940. Seiring zaman, dalam komik-komik DC turut muncul beragam versi latarbelakang Joker, mulai dari seorang anggota gangster, pegawai yang mencuri uang perusahaan, hingga seorang komika yang depresi. Namun semua versi serupa soal kegilaan Joker, yakni berawal dari terceburnya dia ke sebuah tangki cairan kimia.
Namun bukan itu yang dihadirkan Phillips dalam film Joker. Arthur alias Joker dalam karya Phillips merupakan anak yang diadopsi Penny Fleck, wanita pengidap halusinasi akibat patah hati pada Thomas Wayne. Kegilaan Arthur datang dari kelainan syaraf otak yang disebabkan kekerasan oleh pacar Penny di masa kecil.
“Kami tidak mengambil apapun dari komik. Kami membuat versi sendiri dari mana seseorang seperti Joker berasal. Kami bahkan tak membuat Joker, namun kisah bagaimana seseorang bisa menjadi Joker. Seorang yang lemah dan tersakiti namun menjadi psikopat yang menggalang anarki di Kota Gotham,” papar Phillips kepada Empire, 8 Juli 2019.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar