Suara Penyintas 1965 yang Layak Didengar
Di balik layar “You and I” yang sarat pergulatan batin. Menyingkirkan segi dramatis dan politis demi keadilan dan kemanusiaan.
GARIS-garis keriput di kulit kedua perempuan usia senja itu mengindikasikan banyaknya tahun yang telah dilalui keduanya. Kusdalini dan Kaminah, kedua perempuan tadi, memang telah berjuang menyambung hidup dalam kemiskinan sembari menanti keadilan sejak muda hingga tua.
Mbah Kam dan Mbah Kus, begitu keduanya disapa, merupakan penyintas G30S yang jadi “lakon” utama dalam film You and I (2021) karya Fanny Chotimah. Keduanya dikenal Fanny sejak 2016. Perkenalan mereka bertiga bermula kala kawan Fanny, Adrian Mulya, Amerta Kusuma, dan Lilik HS tengah mengerjakan buku foto Pemenang Kehidupan.
Dari perkenalan itu, Fanny makin mengenal keduanya. Lambat laun, timbul perasaan intim dan personal di sudut hati Fanny.
“Pas perkenalan pertama itu saya ingin kenal lebih jauh. Awalnya juga sama sekali enggak pikiran mau bikin film. Memang dalam diri aku ingin kenal saja. Aku juga punya semacam ikatan kalau melihat mereka ingat nenekku. Apalagi nenekku juga (mengidap) demensia kayak Mbah Kus. Aku juga jadi punya kesempatan dengar cerita mereka,” tutur Fanny kepada Historia via percakapan di platform Google Meet, Jumat (7/5/2021).
Baca juga: Potret Pahit Penyintas 1965 dalam You and I
Kaminah dan Kusdalini antusias kala berbagi kisah tentang kegiatan komunitas film Fanny dan kawan-kawannya yang acap memutar film ala “layar tancap” di kampung-kampung. Ternyata ada keserupaan pengalaman, di mana Kaminah dan Kusdalini berkisah di masa muda mereka dulu ikut paduan suara di bawah naungan Pemuda Rakjat (PR) yang juga tampil keliling kampung.
“Dari situ intens datang dan sharing-sharing. Lalu aku melihat apa yang mereka lakukan sama dengan yang aku lakukan. Terus mereka dipenjara tanpa pernah diadili. Saya merasa, kalau itu bisa terjadi sama mereka, berarti bisa juga terjadi sama aku kalau misalnya kejadiannya seperti itu,” imbuhnya.
Kejadian yang dimaksud adalah pemburuan, pemenjaraan, hingga pembunuhan orang-orang yang diduga PKI dan simpatisannya pasca-G30September 1965. Di situlah Kaminah dan Kusdalini ditangkap dan ditahan tanpa pengadilan lantaran kaitannya dengan PR yang underbouw PKI. Dari situlah Fanny mendapatkan ide untuk menyuguhkan kisah mereka lewat film dokumenter.
“Dari situ muncul urgensi untuk, wah, ini harus didokumentasikan, harus dibikin film dokumenter. Secara enggak langsung juga riset sudah terjadi karena aku membangun relasi itu sejak belum punya pikiran membuat dokumenter. Aku terus minta izin untuk mendokumentasikan dan terus disambut sama mereka. Mbah Kam yang menyemangati kami karena merasa ini warisan untuk generasi muda,” tambah sineas kelahiran Bandung, 18 November 1983 itu.
You and I kemudian jadi proyek dokumenter panjang pertama Fanny. Dia dan tim produksi memulai proyeknya pada 2016. Dengan pendekatan observasional, tim mengikuti keseharian Mbah Kam dan Mbah Kus di rumah, lingkungan tempat tinggal, hingga pertemuan dengan sesama penyintas di bawah payung Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba).
Penulisan ceritanya pun bergulir seiring syuting keseharian dua penyintas itu. Sembari merekam keseharian, Fanny juga memikirkan titik kekuatan filmnya agar bisa diterima generasi muda sebagai target penontonnya.
“Akhir 2016 sudah mulai meski development cerita masih aku tulis. Karena aku tertarik sama memori itu, kedimensian Mbah Kus yang kupikir personal dan dekat dengan aku. Saat lihat banyak footage, kok kuat banget tentang gimana relasi mereka berdua. Malah kemudian kekuatannya ada di relasi mereka,” lanjut Fanny.
Tajuk You and I sendiri dipilih Fanny karena andil Mbah Kus.
“You and I itu sebetulnya dari Mbah Kus. Dulu kan Mbah Kus bisa bahasa Inggris dan Jerman. Saat adegan melihat foto mereka berdua, tiba-tiba muncul (celetukan): ‘Oh iki, You and I.’ Itu momennya sama dengan adegan bercanda melihat foto. Aku harus pilih mana momen yang paling kuat. Di proses editing itu pertempurannya untuk mana momen yang kusayang. Aku pertahankan yang (adegan bercanda) itu karena terlihat banget kuatnya relasi mereka. Relasi itu yang bisa relate ke semua orang dan semua usia,” lanjut Fanny.
Dalam proses produksi, Fanny mengaku tantangannya bukan dari faktor-faktor eksternal meski film-film yang mengangkat isu 1965 masih sangat sensitif dan acap mendapat penolakan. Tantangan dalam produksi You and I sampai selesainya editing di tahun 2020 justru datang dari diri sendiri. Pasalnya, karyanya tersebut punya keintiman dengannya.
“Jadi tantangan tersendiri terutama di momen-momen Mbah Kus butuh bantuan nyuci, duh aku takut banget dia jatuh, misalnya. Kayak pingin menolong dia. Saat adegan susah masuk ke angkot, biasanya kalau enggak syuting yang kita nolongin. Benturan-benturan di dalam diri itu yang kuat. Tapi di beberapa kejadian aku menekankan sama tim bahwa syuting nomor dua dan yang terpenting adalah keselamatan mereka,” imbuhnya.
Menahan diri dan emosi jadi tantangan terbesar Fanny. Terlebih saat kesehatan Kusdalini mulai menurun medio 2017. Beberapakali Fanny harus berhenti merekam demi bisa membantu mengevakuasinya ke rumahsakit.
“Mbah Kus masuk rumahsakit karena stroke, bertahan tujuh bulan di rumah sakit lalu Mbah Kus pergi (meninggal, red.). Tahun berikutnya masih syuting tapi bobotnya makin berat dan sedih rasanya. Momen di mana Mbah Kam sudah tidak bisa mempertahakan Mbah Kus, itu juga emosional. Syutingnya sambil nangis. Padahal aku ingin film ini memberi harapan, bukan jatuhnya malah sedih dan dramatis. Tapi harus tetap bisa menguasai diri,” tambah Fanny.
Narasi Historis dan Strategi
Sebagai sineas yang masa kecilnya tumbuh di era Orde Baru, Fanny mengenal narasi 1965 itu lewat film propaganda penguasa garapan sutradara Arifin C. Noer, Pengkhianatan G30S/PKI. Film itu dulu juga jadi tontonan wajib bagi pelajar, termasuk Fanny. Namun ia mengaku tak pernah menontonnya sampai habis.
“Horor banget. Aku selalu bertanya-tanya sejak kecil itu nyata atau enggak. Belum cerita-cerita di sekelilingku. Cerita kayak, ‘Oh, paman saya pernah bunuh PKI.’ Itu aku syok, bunuh orang lalu bangga. Itu ada apa? Di SMA ada teman yang sangat vokal dan kritis karena ingin tahu tentang PKI. Dia berdebat sama guru sejarah. Gurunya jadi kayak, ‘Oh, enggak bisa kamu seperti itu. Hati-hati kamu dicap komunis.’ Aku yang menyaksikan, kenapa sih kok begitu? Akhirnya cari referensi lagi,” kenang Fanny.
Selain dari buku non-fiksi dan novel para penyintas 1965 seperti Pulang (2012) karya Leila Salikha Chudori dan dokumenter Shadowplay (2001) karya Lexy Rambadeta, Fanny mendapat sudut pandang lain Peristiwa 1965 dari kakeknya sendiri.
“Ada stigma juga dari mamaku yang bilang komunis itu jahat. Tapi sementara aku juga dapat cerita dari kakek di Bandung. Dia juragan tanah dan punya sawah dan ada yang garap (petani penggarap). Dulu kan BTI (Barisan Tani Indonesia) juga dicari ya. Tapi kakekku itu melindungi BTI. Jadi BTI yang lari minta perlindungan kakekku itu selamat,” sambung sineas otodidak yang berkecimpung di komunitas film Yayasan Kembang Gula dan komunitas perempuan Jejer Wadon tersebut.
Dari situ Fanny mulai paham bahwa selain rumit dan kompleks, Peristiwa 1965 juga masih jadi isu sangat sensitif, utamanya kala bulan September dan Oktober. Ia juga sempat diperingatkan Kaminah untuk sementara stop syuting dan “tiarap”. Namun hingga selesainya produksi, Fanny dan tim produksi tak pernah mengalami persekusi dan penolakan dari pihak luar.
Baca juga: Pemuda Sosialis di Balik Film Legendaris
Hal mencekam yang pernah dialami Fanny justru saat diskusi terbatas buku foto Pemenang Kehidupan. Prosesnya kala itu bareng proses syuting You and I. Fanny, Adrian dan rekan-rekannya sempat didatangi intel. Salah satu rekannya bahkan ada yang sampai dipanggil pihak kepolisian.
“Aku sudah tahu dan pengalaman dipanggil intel. Ya saat syuting film aku paham ini risikonya walau pas syutingnya tidak terjadi apa-apa. Aku tentu akan pasang badan kalau terjadi apa-apa sama mereka. Kata Mbah Kus dan Mbah Kam: ‘Ya ini risikonya. Ini risiko perjuangan’,” kata Fanny.
Oleh karena mengerti risikonya, Fanny pun mengarahkan narasi You and I dengan kompromi sebagai strategi. Tujuannya agar film tidak condong politis dan tetap menyajikan gambaran humanis walau kedua tokohnya punya latar belakang masa silam kelam.
Fanny hanya sedikit menyuguhkan keterangan tentang Kusdalini dan Kaminah sebagai anggota paduan suara di bawah naungan Pemuda Rakjat. Keduanya sering mentas keliling kampung, bahkan pernah tampil di hadapan Presiden Sukarno di Jakarta. Kusdalini dan Kaminah jadi dua pemudi Sukarnois yang aktif di Pemuda Rakjat. Faktor ideologis itu membuat keduanya harus mendekam di balik jeruji besi tanpa diadili. Kusdalini ditahan dua tahun dan Kaminah tujuh tahun.
“Ini strategi karena buatku (isu 1965) sangat rumit dan kompleks, belum lagi penolakan-penolakannya. You and I ini tidak terasa politisnya dan tidak mengupas sejarah itu. Yang kita bicarakan hari ini adalah sisi kemanusiaannya agar lebih mudah diterima. Juga bicara di generasi ini kita harus punya pendekatan khusus. Aku lihat respon dari generasi ini mereka bisa menangkap karena sisi humanis dan persahabatan itu. Kalau peristiwanya (dari segi politis) mereka bisa cari referensi di tempat lain. Yang Aku tekankan humanismenya,” ungkapnya lagi.
Strateginya berbuah manis. Tidak hanya mendapat banyak sambutan positif dari sejumlah perwakilan pemerintah daerah, You and I kemudian juga diapresiasi lebih luas dengan memenangkan kategori dokumenter terbaik sepanjang di Piala Citra 2020, DMZ International Documentary Film Festival di Korea Selatan 2020, dan terakhir di CPH:DOX Denmark 2021.
“Ya jadi bisa diputar di Bioskop Online (mulai 9 April 2021) dan bahkan waktu pemutarannya di Solo mengundang pemerintah (daerah) juga. Mereka menyambut baik. Karena fokusnya itu tadi, ke kisah dua penyintas dan narasi setiap penyintas penting, layak didengar, dan berharga karena itu juga berisi kehidupan, kesaksian, dan suara mereka,” tandas Fanny.
Baca juga: Proses Kreatif Usmar Ismail di Balik Layar
Tambahkan komentar
Belum ada komentar